Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Bangsa Indonesia masih terus diuji oleh Allah SWT dengan berbagai musibah: mulai pandemi Covid-19 yang belum sirna, banjir di berbagai daerah, lalu meletusnya Gunung Semeru di Jawa Timur. Tapi, mungkin juga, ini merupakan teguran dari Allah SWT. Bahkan, bukan tidak mungkin pula, semua itu adalah hukuman dari Allah SWT.
Masih ingat lirik lagu “Berita Kepada Kawan” dari Ebiet G. Ade? “Mungkin Tuhan sudah mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.”
Sebagai bangsa yang mendasarkan diri pada “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan mengakui kemerdekaan kita adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, maka para pemimpin dan masyarakat sudah saatnya melakukan proses pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, apa pun peristiwa dan musibah yang menimpa kita, maka semua itu datang dari Allah dan tujuan utamanya adalah agar manusia kembali kepada tujuan penciptaannya, yaitu “beribadah kepada Allah SWT”.
Biasanya, saat menerima musibah, manusia memang cenderung mendekat kepada Allah SWT. Dalam berbagai tayangan video tentang letusan Gunung Semeru, terdengar banyak orang yang meneriakkan kalimah “Allahu Akbar” dan “astaghfirullah”. Hanya saja, jika musibah itu sudah berlalu, manusia pun biasanya kembali melupakan ibadah kepada Allah SWT.
Pengalaman pribadi, suatu saat, lima tahun setelah musibah gempa Yogya, saya shalat subuh berjamaah di sebuah mushola di kawasan Yogya Selatan. Jamaahnya sangat sedikit. Hanya beberapa orang saja yang shalat subuh berjamaah. Lalu, ada yang berbisik kepada saya, bahwa lima tahun lalu, begitu musibah gempa terjadi, mushala itu selalu dipenuhi orang yang shalat berjamaah. Tapi, sejalan dengan bergulirnya waktu, yang shalat berjamaah pun terus berkurang.
Jadi, musibah memang ada kaitannya dengan pandangan dan sikap hidup manusia. Karena itulah, bangsa Indonesia, khususnya umat Islam perlu memiliki “Teologi Bencana”, dalam perspektif keilmuan Islam. Patut kita ingat kembali, bahwa Islam mengakui sumber ilmu yang berasal dari panca indera (ilmu-ilmu empiris), dari akal, dan juga dari khabar shadiq (berita yang benar).
Secara empiris dan aqliy, kita telah dan sedang berusaha keras untuk menanggulangi berbagai musibah yang manimpa kita. Kita bersyukur, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang dermawan. Begitu masifnya gerakan penyaluran bantuan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat.
Dalam situasi musibah beruntun seperti ini, sepatutnya semua pihak bergandeng tangan, bergotong royong, bersama-sama berjuang menanggulangi bencana. Tetapi, jangan dilupakan, berdasarkan ilmu wahyu, maka pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat pun berkewajiban untuk terus melakukan proses pendekatan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satu dosa yang cepat mendatangkan musibah dari Allah SWT adalah dosa syirik dan kezaliman. Pembiaran terhadap kezaliman pun bisa memicu datangnya hukuman dari Allah SWT. Karena itu, umat Islam sepatutnya tetap mengedepankan sikap adil dalam semua pengambilan keputusan.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Ma’idah: 8).
Berdasarkan keilmuan Islam yang integral dan tauhidik, maka cara mengatasi musibah adalah dengan pendekatan integral atau terpadu. Caranya dengan memadukan tiga jenis keilmuan: ilmu empiris, ilmu rasional, dan ilmu wahyu (revealed knowledge).
Dalam penanggulangan pandemi, ilmu-ilmu kedokteran dan virologi yang sudah teruji secara empiris, diterapkan bersamaan dengan pendekatan rasional dan keyakinan penuh bahwa virus ini datang, berkembang, dan mati atas kehendak Allah. Gunung meletus bukan atas kehendaknya sendiri. Tapi, itu terjadi atas kehendak Allah SWT.
Berdasarkan ilmu wahyu, kita paham, bahwa tujuan utama Allah mendatangkan suatu musibah adalah agar manusia semakin mendekat kepada Allah. Menjadi manusia yang sakit tetapi taat kepada Allah, lebih baik daripada manusia yang badannya sehat tapi rajin melalukan maksiat. Tentu, kita berharap, kita semua sehat dan sejahtera, tetapi juga harus taat kepada Allah SWT.
Jalan penting yang harus ditempuh – disamping ikhtiyar inderawi dan aqli – dalam mengatasi berbagai musibah ini adalah bertobat, mendekat, dan berdoa secara ikhlas dan sungguh-sungguh kepada Allah. Karena itu, indah sekali jika pemerintah dan para tokoh masyarakat memelopori gerakan besar-besaran penanggulangan musibah, dengan semboyan: SEHAT SELAMAT DAN TAAT (KEPADA ALLAH SWT)!
Jika gerakan penanggulangan musibah itu itu dilakukan dengan ikhlas, cerdas, dan sungguh-sungguh, semoga Allah SWT sayang kepada kita semua, sehingga negara kita menjadi negara yang adil dan makmur dalam naungan Ridho-Nya. (Depok, 12 Desember 2021).
Editor: Sudono/Humas DDII Jatim