BEGINILAH KITA MENCINTAI TANAH AIR KITA

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dewandakwahjatim.com, Depok- Renungkanlah untaian kata-kata dalam dua lagu kebangsaan berikut ini! (1) “Tanah airku Indonesia. Negeri Elok amat Kucinta. Tanah tumpah darahku yang mulia. Yang kupuja sepanjang masa. Tanah airku aman dan makmur. Pulau Kelapa yang amat subur. Pulau melati pujaan bangsa. Sejak dulu kala…” (2) Dari yakin kuteguh. Hati ikhlasku penuh. Akan karunia-Mu. Tanah air pusaka. Indonesia merdeka. Syukur aku panjatkan. Ke hadirat-Mu Tuhan.”
“Ribuan pulau tergabung menjadi satu. Sebagai ratna mutu manikam. Nusantara oh Nusantara…. Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah sorga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” (Koes Plus).


Sebagai warga Indonesia, kita pasti mencintai tanah air kita. Kita cinta Negeri Nusantara yang indah ini. Mengapa kita cinta tanah air kita? Apa karena tanahnya subur dan makmur? Apa karena alamnya indah? Apa karena kekayaan alamnya melimpah?
Bagaimana jika suatu ketika tanah kita tak subur dan tidak makmur lagi? Bagaimana jika kekayaan alam tanah air kita sudah habis dikeruk oleh berbagai pihak? Apa kita tidak cinta lagi? Tentu saja, kita tetap cinta tanah air kita! Apa pun kondisinya!
Haji Agus Salim, salah satu cendekiawan Muslim terbesar Indonesia, pernah menulis artikel berjudul “Cinta Bangsa dan Tanah Air” (Harian Fajar Asia, 28 Juli 1928). Isinya, mengkritisi cara pandang sekular yang memuja “Ibu Pertiwi” secara berlebihan sehingga sampai menjadikan Ibu pertiwi itu sebagai “Tuhan”.
Agus Salim menulis, “… demikian juga dalam cinta tanah air, kita mesti menujukan cita-cita kepada yang lebih tinggi dari pada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaan yang batasnya dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa-ta’ala.” (Lihat, buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996).
Itulah cinta tanah air yang adil. Meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Negeri kita yang indah ini bukan ada dengan sendirinya. Kita pun, manusia Indonesia, bukan hasil evolusi dari makhluk bernama hominid (sebangsa kera). Kita ada, karena ada yang meng-ada-kan kita. Bukan ada karena kehendak kita sendiri. Allah SWT-lah, Tuhan Yang Maha Esa, yang meng-ada-kan kita, sehigga kita menjadi ada.
Karena itulah bangsa Indonesia sepakat menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila pertama. Haji Agus Salim, sebagai salah satu perumus Pembukaan UUD 1945 – yang memuat teks Pancasila – menulis tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “… saya ingat betul-betul bahwa di masa itu tidak ada diantara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu maksudnya ‘aqidah, kepercayaan agama, dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air suatu hak yang diperoleh daripada rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa…”
Tentang manusia yang berpura-pura mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi perilakunya justru mengajak manusia membesar-besarkan hawa nafsunya, loba dan tamak terhadap kebendaan, Haji Agus Salim pun menyeru, “… hendaklah kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa hidayah petunjuk dan bimbingan taufik-Nya.” (Lihat buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, 1996).
Setelah sila pertama, Pancasila menempatkan “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sebagai sila kedua. “Manusia yang adil dan beradab” adalah manusia yang dapat menempatkan dirinya dengan betul, tahu siapa dirinya, saat berhadapan dengan Tuhannya.
Manusia yang adil dan beradab, tahu bagaimana dirinya harus memperlakukan alam sekitarnya. Jangan merusak, dan jangan mencuri kekayaan alam, sehingga merusak keseimbangan ekosistem yang telah berjalan harmonis.
Manusia yang adil dan beradab meyakini bahwa alam sekitarnya adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dijaga. Ia tidak mahu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sikap adil dan beradab kepada alam dan kepada Sang Pencipta.
Bung Hatta, mencatat: “Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa?” (Lihat, Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).
Prof. Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat, “Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’ (Prof. Hazairin,Demokrasi Pancasila, hlm. 31).
Jadi, loyalitas tertinggi seorang manusia tentulah sepatutnya diberikan kepada Tuhannya. Dialah yang menciptakan tanah air kita yang indah ini. Tanah air kita bukan Tuhan. Karena itu jangan jadikan tanah kita sebagai Tuhan.
Sebagai manusia cerdas, BJ Habibie (alm.) memberikan pelajaran bagaimana mendudukkan cinta tanah air secara adil. Dalam wawancara dengan Majalah FORUM KEADILAN, edisi 20 Januari 1994, Habibie ditanya: “Jika anda ditanya, anda ini siapa, insinyur, muslim, atau Indonesia?”
Habibie pun menjawab: “Kalau saya ditanya, Habibie siapa, insinyur, muslim, ataukah Indonesia, saya jawab, “Saya muslim.” Kenapa? Karena kalau saya mati nanti, saya tidak lagi berwarganegara… Kalau saya sampai ke akhirat, yang ditanya bukan warga negara kamu apa. Kamu mempunyai kedudukan apa. Karena itu saya jawab, “Saya muslim.” Karena itu bukan emosional, saya jawab rasional. Kalau kita percaya, pada hari akhir, saya mati tidak akan ditanya paspor. Tapi, kalau saya jawab demikian, jangan lalu ada yang bilang Habibie tidak nasionalis. No….”
Jadi, sebagai seorang muslim dan sebagai warga negara Indonesia, kita tidak mengalami keterbelahan pandangan dan sikap. Kita cinta tanah air kita, sebab tanah kita adalah anugerah dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa, untuk kita jaga dan kita makmurkan. Sebab, kita adalah khalifatullah fil-ardh.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa memberikan kemampuan kepada kita untuk mewujudkan negeri kita sebagai negeri yang adil dan makmur dalam naungan Ridha Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin. (Jakarta, 26 November 2021).

Ed. Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *