Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam Muktamar NU ke-14 di Magelang, pada 1 Juli 1939, para ulama NU menegaskan bahwa kitab Taurat, Injil, dan Zabur yang ada di tangan kaum Kristen, Katolik, dan Yahudi sekarang ini bukanlah kitab samawiah yang wajib diimani kaum Muslim.
Sementara itu, dalam Muktamar NU ke-13 di Menes Banten, 12 Juli 1938, diputuskan bahwa seseorang yang mengatakan kepada anaknya yang beragama Kristen: “Kamu harus tetap dalam agamamu”, yang diucapkan dengan sengaja dan ridha atas kekristenan si anak, maka orang tua tersebut telah menjadi kufur dan terlepas dari agama Islam. (Lihat, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), terbitan Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN-NU) Jawa Timur).
Dalam agama Islam, orang yang kufur dan terlepas dari agama Islam, maka ia dipandang sebagai orang kafir dan hina derajatnya di hadapan Allah (QS 8:55). Orang kafir tidak diterima amalnya (QS 24:39). Maka, sangatlah rugi orang yang melepaskan agama Islam dan memilih kekufuran. Menurut Keputusan Muktamar NU tersebut, maka seorang telah dihukumi kufur, karena ia merestui kekufuran.
Dua keputusan Muktamar NU itu perlu dicamkan oleh umat Islam Indonesia, termasuk di zaman kita ini. Sebab, berbagai ujian keimanan yang menggoyahkan keimanan umat Islam, masih terus berlangsung. Keyakinan, bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang murni dan satu-satunya agama yang benar (QS 3:19), terus digoyahkan oleh paham Pluralisme Agama.
Dalam bukunya, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994), Alister E. Mcgrath, menulis bahwa ada tiga cara orang Kristen dalam melihat agama-agama lain, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Tentang pluralisme, dijelaskan bahwa: “In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God.”
Jadi, dalam paham pluralisme, semua agama dianggap jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan. Tidak ada agama yang lebih hebat dibandingkan yang lain. Di kalangan muslim, virus ini sudah disebarkan oleh para dosen agama di sejumlah kampus, melalui disertasi doktor dan thesis master mereka. Ibarat virus Corona, virus pemikiran ini sudah menjangkiti para tenaga medis. Harusnya, dokter atau perawat itu memberantas virus, tetapi justru menjadi penyebar utama virus ganas ini.
Salah satu cara kaum pluralis merusak aqidah Islam adalah dengan mengubah makna ”Islam”. Sebuah Tesis Master salah satu kampus di Yogya yang diterbitkan dengan judul Tafsir Inklusif Makna Islam (2004) mendekonstruksi makna ‘Islam’ yang selama ini sudah dipahami oleh kaum Muslim. Tesis ini membuat kesimpulan: “Sekali lagi, setiap agama yang dianut oleh semua umat manusia sepanjang sejarah adalah Islam, termasuk agama-agama yang masih ada sekarang. Bila melihat akar sejarah dari Nabi Ibrahim, maka tentu saja agama yang dibawa oleh Nabi Musa, yakni Yahudi, agama yang dibawa oleh Yesus Kristus (Nabi Isa), yaitu Kristen dan yang terakhir adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah juga Islam.” (hlm. 164).
Dalam sebuah buku berjudul Islam Mazhab HMI (2007), dijelaskan juga makna Islam secara generik: “Dengan demikian bisa dikatakan setiap agama yang mengajarkan sikap pasrah dan tunduk kepada Allah harus disebut dengan Islam (dalam makna generiknya) walaupun ajaran lokalnya berbeda-beda, dan tentu saja akan mendapat perkenan Tuhan. Tidak hanya agama semitik (Abrahamic religions) yang mendapat perkenan Tuhan, agama-agama lainnya juga, seperti Hindu-Buddha, Konghucu dan sebagainya akan mendapat perkenan Tuhan (rida) selama agama tersebut mengajarkan sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan (islam). (hlm. 10). “Sampai di sini, sejatinya pengertian islam harus dipahami dalam makna generiknya, yaitu sikap pasrah dan tunduk kepada tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, tidaklah terlalu tepat jika islam dibatasi hanya untuk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.” (hlm. 11).
Seorang muslim sepatutnya berpikir sebagai seorang Muslim – yang sudah bersyahadat bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Seorang muslim sepatjtnya tidak menulis kesimpulan seperti itu.
Dalam pandangan Islam, Nabi Isa a.s. tidak membawa agama Kristen. Sebab, inti dari kekristenan adalah konsep penyaliban dan kebangkitan Yesus. Al-Qur’an juga menegaskan status Isa a.s. sebagai rasul, utusan Allah, dan bukan sebagai Tuhan atau anak Tuhan. Bahkan, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa Allah sangat murka karena dituduh mempunyai anak. (QS 19:88-91).
Inilah perspektif Islam dalam memandang agama-agama yang ada. Dalam hadits kedua Kitab al-Arba’i an-Nawawiyah, Rasulullah saw. menegaskan makna Islam: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah—jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).
Jadi, tanpa keimanan kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan tanpa keimanan kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, maka seseorang tidak bisa dikatakan sebagai Muslim. Kita tidak bisa menyatakan, bahwa Paus Franciskus adalah seorang muslim yang sholeh dan bagian dari orang-orang muttaqin.
Kaum Katolik juga tidak mau agama mereka disejajarkan dengan agama-agama lain. Melalui Dokumen Dominus Iesus yang dikeluarkan Vatikan pada 6 Agustus 2000, Gereja Katolik menegaskan, “Jelas sangat bertentangan dengan iman Katolik, bila berpendapat bahwa Gereja seperti salah satu alternatif jalan keselamatan bersama-sama dengan yang ditawarkan oleh agama-agama lain, yang dipandang sebagai pelengkap bagi Gereja, atau secara substansial sederajat dengan Gereja….” (Stefanus Suryanto, Paus Benediktus XVI (Jakarta: Obor, 2008)).
Kita menghormati keyakinan agama lain, seperti kaum Katolik tersebut. Meskipun, tentu saja, kaum muslim punya keyakinan yang berbeda. Kaum muslim yakin, bahwa hanya Islamlah agama yang diterima oleh Allah SWT (QS 3:85). Jadi, untuk membangun kerukunan umat beragama, umat Islam tidak perlu mendukung atau merestui kekufuran, apalagi sampai berganti agama dan keluar dari Islam. Na’udzu billaaahi min dzaalika. (Depok, 30 Oktober 2021).