Pemimpin dan Urgensi Menata Kata-Kata

 
Oleh M. Anwar Djaelani,
Ketua Bidang Pemikiran Islam DDII Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Berdoa Bahasa Indonesia, KSAD: Tuhan Kita Bukan Orang Arab. Demikianlah, berita di https://republika.co.id 1 Desember 2021. Tak pelak lagi, pernyataan itu lalu ramai dikritisi masyarakat. Kok bisa, ada pejabat berbicara seperti itu? Kok ada, pemimpin yang punya pemahaman seperti itu?

Adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Dudung Abdurachman yang berbagi pandangan tentang ajaran Islam. “Kalau saya berdoa setelah sholat, doa saya simpel aja, ya Tuhan pakai bahasa Indonesia saja, karena Tuhan kita bukan orang Arab,” kata Dudung.

Kata-kata di atas disampaikan Dudung saat menjadi bintang tamu “Deddy Corbuzier Podcast”. Sontak, atas frasa “Tuhan kita bukan orang Arab” mendapat banyak tanggapan bernada menyesalkan.

Tak hanya dari masyarakat kebanyakan, seorang kiai turut menanggapi ungkapan yang tak pada tempatnya itu. “Pernyataan KSAD Dudung Abdurachman yang menyebut Tuhan bukan orang Arab merupakan kesalahan besar. Ucapan tersebut bahkan bisa masuk kategori penistaan agama,” kata KH Wafi Maimun Zubair – pengasuh Ponpes Ribath Nurul Anwar Sragen. Hal yang demikian, lanjut putra almarhum KH Maimun Zubair itu, “Tentu melecehkan Sang Pencipta yang jelas kedudukannya sebagai Tuhan, kemudian didegradasikan dengan disebut sebagai orang”.

Demikianlah, frasa “Tuhan kita bukan orang Arab” dari Dudung adalah semacam kontroversi lanjutan. Sebelumnya, saat menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Dudung Abdurachman berbicara di depan anggota personel Yon Zipur 9 Kostrad dan ibu Persit dalam kunjungan kerja di Kota Bandung pada 13 September 2021. Saat itu Dudung menyampaikan: “Hindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama. Karena semua agama itu benar di mata Tuhan” (https://www.republika.co.id 14 September 2021).

Tata, Tatalah!

Dudung Abdurachman itu pejabat, seorang pemimpin. Jika kepada semua manusia secara umum diminta agar berhati-hati kala berkata-kata, maka apatah lagi kepada pemimpin. Kata-kata pemimpin itu menarik minat media massa untuk mempublikasikannya. Jika isinya baik, tentu bermanfaat. Tapi, jika isinya tak baik, tentu akan berdampak negatif minimal menimbulkan kegaduhan yang tak perlu.

Berkata-kata itu mudah. Tapi, berhati-hatilah di saat berkata-kata, sebab ada sejumlah aturan yang harus kita taati. Aturan itu tak hanya berupa larangan untuk berkata-kata buruk saja, bahkan juga aturan berkata-kata dalam urusan kebaikan dan dakwah.

Hal yang sangat jelas, jangan sekali-kali berbicara yang tak baik sebab Allah Maha Mendengar. Perhatikanlah ayat ini: “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana-pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-Mujadilah [58]: 7).

Allah Maha Mendengar. Maka, di saat berbicara, fakta jangan diputar-balikkan. Misal, pekerjaan bathil disebut haq atau barang haram dinyatakan halal. Contoh tersebut bisa saja terjadi karena berbagai sebab seperti karena kebiasaan (yang buruk), demi meraih keuntungan pribadi atau golongan, dan lain-lain. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu mewaspadai kehadiran orang-orang yang suka berperilaku seperti itu.

Supaya kita selamat, jangan pernah bersekongkol membicarakan berbagai agenda kemaksiatan seperti yang telah diwanti-wanti lewat ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan” (QS Al-Mujaadilah [58]: 9).

Agar kita selamat, selalulah bicara tentang hal yang baik-baik saja. Senantiasalah bicara hanya dalam bingkai ketaqwaan saja. Jika materi pembicaraan yang baik dan benar tak ada, lebih baik kita berdiam diri. Perhatikanlah arahan dari Rasulullah Saw ini: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (HR Bukhari – Muslim).

Usahakanlah untuk selalu berkata-kata dalam konteks berdakwah, menyeru ke Jalan Allah, seperti yang tergambar di ayat ini: ”Perhatikanlah! Siapakah yang kata-katanya lebih baik daripada orang yang menyeru ke Jalan Allah, berbuat kebaikan dan berkata, ’Aku termasuk orang yang berserah diri’.” (QS Fushshilat [41]: 33).

Agar selamat, berikut ini ada pedoman tentang bagaimana seharusnya akhlaq kita di saat berbicara dan terlebih lagi di waktu sedang berdakwah. Bahwa, “Materi pembicaraan tentang hal yang benar”.

Apapun, kelak atas semua yang kita kerjakan akan ada pertanggungjawabannya di depan Allah. Sehubungan dengan itu, maka yang boleh dikatakan adalah hal-hal yang benar-benar kita kuasai ilmunya. Artinya, jika berbicara tentang hukum-hukum Allah, maka rujukannya adalah Al-Qur’an dan Hadits, atau sumber hukum lainnya yang relevan. Terkait itu, penjelasan dan/atau tafsirnya tak boleh menyimpang, tak boleh diputar-balikkan, serta tak boleh berbuat dusta atas nama agama. Perhatikanlah ayat ini: “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan” (QS Al-An’aam [6]: 144).
 
Ikuti, Ikuti!

Berkata-kata, secara umum, mudah bahkan mengasyikkan. Berkata-kata, dalam konteks dakwah, itu mulia dan terpuji. Namun demikian, baik berkata-kata dengan materi biasa di keseharian maupun berkata-kata dalam kaitan dengan dakwah, hendaklah selalu mengikuti aturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. (Humas DDII Jatim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *