Pelni, Radikalisme, dan Phobia Islam

Pelni, Radikalisme, dan Phobia Islam

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Anggota Pemikiran lslam DDII Jatim

dewandakwahjatim.com – PT. Pelni tercatat dalam sejarah sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memerangi radikalisme. Hal ini dimotori oleh seorang komisaris yang terinfiltrasi oleh halusinasi dirinya sendiri. Kristia Budyarto atau yang akrab dengan panggilan kang Dede, berhasil mewacanakan bahaya radikalisme, dan mengajak BUMN lain untuk memberangusnya. Namun karena desakan publik, dia meminta maaf menarik pernyataannya yang membatalkan kajian online karena narasumbernya terinfiltrasi paham radikal. Kasus Kristia ini bisa dikatakan sebagai fenomena gunung es dimana masih ada sekelompok masyarakat yang masih alergi dengan Islam dan senantiasa memanfaatkan momentum untuk menghantam Islam.

BUMN dan Stigma Radikalisme

Kajian online Ramadhan bertema “Ramadhan memperkuat dan Memperteguh Iman” tiba-tiba dibatalkan, dengan alasan belum mendapat ijin dari direksi. Kajian yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu tiba-tiba dihentikan oleh sosok Kristia. Publik pun mencari tahu siapa sebenarnya sosok Kristia ini. Akhirnya terkuaklah bahwa dia masuk dalam jajaran komisaris PT Pelni bukan sebagai seorang profesional, tetapi sebagai kompensasi atas jasanya memenangkan rezim ini dalam Pilpres tahun 2019 lalu.

Uniknya pembatalan kajian online ini dengan alasan belum dapat ijin dari direksi, dan dainya dituduh radikal. Tentu saja gelombang reaksi penolakan mencuat, dan menyerang balik sang komisaris sebagai anti Islam. Atas desakan berbagai pihak itu, akhirnya pihak PT Pelni kembali mencabut pembatalan itu.

Apa yang dilontarkan Kristia tidak lepas dari bola liar yang dilempar oleh Said Aqil Siraj (SAS) ketika menyodorkan Wahabi sebagai pintu masuk terorisme. Tanpa mengunyah lebih matang atau ada kesengajaan, Kristia Budyarto langsung membatalkan kajian Ramadhan di PT Pelni itu. Jejak digital ungkapan Kristia berbunyi : “Itu pejabat yang terkait dengan kepanitiaan acara tersebut telah DICOPOT. Ini pelajaran sekaligus WARNING kepada seluruh BUMN. Jangan segan-segan MENCOPOT ataupun MEMECAT pegawainya yang terlibat radikalisme. Jangan beri ruang sedikitpun, BERANGUS.”

Politik bumi hangus ini terasa aneh, karena sederet narasumber yang dituduh radikal, justru berada di garda terdepan dalam memerangi radikalisme ini. Ust. Firanda Andirja, Syafiq Reza Basalamah, Ust. Rizal Yuliar, Ust. Subhan Bawazier, dan KH Cholil Nafis, justru dikenal jamaahnya sebagai ceramah yang menyejukkan dan tak pernah mengkritik pemerintah secara terbuka. Maka wajar bila masyarakat menuduh balik bahwa komisaris BUMN ini sedang terwabah halusinasi bahaya radikalisme.

Hilangnya Profesionalitas

Wacana bahaya Islam radikal yang disampaikan Kristia memang blunder besar bagi dia, tetapi realitas ini menunjukkan pihak-pihak yang menaruh dendam kebencian pada Islam tidaklah hilang. Publik pun mempertanyakan wewenang Kristia sebagai pejabat publik dan berada di level tinggi, tetapi tiba-tiba melompat mengurusi hal-hal yang jauh dari urusannya.

Apa yang dilakukan Kristia menunjukkan kepongahan sekaligus ketidakprofesionalan. Dikatakan pongah karena merasa dirinya memiliki kekuasaan yang bisa mengintervensi level yang paling bawah. Dikatakan tidak profesional karena sebagai komisaris seharusnya mengurusi pekerjaan besar yang bisa mendongkrak surplus BUMN ini. Bukan justru menciptakan kegaduhan di tengah problem negara yang sedang menghadapi masalah ekonomi.

Publik pun bertanya, apakah selaku komisaris, Kristia sedang menghadapi masalah besar sehingga mengalihkan perhatian publik dengan memproduksi wacana bahaya radikalisme. Atau memang dia dipilih sebagai komisaris bertugas untuk terus mendiskreditkan umat Islam, dan itu bagian dari dirinya yang inheren dengan kebencian pada Islam.

Umat Islam akhirnya menyadari bahwa Kristia memang sosok yang unik dalam BUMN. Betapa tidak, baru kali ini seorang komisaris berkiprah dalam melahirkan adanya wacana bahaya radikalisme dan mengajak BUMN lain untuk mencermati bahaya radikalisme. Tindakan Kristia jelas merugikan negara, karena dia tak kontributif. Padahal negara telah memberi insentif atau gaji sangat besar kepadanya. Sementara apa yang dia lakukan jelas mencemarkan nama institusinya. Alangkah bangganya jika PT Pelni memberi contoh kepada BUMN-BUMN yang lain karena mendorong karyawannya untuk berprestasi, sehingga bisa memperbesar kontribusinya pada negara. Bukan sebaliknya justru mewacanakan ilusi kosong yang kontra produktif bagi negara.

Kajian online saat ramadhan seharusnya menjadi momentum untuk mendorong karyawannya bisa berbenah diri, baik dalam konteks agama dan keruhanian mereka. Sehingga diharapkan bisa bekerja lebih profesional dan berujung menguntungkan negara. Dengan menstigma bahaya radikal, justru memperkeruh suasana internal, dan menstimulasi pihak eksternal untuk tidak respek pada PT Pelni. Apalagi sudah mencopot orang-orang yang terlibat dalam kepanitiaan dengan mengaitkan radikalisme, tanpa ada pemulihan kembali. Akankah orang yang dicopot karena dianggap radikal bisa kembali ke posisi semula seiring dengan pencabutan kembali apa yang pernah diucapkannya.

Kristia telah salah menilai umat Islam sebagai ancaman. Padahal umat Islam bukan hanya toleran terhadap perbedaan, tetapi bisa diajak bersinergi dalam menciptakan produktivitas yang menguntungkan negara.

Ketika tercipta kenyamanan kerja dan dukungan profesionalitas yang disupport oleh nilai-nilai agama, maka PT Pleni diharapkan bisa menjadi BUMN yang mempelopori profesionalitas, sehingga menopang keuangan negara. Dengan sosok Kristia ini, PT Pelni justru dikenal dengan BUMN yang alergi terhadap agama karena menciptakan stigma radikal secara salah, dan hal ini merupakan fenomena phobia Islam.

Surabaya, 14 April 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *