Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com – Tahun 2018, Universitas Ibn Khaldun Bogor, meluluskan seorang Doktor dalam bidang Pendidikan Islam, dengan kekhususan pembelajaran matematika yang Islami. Namanya: Dr. Ir. Mohammad Syafii. Ia menulis disertasi dengan menganalisis kitab matematika “Al-Jabr wal-Muqabalah” karya Al-Khawarizmi.
Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi adalah ilmuwan matematika muslim yang sangat fenomenal. Ia lahir Khurasan, pada 780 M.
Keluarganya berasal dari Baghdad. Ia bekerja di Baitul Hikmah, satu lembaga yang sangat bergengsi. Berikut ini kutipan dari Kitab Al-Jabr wal-Muqabalah.
Al-Khawarizmi membuka kitabnya dengan pernyataan akan komitmennya kepada Allah SWT. Ia membuka dengan kalimat: “Segala puji hanya milik Allah ta’ala atas nikmat-nikmat-Nya, karena Dia Pemiliknya yang berhak dipuji dengan segala pujian, yang menetapkan kewajiban untuk memuji-Nya bagi mahluk-Nya yang menyembah-Nya. Bersyukur hanya kepada-Nya saja dan Dialah yang berhak untuk menambah nikmat-Nya. Kita sungguh-sungguh mengimani-Nya dengan mentauhidkan rububiyah-Nya, selalu menghinakan diri karena keperkasaan-Nya dan selalu tunduk karena keagungan-Nya”.
Ia juga menegaskan bahwa Allah ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad saw dengan nubuwwah pada masa fatrah dari para Rasul-Rasul-Nya, dalam keadaan tidak tahu kebenaran. Maka, Rasul-Nya mengajarkan petunjuk. Dengan itu, maka orang yang buta menjadi melihat (kebenaran), terbebas dari kehancuran (hidup).
“ Mahasuci Allah, Rabb kita dan Mahatinggi keagungan-Nya dan Yang Suci nama-nama-Nya, dan tidak ada ilah (zat yang berhak disembah) selain-Nya.
Shalawat dan salam dari Allah ta’ala atas Nabi-Nya Muhammad S.A.W. dan keluarganya,” tulis al-Khawarizmi sebagaimana dikutip dalam disertasi Dr. Syafii.
Dalam pembukaan kitabnya, al-Khawarizmi banyak memuji kebesaran Allah SWT untuk menegaskan ketauhidannya kepada Allah. Lalu
ia menekankan bahwa bahwa Allah SWT adalah sebagai sumber, pemilik dan pencipta segala ilmu pengetahuan. Dia berhak memberi pengetahuan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mengambil pengetahuan dari siapa yang dikehendaki-Nya.
Dengan penegasan Tauhid dalam kitab matematika ini, maka al-Khawarizmi telah memberi contoh, bahwa dalam tradisi keilmuan Islam, tidak ada dikotomi dalam ilmu pengetahuan; antara ilmu duniawi dan ilmu agama. Sebab, semuanya bersumber dari Allah SWT.
Tentang motivasinya menulis kitab Al-Jabru wal Muqabalah, Al-Khawarizmi menyebutkan, bahwa hal itu dilakukan untuk menggapai impian kemudahan dalam perhitungan dari kemuliaan ilmu ini. Sebab, manusia senantiasa mempunyai kebutuhan terhadapnya dalam urusan-urusan mereka, seperti warisan, wasiat, pengambilan hak bagian, hukum-hukum dan perdagangan, dan untuk seluruh muamalah mereka yang menggunakan penghitungan diantara mereka seperti luas kepemilikan tanah, pendalaman parit atau saluran dan masalah-masalah keteknikan dan selainnya dari berbagai macam dan jenis masalah kehidupan.
Memang, Al-Khawarizmi menyusun buku aljabar sebelum istilah aljabar dikenal. Tujuannya untuk menghitung masalah-masalah dalam pelaksanaan ajaran Islam, seperti waris, wasiat, zakat dan sebagainya.
