Cara Menyikapi Kritik Ala Rasulullah Saw

Oleh Bahrul Ulum, pengurus DDII Jatim bidang Pemikiran Islam

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS Al-’Ashr [103]: 1-3).

Peristiwa penghapusan mural atau coretan di dinding bernada kritik di berbagai tempat ramai terjadi akhir-akhir ini. Aksi penghapusan itu gencar dilakukan aparat di masing-masing wilayah. Aparat berdalih penghapusan itu karena melanggar perda dan materinya dinilai bermasalah.

Kemunculan mural ini berkaitan dengan kondisi masyarakat di masa pandemi Covid-19 saat ini. Beberapa mural, membawa narasi berkaitan dengan perasaan warga yang mengkritik kebijakan pemerintahan dalam menangani pandemi. Di antara redaksi mural yang viral yaitu: ‘Negaraku Minus Nurani’ dan ‘Orang miskin dilarang sakit’.

Penghapusan mural secara gencar itu ternyata tak membuat sejumlah pihak melunak. Para seniman bahkan sengaja menggelar lomba mural untuk tetap melakukan kritik.

Terlepas dari pro kontra penghapusan mural, sesunguhnya tidak ada yang salah dengan kritik. Kritik berbeda dengan caci-maki, hoaks, ujaran kebencian, maupun fitnah.

Jika sebuah negara ingin tumbuh dan berkembang dengan baik, diperlukan masukan (input) dari berbagai pihak dalam menggotong kebaikan (bonum commune) dan kesejahteraan bersama (communal welfare). Hal ini penting, mengingat sebuah pemerintahan yang baik, akan tetap eksis selamanya jika para pemangku jabatan dan kepentingan mau terbuka dalam menerima masukan berupa kritik.

Setiap warga boleh menyampaikan aspirasi, masukan, ataupun kritik agar yang dikritik sadar akan kekurangan dan kelalaian yang tengah terjadi. Dalam hal ini, kritik berusaha memacu upaya menumbuhkembangkan fungsi kontrol sosial (social control) dalam hidup bersama. Dengan mengutarakan kritik, seseorang merasa bebas hidup sebagai warga negara, sekaligus diterima atau diakui sebagai seorang warga negara.

Dalam kehidupan bersama, mengkritik, dikritik, dan menjawab kritik adalah hal yang wajar. Unsur-unsur ini penting dan harus mewarnai corak dialogis humanis sebuah bangsa. Kritikpun tidak harus memberikan solusi. Hal yang penting, sudah berusaha mengingatkan dan memberikan input yang konstruktif. Namun yang perlu digarisbawahi, kritik tersebut harus dengan cara yang baik dan elegan.

Dalam menyampaikan kritik, tidak cukup apa yang dinamakan dengan intensi yaitu hal apa yang hendak disampaikan. Meski niatnya baik, namun jika disampaikan kurang baik akan menimbulkan masalah.

Dalam ilmu komunikasi, tata cara menyampaikan ide, gagasan, pesan ataupun kritik harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Di antaranya menggunakan pilihan kata (diksi) yang baik, tidak memprovokasi, menggunakan bahasa yang tidak mengandung SARA, dan tak boleh menghujat atau mencaci-maki si sasaran kritik. Ketika aspek-aspek tersebut dilalaikan, inilah yang menjadi biang kerok kenapa para pengkritik kemudian diproses secara hukum.

Ada Teladan

Dalam mengritik harus dilakukan secara ikhlas dan tidak bermaksud menonjolkan diri. Jangan sampai mengritik karena termotivasi oleh hasad (kedengkian) atau berbagai tendensi tertentu. Hendaknya kritik termotivasi menampakkan kebenaran dan menjelaskan kesalahan yang ditopang keinginan memperoleh ridha Allah. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah bahwa mengritik harus diniatkan memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujjah atasnya, bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula melecehkan orang lain (Al-Fatawa).

Kritikus harus mengetahui letak kesalahan dari pihak yang akan dibantah. Dia harus tahu kandungan-kandungan perkataan pihak yang dibantah yang bertentangan dengan nash-nash syari’at sehingga dirinya tidak mengingkari sesuatu yang ma’ruf dan malah membenarkan kemungkaran, menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.

Jika kritik dilakukan dengan cara yang baik, tentu yang dikritik juga harus menanggapi dengan cara yang baik pula. Adalah Rasulullah Saw, bisa menjadi teladan. Nabi Saw menerima kritik dengan rendah hati dan menjadikannya sebagai masukan positif.

Dikisahkan, suatu saat seorang rabi Yahudi yaitu Zaid ibn Sun’ah datang untuk menagih utang yang harus dibayar Nabi Saw kepadanya. Mendapati Sang Nabi, Zaid ibn Sun’ah langsung menarik jubah Rasulullah Saw dari bahunya dan menyapanya dengan kasar, ‘’Kamu, anak Abdul-Muthalib, menghabiskan waktu.’’

Mendapati perlakuan seperti itu Rasulullah Saw tetap tersenyum. Pihak yang tidak terima malah Umar ibn Al-Khaththab Ra. Ia marah dan mengancam orang Yahudi tersebut. Sebaliknya, Rasulullah Saw mengakui bahwa lelaki tersebut berhak mendapat perlakuan yang lebih baik. Umar Ra seharusnya menasehati dirinya agar melunasi utangnya, meski jatuh tempo utangnya masih tiga hari lagi. Ketika melunasi, Nabi Saw meminta Umar Ra menambahi sebagai kompensasi atas ancamannya kepada Zaid. Atas peristiwa tersebut, akhirnya Zaid menyatakan diri masuk Islam.

Dalam kasus lain, Nabi Muhammad Saw juga tenang ketika mendapat kritik dari kaum Anshar. Ketika itu beliau membagikan barang rampasan perang kepada orang-orang yang baru saja memeluk Islam lebih banyak dibanding kaum Anshar. Hal ini membuat kaum Anshar kecewa dan protes terhadap Rasulullah Saw. Kemudian, Rasulullah Saw menjelaskan kepada mereka bahwa apa yang dibawa oleh orang-orang yang baru masuk Islam tidak ada harganya dengan apa yang dimiliki kaum Anshar.

Rasulullah Saw berkata: ‘’Wahai orang-orang Al-Anshar, apakah Anda merasa berkeinginan untuk hal-hal duniawi yang saya upayakan untuk mendorong orang-orang ini kepada iman di mana Anda telah ditetapkan? Apakah kalian tidak puas, hai orang-orang Al-Anshar bahwa orang-orang akan pergi dengan domba dan unta, sementara kalian akan kembali bersama Rasulullah ke tempat tinggalmu?”

Mendengar penjelasan tersebut, kaum Anshar merasa bahagia. Mereka bersyukur dengan apa yang dilakukan Rasulullah Saw.

Dari kisah-kisah Rasulullah Saw tersebut, para pemimpin seharusnya bisa mengambil contoh dan teladan bagaimana menanggapi kritik, yaitu dengan sikap positif dan tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaanya untuk membungkam para kritikus.

(mediadakwahjatim.com).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *