Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.comذDepok - Pemerintah (Kemendikbud Ristek) membuat pembelaan atas keluarnya Permendikbud No 30 tahun 2021. Padahal, sudah begitu banyak tokoh, pakar pendidikan, dan organisasi Islam yang melakukan protes terhadap Permendikbud tersebut.
Soal Permendikbud 30/2021 ini masalah serius, karena menyangkut kerusakan standar nilai moral dan nasib Perguruan Tinggi kita kedepan. Jika Permendikbud ini masih dipertahankan, maka umat Islam perlu berpikir serius untuk melakukan tindakan penyelamatan terhadap Perguruan Tinggi kita.
Pada 6 November 2021, laman berita detik.com menurunkan berita berjudul: “Kemendikbud Jawab Kritik PKS soal Permen Antikekerasan Seksual di Kampus”. Disebutkan, bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) telah menjawab kritik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tentang Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi — selanjutnya disebut Permen PPKS.
PKS tidak setuju dengan aspek ‘consent’ atau ‘konsensual (persetujuan)’ yang menjadi syarat aktivitas seksual. Ada pula ketidaksetujuan PKS soal definisi kekerasan seksual. PKS juga menilai Permen PPKS ini tidak mempunyai cantolan hukum.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek Nizam menanggapi kritik PKS dengan penjelasan soal Permen PPKS ini. “Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur secara spesifik sehingga menyebabkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi selama ini tidak tertangani sebagaimana mestinya,” kata Nizam, Sabtu (6/11/2021).
Permen PPKS adalah aturan yang urgen. Soalnya, dampak kekerasan seksual bisa berakibat pada fisik dan mental korban. Implikasinya, penyelenggaraan perguruan tinggi menjadi tidak optimal, kualitas pendidikan tinggi bisa turun. “Sudah sepatutnya kekerasan seksual tidak terjadi, apalagi di lingkungan pendidikan,” kata Nizam.
Di dalam Permen PPKS, ada aturan mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus. Di luar sanksi yang diatur dalam Permen PPKS, ada pula sanksi yang sudah termaktub dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Permen PPKS itu.
“Permen PPKS disusun dengan mengingat adanya 10 peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya di mata hukum, serta telah melalui proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” kata profesor dari UGM ini.
Substansi Permen PPKS sejalan dengan tujuan pendidikan yang diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, yakni pendidikan yang bertujuan mengembangkan potensi diri memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia.
“Kekerasan seksual merupakan salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan tersebut,” kata Nizam. (https://news.detik.com/berita/d-5799835/kemendikbud-jawab-kritik-pks-soal-permen-antikekerasan-seksual-di-kampus).
Seperti kita pahami, Permen PPKS ini sudah banyak diprotes. Semuanya sepakat, bahwa kekerasan seksual harus ditanggulangi. Tetapi, masalahnya adalah pada definisi “kekerasan seksual” itu sendiri. Bahwa, yang termasuk kekerasan seksual adalah jika aktivitas seksual itu dilakukan tanpa persetujuan korban.
Disebutkan dalam Permen PPKS, bahwa definisi kekerasan seksual adalah: “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”
Permen PPKS ini sangat menekankan aspek “tanpa persetujuan korban”, sebagai salah satu indikator kejahatan seksual. Misalnya, definisi “Kekerasan Seksual” pada pasal 5 ayat 2 (l) dan (m), yang menyatakan: “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban” dan membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban”.
Pasal 5 ayat 3 menyebutkan: “Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban: 1. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Itu artinya, kalau tindakan seksual itu dilakukan dengan persetujuan korban dan sudah sama-sama dewasa, maka itu bukan termasuk kategori “kekerasan seksual”. Jadi, kalau mahasiswa dan dosen terlibat aktivitas seksual perzinahan berdasarkan suka sama suka, ya tidak perlu dipersoalkan. Kampus pun tidak perlu repot-repot untuk membentuk satgas untuk menangani kasus perzinahan dan tindakan amoral lainnya. Jadi, tidak salah jika dipahami, bahwa Permen PPKS ini memang satu bentuk legalisasi perzinahan di kampus!
Menurut Prof. Nizam, substansi Permen PPKS sejalan dengan tujuan pendidikan yang diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, yakni pendidikan yang bertujuan mengembangkan potensi diri memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia. “Kekerasan seksual merupakan salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan tersebut,” kata Nizam.
Jika kita mengacu kepada tujuan Pendidikan Nasional dalam UUD 1945 pasal 31 (3) dan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 dan UU Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012, maka semua menyebut pada terbentuknya manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Bagaimana mungkin, tujuan pendidikan nasional itu bisa tercapai, jika ajaran agama diabaikan dalam penentuan KEJAHATAN SEKSUAL!
Penghalang tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional itu bukan hanya “Kekerasan Seksual” atau “Kelunakan Seksual”, tetapi lebih tepat “KEJAHATAN SEKSUAL”. Perkosaan atau pelecehan seksual itu satu KEJAHATAN SEKSUAL. Tetapi, perzinahan dan seks bebas yang dilakukan dengan persetujuan para pelaku pun – menurut ajaran agama – termasuk KEJAHATAN SEKSUAL yang wajib ditanggulangi secara serius oleh pihak pimpinan kampus.
Karena itu, umat Islam Indonesia tidak boleh berdiam diri dengan upaya untuk merusak Perguruan Tinggi kita yang dilakukan dengan merusak standar nilai moral di Perguruan Tinggi. Seyogyanya, nilai-nilai agama dijadikan sebagai landasan pokok dalam penentuan nilai moral, bukan hanya soal kesepakatan semata.
Jika standar nilai moralitas seksual di Perguruan Tinggi ditentukan atas dasar kesepakatan para sivitas akademika di Perguruan Tinggi dengan mengabaikan ajaran agama, maka jangan kaget, jika suatu saat, homoseksual dan lesbian pun akan dilegalkan, yang penting dilakukan tanpa kekerasan dan saling persetujuan para pelaku. Toh, tidak ada pihak yang merasa dirugikan! Na’udzubillaahi min dzaalika. (Depok, 7 November 2021).
Ed. Sudono Syueb