Al-Khawarizmi juga menegaskan keyakinan dan pandangannya sebagai seorang ilmuwan muslim terhadap ilmu pengetahuan. Ia meyakini bahwa ilmu dan karya yang berhasil diraihnya bukan semata-mata hasil kerja dan kecerdasannya, tetapi ilmu yang telah diraihnya adalah karunia Allah SWT. Sebab kecerdasan, akal dan panca inderanya adalah karunia Allah SWT.
Jika Allah tidak mengijinkan suatu ilmu sampai padanya, maka pastilah ilmu itu tidak akan pernah dimilikinya.
Menurut Dr. Syafii, Al-Khawarizmi menyadari bahwa untuk mengembangkan operasional matematika yang lebih komplek dalam menyelesaikan masalah yang rumit, pembuatan sistem bilangan dan urutannya menjadi syarat dasar terpenting. Untuk itu ia mengembangkan sistem bilangan yang sudah ada, menjadi sistem bilangan yang mudah untuk dilakukan operasional matematika dengan membuat jenjang bilangan yang berurutan dari satu ke sepuluh. Hal itu lalu berulang dari satu puluhan ke urutan selanjutnya, kemudian berulang dari ratusan kesatu dan seterusnya, sampai selanjutnya yang berulang tiap sepuluh kali.
Dari sinilah ia menciptakan adanya bilangan nol yang saat itu belum dikenal. Sistem bilangan ini karena kemudahannya untuk operasional matematika menjadi pilihan para ilmuwan matematika saat itu dan penerusnya sampai saat sekarang ini, yang kita kenal dengan sebutan sistem bilangan Arab.
Pemikiran Matematika berangkat dari ide dasar mencari suatu nilai yang belum diketahui. Ide ini pertama kali dikembangkan oleh al-Khawarizmi. Belum ada pakar Matematika yang menemukan metoda ini sebelumnya.
Masa kehidupan al-Khawarizmi bersamaan dengan masa awal kebangkitan ilmiah di dunia Islam. Yakni, pada akhir abad kedelapan dan awal abad kesembilan Masehi. Saat itu, muncul ide-ide sains yang terinspirasi dari hukum Islam.
Kedekatan umat dengan al-Qur’an dan hadits Nabi S.A.W. telah menimbulkan gairah untuk menuntut ilmu, termasuk ilmu sains. Ilmuwan muslim menyakini alam ini sebagai ayat-ayat Allah, bukan realitas independen yang terlepas kaitannya dengan realitas-realitas apapun yang lebih tinggi darinya. Semua aktivitas keilmuan selalu dikaitkan dengan kekuasaan Allah ta’ala.
Menurut Dr. Syafii, para sarjana muslim berhasil menggabungkan dua pendekatan dalam penyelesaian Matematika menjadi sebuah ilmu baru, yaitu pendekatan penghitungan angka dengan pendekatan Geometrik. Peradaban Islam tidak mengambil secara mutlak warisan dari Yunani dan India dalam menciptakan pendekatan angka dan pendekatan Geometrinya. Untuk menemukan jawaban bagi permasalahan dan “nilai yang tidak diketahui”, sarjana muslim menciptakan dan kemudian menamakan ilmu tersebut dengan Aljabar. Nama ini berasal dari kata bahasa Arab al-Jabr.
Disertasi Dr. Syafii semakin menguatkan perlunya dilakukan Islamisasi Ilmu-ilmu Pentahuan Kontemporer. Tujuannya agar ilmu yang dipelajari umat Islam bukanlah ilmu-ilmu sekuler. Yakni, ilmu yang telah dipisahkan dari aspek keimanan dan aspek ibadah.
Kitab Al-Jabr wal-Muqabalah membuktikan, bahwa di masa lalu, umat Islam telah melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan kontemporer di zaman itu. Kitab ini pun membuktikan, bahwa dengan tetap berbasis keimanan, ilmuwan muslim mampu mengembangkan ilmu-ilmu rasional dan empiris yang mengagumkan dan sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. (Padang, 12 Oktober 2021).
Ed. Sudono Syueb