Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dewandakwahjatim.com,Deok – Ahad (24/10/2021) sore ini, saya mengisi pengajian bulanan untuk para wali murid dan walisantri Perguruan At-Taqwa Depok, melalui media Zoom. Ada sekitar 80 orang yang hadir. Temanya: Makna Pendidikan Tinggi dalam Islam.
Materi ini sangat penting untuk dipahami para wali murid atau wali santri. Sebab, di banyak sekolah Islam dan pesantren, persepsi para wali itu tentang pendidikan tinggi berdampak pada kurikulum pendidikan di tingkat SMA. Para wali murid atau wali santri memandang bahwa diterimanya anak-anak mereka di Perguruan Tinggi favorit (PTN), merupakan tujuan utama ia memilih sekolah/pesantren untuk anaknya tersebut.
Karena itu, jangan heran, jika ada banyak sekolah atau pesantren yang menjadikan penerimaan di PTN indikator utama prestasi sekolahnya. Artinya, jika banyak lulusan SMA-nya yang diterima di PTN, berarti sekolah itu bagus. Beberapa kali saya menjumpai di halaman suatu pesantren terpampang poster semacam ini: “Selamat dan Sukses kepada Alumni SMA ini yang diterima di PTN.”
Di poster itu ada nama dan foto lulusan SMA-nya beserta nama Program Studi dan Perguruan Tingginya. Bahkan, ada yang memasang iklan, bahwa santri-santrinya termasuk manusia cerdas, karena mereka juga bisa diterima di PTN.
Di terima di PTN adalah baik dan patut diberikan ucapan selamat. Tetapi, janganlah para lulusan SMA yang diterima di Perguruan Tinggi-nya sendiri, tidak diberikan ucapan selamat. Apalagi dibuatkan posternya. Itu tidak adil. Anak yang menekuni ilmu-ilmu al-Quran, aqidah, ibadah, akhlak, dan sejenisnya, tidak lebih rendah derajatnya dengan anak-anak yang belajar kedokteran atau ilmu akuntansi.
Kita tidak membahas soal diterima atau tidak di PTN. Yang kita bahas kali ini adalah bagaimana kedudukan kuliah di perguruan tinggi dalam perspektif pendidikan Islam. Konsepnya sudah beberapa kali kita bahas, yaitu: (1) Menanamkan adab atau akhlak mulia sebelum ilmu (b) Mengutamakan ilmu-ilmu fardhu ain dan (c) Memilih ilmu fardhu kifayah yang tepat, sesuai dengan potensi mahasiswa dan ilmu yang dibutuhkan oleh umat.
Karena itulah, perlu dipahami dengan betul, apa sebenarnya hakikat pendidikan tinggi dalam Islam. Dalam bukunya, “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prof. Wan Mohd Nor menyebutkan, bahwa Pendidikan Tinggi adalah pendidikan untuk orang dewasa.
Dalam Islam, pendidikan orang dewasa dimulai setingkat SMA. Jadi, pendidikan tinggi dalam Islam, sebenarnya dimulai ketika anak-anak sudah masuk usia akil baligh. Tujuannya adalah menyiapkan peserta didiknya agar menjadi semakin matang dan mandiri. Sebab, mereka sudah mukallaf. Mereka sudah bertanggung jawab atas amalnya sendiri.
Karena itu, seharusnya, pendidikan tingkat SMP adalah menyiapkan anak-anak agar siap menjadi dewasa. Lulus SMP harusnya para murid itu sudah benar aqidahnya, benar akhlaknya, benar bacaan al-Qurannya, dan juga benar tata cara ibadahnya. Ini yang wajib dilakukan (fardhu ain). Ketika masuk SMA, mereka sudah siap menjadi orang dewasa. Di SMA itulah anak-anak ditempa agar lebih matang menjadi orang dewasa. Inilah hakikat pendidikan tinggi dalam Islam.
Jadi, belum tentu anak-anak yang kuliah di Perguruan Tinggi menjalani proses pendidikan tinggi. Mohammad Natsir tidak kuliah di Perguruan Tinggi, tetapi menjalani proses pendidikan tinggi yang sangat bagus. Begitu juga proses pendidikan yang dijalani Buya Hamka. Tentu tidak ada yang meragukan kualitas ilmu dan akhlak Buya Hamka. Universitas al-Azhar Kairo memberikan gelar “guru besar” kepada Buya Hamka. Apakah Buya Hamka pernah kuliah formal di Perguruan Tinggi? Ternyata, tidak! Tapi, perjalanan pendidikan Buya Hamka menunjukkan, bahwa ia telah menjalani proses pendidikan tinggi. Ia bersungguh-sungguh menimba ilmu secara langsung kepada ulama-ulama dan tokoh-tokoh hebat.
Begitu juga dengan Mohammad Natsir, yang secara formal hanya sekolah sampai jenjang SMA. Tapi, banyak profesor yang bangga mengaku sebagai murid Mohammad Natsir. Prof. Amien Rais, Prof. AM Saefuddin, Prof. Didin Hafidhuddin, dan banyak lainnya, yang mengaku sebagai murid Pak Natsir.
Inilah pentingnya para orang tua atau wali murid/santri memahami benar hakikat pendidikan tinggi. Di Pesantren at-Taqwa, jenjang pendidikan tinggi dimulai dari jenjang SMA yang diberi nama PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization). Mengapa SMA-nya bernama Pesantren Pemikiran dan Peradaban Islam?
Sebab, di sinilah para santri tingkat SMA itu sudah harus serius belajar pemikiran dan peradaban Islam untuk membangun pandangan hidup (worldview)-nya. Mereka sudah harus memiliki pemahaman yang kuat tentang konsep-konsep penting dalam Islam, seperti konsep Tuhan, agama, kenabian, wahyu, manusia, ilmu, dan sebagainya.
Alhamdulillah, sampai sekarang, saya mengajar langsung mata pelajaran Islamic Worldview untuk para santri tingkat SMA (PRISTAC). Begitu juga, ketika mereka melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi at-Taqwa (At-Taqwa College). Di sini, pemahaman tentang pemikiran dan peradaban Islam, akan semakin diperdalam. Tujuannya agar mereka tidak lagi bingung dan terombang-ambing dalam menentukan tujuan dan peran hidupnya di kemudian hari.
Jadi, hakikat pendidikan tinggi dalam Islam adalah mematangkan kedewasaan para siswa atau mahasiswa yang telah memasuki masa akil-baligh. Mereka bukan hanya dilatih untuk menjawab soal-soal ujian, tetapi juga sudah harus banyak diberikan pemahaman tentang kehidupa itu sendiri.
Dengan bahasa yang mudah, bisa dikatakan, pendidikan tinggi dalam Islam, bukan hanya memberikan pemahaman dan kemampuan, agar anak bisa hidup. Tetapi, yang lebih penting, adalah agar anak paham, apa itu makna dan tujuan hidup.
Jika anak paham benar akan masalah ini, insyaAllah, ia tidak akan rebutan atau serakah jabatan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 24 Oktober 2021).
Ed. Sudono Syueb