Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com – Hari ini saya menerima pertanyaan melalui WA, apakah betul berita yang menyatakan, bahwa suatu Perguruan Tinggi di Semarang sudah membuka studi khusus Penghayat Kepercayaan. Saya belum menjawab pertanyaan itu.
Setelah saya telaah, ternyata memang ada berita lama yang berjudul: “Ada Program Studi Khusus Penghayat Kepercayaan di Untag Semarang.” (Gatra.com, 14 Juni 2019).
Disebutkan dalam berita itu, bahwa Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menunjuk Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang untuk membuka program studi (prodi) aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) untuk Tahun Ajaran 2019/2020.
Rektor Untag Semarang, Prof. Suparno, mengatakan bahwa prodi Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) telah dijadwalkan untuk diaplikasikan pada Tahun Ajaran 2019/2020. Surat rekomendasi dari Kemenristekdikti bernomor B/891/L6/KL.00.00/2019 terbit pada 12 Juni 2019 dan ditandatangani oleh perwakilan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah IV Kemenristek, DYP Sugiharto.
“Prodinya akan dibuka tahun ini. Nantinya, kita tetap mengupayakan bisa mengakomodasi mahasiswa yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan penganut penghayat,” katanya di Semarang, Jumat (14/6).
Ia mengklaim, Untag akan menjadi satu-satunya kampus yang memiliki prodi Kepercayaan kepada Tuhan YME di Indonesia. Prodinya bakal tergabung dalam Fakultas Seni dan Budaya di kampus Untag Bendan Nduwur Gajahmungkur. “Kita buka buat S-1 dulu, kalau ke depan prospeknya bagus akan dibuka lagi untuk yang S-2,” ujarnya.
Prof Suparno mengungkapkan, pembukaan prodi tersebut atas pertimbangan, yaitu Untag sering menangani beberapa para penganut penghayat yang terjerat kasus hukum. “Itu jadi pertimbangan dari Kemenristekdikti untuk memberikan penunjukan langsung kepada kami, guna membuka Prodi Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya.
Aliran Kepercayaan telah disejajarkan kedudukannya dengan agama, menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017. Memang, Aliran Kepercayaan tidak disebut sebagai agama, tetapi kedudukannya disamakan dengan agama. Dengan demikian, maka Aliran Kepercayaan yang jumlahnya mencapai ratusan, akan diarahkan semakin menjauh dari agama. Dengan kata lain, Aliran Kepercayaan akan berpotensi menjadi agama sendiri, di luar agama-agama yang sudah diakui di Indonesia.
Aliran Kepercayaan – disebut juga Kebatinan – telah menjadi masalah yang panjang di Indonesia. Tetapi, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Aliran Kepercayaan atau Ketabinnan?
Pakar Islam dan Budaya Jawa, Dr. Susiyanto, dalam salah satu makalahnya, menjelaskan, bahwa dalam Konggres Kebatinan Indonesia (K.K.I) Kedua yang dilaksanakan pada 7-10 Agustus 1956 di Surakarta, telah dihasilkan definisi tentang Kebatinan. Dalam hasil rumusan kongres dinyatakan bahwa: “Kebatinan ialah sumber azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup”.
Definisi “Kebatinan” menurut hasil K.K.I. ini dikritik oleh Prof. Dr. Rasjidi. Definisi yang baik seharusnya terdiri dari genus dan difference. Menurut Rasjidi definisi tersebut bukan saja tidak memuaskan bahkan terbalik. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta dari seluruh alam raya dan isinya termasuk manusia. Ia juga yang menciptakan segala wujud, alam gaib, dan nilai-nilai. Seharusnya bukan kebatinan yang menjadi sumber Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi: Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang menjadi sumber Kebatinan.
J.W.M. Bakker SJ, seorang tokoh Katolik, dalam bukunya “Agama Asli Indonesia” menolak kritik Rasjidi di atas. Dengan mengkritik definisi Kebatinan versi hasil K.K.I., Rasjidi dianggap telah membuktikan ketidakmampuannya memahami Kebatinan, apalagi menghargainya. Bakker mengopinikan bahwa definisi “Kebatinan” yang dikutipnya secara keliru “Kebatinan adalah sumber azas dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa”, bermakna sebagai penegasan bahwa satu-satunya sumber iman ketuhanan ialah pengalaman batin. Menurutnya, Islam di Indonesia telah menafikan aspek pengalaman batin ini sebagai inti hidup rohani.
Menurut Susiyanto, sebenarnya Rasjidi tidak terlalu keliru dalam mengkritik definisi Kebatinan hasil K.K.I. tersebut. Dalam salah satu hasil K.K.I. kedua di Surakarta rumusan tentang Pendidikan Jiwa menyebutkan bahwa tujuan Pendidikan Jiwa adalah “Timbulnya manusia susila atau manusia yang bertindak “SEPI ING PAMRIH RAME ING GAWE” (Giat bekerja jauh dari kepentingan sendiri), bersumber pada azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup lahir dan batin untuk negara dan bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat”.
Hal yang sama juga bisa dibaca dalam Anggaran Dasar B.K.K.I. pada Bab II tentang “Azas dan Tujuan” dimana disebutkan bahwa “B.K.K.I. berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa …”
Selain itu, S.K. Trimurti, selaku penggiat B.K.K.I., menafsirkan definisi Kebatinan diatas sebagai suatu panduan bahwa anggota B.K.K.I. harus mempercayai keberadaan Tuhan. Hakikat kebenaran tidak terletak pada materi melainkan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.
Rumusan tentang Pendidikan Jiwa yang menjadi bagian dari pembinaan Kebatinan justru bersumber pada azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan pada Kebatinan yang didefinisikan sebagai sumber azas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menjadi indikasi bahwa peserta termasuk tim perumus “Pendidikan Jiwa” yang ada di K.K.I. sendiri nampaknya juga mengalami kebingungan dengan definisi “Kebatinan” yang tidak memuaskan tersebut sehingga hasil rumusannya saling tumpang tindih.
Oleh karena itu, dalam hal ini, kritik Rasjidi adalah benar dan Bakker nampaknya kurang memahami persoalan dengan baik. Dari berbagai rumusan di atas, nampaknya definisi Kebatinan yang memuaskan memang belum ada. Istilah ini sendiri masih membuka ruang untuk dimaknai dengan cara berbeda. Demikian ulasan Dr. Susiyanto.
Meskipun masih terus memicu kontroversi, bagaimana pun juga, Aliran Kepercayaan telah diakui keberadaannya di Indonesia. Bagi umat Islam, tentunya hal ini menjadi tantangan dakwah tersendiri. Tidak ada pilihan lain, umat Islam berkewajiban membuktikan bahwa ajaran Islam tentang pembersihan jiwa, sangat komprehensif.
Jadi, dengan semakin kuatnya posisi Aliran Kepercayaan, maka umat Islam perlu melakukan kajian yang mendalam, dan memberikan tawaran-tawaran konsep pendidikan jiwa yang unggul. Bagaimana pun, kita tetap berharap, agar para penganut Aliran Kepercayaan bersedia kembali kepada Islam, secara sukarela, tanpa paksaan. (Bukittinggi, 11 Oktober 2021).
Ed. Sudono Syueb