TEOKRASI DAN SEKULERISME ADALAH PENGALAMAN LOKAL BANGSA EROPA

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Alkisah, pada abad ke-11 terjadi kasus menarik di Eropa seputar konflik antara Gereja dan Negara. Ketika itu terjadi pada kasus konflik antara Paus Gregorius VII dan Raja Henry IV dari Inggris, pada paruh abad ke-11.


Konflik berawal ketika Gregorius melarang keterlibatan Raja Henry dalam proyek-proyek gereja. Paus berargumen, bahwa konsep Gereja sebagai monarkhi berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan suatu Sidang Umum dan mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan.
Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh Kekristenan, dan karena itu tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (Kristen). Raja Henry IV menolak klaim tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari Tuhan.


Menghadapi tentang itu, Paus Gregorius mematuhi kepatuhan terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan, takluk Raja Henry IV dan memaksa menemui Gregorius di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memiliki kekuasaannya. Kasus ini menunjukkan keefektivan kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap Raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa.


Gregorius kemudian meningkatkan moral Gereja dalam menghadapi segala sesuatu yang dipandang sebagai “musuh”. Apalagi, sejumlah penguasa Kristen juga berhasil merebut kembali daerah-daerah yang sebelumnya direbut oleh kaum Muslim. Tahun 1091 Count Roger berhasil merebut Sisilia. Pada tahun 1085, Kristen Spanyol, dengan bantuan tentara Perancis berhasil mempertahankan Toledo dari serangan Muslim.


Paus dan uskup kemudian lebih jauh melangkah untuk mendorong masyarakat membentuk milisi-milisi. Salah satunya adalah Bishop Toul yang kemudian menjadi Paus Leo IX tahun 1049. Dua bulan penobatannya, Paus Leo IX membentuk milisi Romawi untuk memerangi bangsa Norman yang menyerang wilayahnya. Pada tahun 1053, ia sendiri yang memimpin pasukannya dalam peperangan. Dua puluh tahun kemudian, Paus Gregory VII mengumpulkan semua rakyat Eropa untuk membentuk milisi yang dia namakan sebagai “Ksatria St. Peter”.


Di zaman hegemoni kekuasaan Gereja inilah lahir sebuah institusi Gereja yang sangat terkenal kekejamannya, yang dikenal sebagai “INQUIISI”. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menggambarkan kejahatan institusi Inquisisi Kristen dalam sejarah sebagai berikut: “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrumen teror dalam Gereja Katolik sampai akhir abad ke- 17. Metode inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan persekusi dan kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka”.

(Kebanyakan dari kita akan setuju bahwa salah satu institusi Kristen yang paling jahat adalah Inkuisisi, yang merupakan alat teror di Gereja Katolik sampai akhir abad ketujuh belas.
Ada sebagian tokoh Gereja yang berusaha melakukan pembelaan (apologetic). Tentang upaya apoloetik dalam soal Inquisisi itu, Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, mencatat, bahwa sikap itu hanya menambah kemunafikan menjadi kejahatan. (itu hanya menambahkan kemunafikan pada kejahatan). Yang sangat mengherankan dalam soal ini adalah penggunaan cara siksaan dan pembakaran terhadap korban. Dan itu tidak dilakukan oleh musuh-musuh Gereja, tetapi dilakukan sendiri oleh orang-orang tersuci yang bertindak atas perintah wakil Kristus (Vicar of Christ).
Peter de Rosa mencatat: “Bagaimanapun, Inkuisisi tidak hanya jahat dibandingkan dengan abad kedua puluh, tetapi juga jahat dibandingkan dengan abad kesepuluh dan kesebelas ketika penyiksaan dilarang dan pria dan wanita dijamin pengadilan yang adil. Itu jahat dibandingkan dengan zaman Diocletian, karena tidak ada seorang pun yang disiksa dan dibunuh dalam nama Yesus yang disalibkan.” (Betapa pun, inquisisi tersebut bukan hanya jahat saat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-20, tetapi ini juga jahat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-10 dan ke-11, saat dimana tidak disahkan dan laki- laki-laki serta wanita dijamin dengan pengadilan yang adil Ini juga jahat dibandingkan dengan zaman Diocletian, dimana tidak ada seorang pun yang dihukum dan dibunuh atas nama Jesus yang tersalib). (NB. Data-data tentang sejarah Gereja bisa dilihat dalam buku: Adian Husaini,


Perlu dicatat, bahwa kekejaman Inquisisi dilakukan oleh Gereja, yang memegang otoritas sebagai wakil Tuhan, yang dianggap suci dan tidak bisa berbuat salah. Kondisi ini sangat berbeda dengan Islam yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama (rahbaniyyah). Dalam sistem keagamaan di Eropa ketika itu, Paus adalah Wakil Kristus (Vicar of Christ) yang diklaim mempunyai sifat infallible (tidak dapat salah). 

Jadi, ketika Paus melegalisasikan berbagai kekejaman dan bantuan, maka hal itu dilakukan sebagai wakil Tuhan. Inilah yang tidak terjadi pada tradisi Islam. Jika ada penguasa Islam yang melakukan kesalahan atau kezaliman, maka itu bertanya sebagai individu dan tidak atas legalitas keagamaan, meskipun ia mungkin menggunakan alasan keagamaan tertentu.
Misal, ada sejumlah laporan yang menyebutkan adanya penguasa Muslim yang memaksa orang-orang Yahudi masuk Islam. Tindakan seperti ini, jika benar, jelas tidak dapat dibenarkan menurut ajaran Islam. Karen Armstrong mengakui, bahwa tidak ada tradisi persekusi dalam sejarah Islam. “Tidak ada tradisi penganiayaan agama di kerajaan Islam,” tulis Armstrong.


Konsep dan praktik Teokrasi di Eropa itulah yang mendorong terjadinya kondisi kejiwaan traumatik masyarakat Eropa terhadap agama, dan Tuhan. Mereka kemudian menolak campur tangan agama dalam kehidupan. Ternyata, dengan cara seperti itu, bangsa Eropa mencapai kemajuan duniawi dalam berbagai bidang. Mereka unggul secara politik, militer, ekonomi, sains dan teknologi.


Itulah jalan kebangkitan bangsa Eropa. Dengan menempuh jalan sekuler dan menolak campur tangan agama. Ini jalan yang khas bagi masyarakat Kristen Eropa. Ini bukan jalan yang bersifat universal, tetapi merupakan pengalaman lokal bangsa Eropa.
Tentu saja, peradaban Islam dan peradaban lain, bisa memilih jalan kebangkitan yang berbeda. Kebangkitan Islam justru terjadi ketika umat Islam menggunakan konsep-konsep Islam itu sendiri. Sebab, Islam tidak mengenal tradisi sekuler dalam sejarahnya. Kepeimpinan Islam selama ratusan tahun dalam sains dan teknologi, justru terjadi ketika budaya ilmu Islam dijadikan sebagai landasan kehidupan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 29 November 2021).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *