KAMPUS ITU BERNAMA “UNIVERSITAS KELUARGA”

KAMPUS ITU BERNAMA “UNIVERSITAS KELUARGA”

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ketua Umum DDII Pusat (www.adianhusaini.id)
   
dewandakwahjatim.com - Dalam acara Dialog Pendidikan Keluarga pada Sabtu (13/3/2021), bersama dua anak saya (Bana Fatahillah dan Fatih Madini), saya menyampaikan bahwa Pandemi Covid-19 telah memaksa kita kembali kepada “jati diri pendidikan Islam”. Yakni, menjadikan keluarga sebagai “institusi pendidikan utama” dan orang tua sebagai “guru utama”. 

   Pandemi Covid-19 telah menjadikan model pembelajaran online (daring) sebagai model yang lazim. Bahkan, menjadi yang utama. Pembelajaran merupakan proses tranfer pengetahuan. Proses ini bisa dilakukan secara daring. Perkembangan teknologi di bidang ini berlangsung sangat cepat. 

   Dengan metode daring, pembelajaran bisa berlangsung lebih murah, cepat, dan praktis. Artinya, dari rumah, anak-anak dapat menempuh jenjang pendidikan secara online mulai Tingkat Dasar sampai jenjang Doktoral. 

   Dengan metode daring, anak-anak sekolah sebenarnya tidak perlu setiap hari harus ke sekolah. Mahasiswa tidak harus pergi ke kampus setiap hari. Proses pembelajaran bisa dilakukan di rumah. Ke sekolah cukup dua atau tiga hari untuk melakukan proses Pendidikan yang tidak bisa dilakukan secara daring. 
Pada hari Senin (8 Maret 2021), saya berjumpa dengan seorang dosen Fakultas Kedokteran, sebuah Universitas Negeri. Saya tanya kepadanya, untuk Fakultas Kedokteran, berapa persen bisa dilakukan pembelajaran secara daring? Ia menjawab: 80%. Itu yang sudah berjalan sekarang.
   Jadi, suka atau tidak suka, kita sudah memasuki zaman baru, dimana aktivitas bisnis, keorganisasian, dan juga pembelajaran sudah bisa berbasis online. Hanya hal-hal tertentu saja yang harus dilakukan dengan offline (luring/luar jaringan). 

   Karena itulah, dalam dunia seperti ini, cara pandang kita terhadap pendidikan sudah harus berubah. Jika dulu, orientasi pendidikan adalah pada sekolah atau universitas, maka saat ini, keluargalah yang harus menempatkan diri sebagai institusi pendidikan yang utama. 

   Untuk proses pembelajaran terhadap berbagai bidang ilmu yang diwajibkan atau diperlukan, bisa dilakukan melalui metode daring. Pandemi Covid-19 telah memaksa dan membiasakan kita semua melakukan proses pembelajaran semacam ini. 
Dalam hal ini, orang tua berperan seperti manajer atau pelatih bagi anak-anaknya. Orang tua memberikan arah, memotivasi, dan yang terpenting bisa menanamkan nilai-nilai adab/akhlak mulia kepada anak-anaknya. 
Nilai-nilai adab/akhlak mulia harus ditanamkan melalui proses keteladanan, pembiasaan, pemotivasian, dan penegakan disiplin aturan. Juga, orang tua harus terus mendoakan anak-anaknya agar meraih hasil pendidikan yang baik. 
   Inilah sebenarnya hakikat pendidikan dalam Islam. Sesuai QS at-Tahrim: 6, bahwa orang tua harus mendidik anak-anaknya agar mereka menjadi manusia-manusia beradab dan berilmu. Dengan fungsi semacam ini, keluarga telah menjadi sebuah “universitas” atau al-jaamiah. Kita bisa menyebutnya: “Universitas Keluarga”. Yakni, satu tempat dimana terjadi proses pendidikan yang mengarahkan anak-anak menjadi al-insan al-kulliy (insan adabiy), atau manusia yang sempurna. 
Pendidikan Orang Tua   
   Sukses pendidikan dalam keluarga sebenarnya merupakan kunci kemajuan dan kebangkitan umat dan juga bangsa kita.  Rumus dasarnya sederhana: jika orang tua mampu menjadi guru yang baik, maka akan baiklah anak-anaknya. Jika tidak, maka akan terjadi sebaliknya. 
Itulah yang sudah diperingatkan oleh Rasulullah saw: “Setiap anak dilahirkan dalam fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Bukhari).
   Dari Hadits Nabi saw tersebut kita bisa memahami betapa pentingnya kemampuan orang tua menjadi guru (pendidik). Maka, sangat aneh, jika dunia pendidikan kita justru tidak menjadikan pembentukan orang tua yang baik, sebagai tujuan utamanya.  
Sebab, manusia tidak sama dengan binatang, yang aktivitas utamanya hanya makan-makan dan bersenang-senang (QS Muhammad:12).  Sebagai manusia, tugas utama orang tua bukan hanya untuk bisa mencari makan untuk diri dan anak-anaknya, tetapi yang lebih penting lagi adalah mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang baik, sebagai hamba Allah dan sebagai khalifatullah fil-ardh, serta menjadi pelanjut perjuangan para nabi. 
   Jangan sampai – tanpa sadar – orang tua justru menjadikan anak-anaknya memiliki sifat-sifat seperti kaum Yahudi, Nasrani, atau Majuzi. Sebagai contoh, salah satu sifat kaum Yahudi yang disebutkan dalam al-Quran adalah sifat materialis dan kecintaan terhadap dunia yang sangat berlebihan. (QS al-Baqarah: 55, 96). 

   Untuk dapat mendidik anak dengan benar tentu memerlukan ilmu yang mencukupi. Sangat aneh jika untuk dapat mencari makan dengan baik, orang tua mau mengerahkan segenap kemampuan intelektual dan materialnya, tetapi untuk menyelamatkan diri dan anak-anaknya dari api neraka, dan agar mereka tidak menjadi Yahudi atau Nasrani, justru dilakukan dengan sambilan, asal-asalan, atau malas-malasan. 
    Padahal, Rasulullah saw sudah mengabarkan, bahwa:  “Hak anak atas orang tuanya (kewajiban orang tua terhadap anaknya) adalah memberi nama yang baik, memberi tempat tinggal yang baik, dan memperbaiki adabnya." (HR. Baihaqi).
   Jadi, memperbaiki adab anak (memberikan pendidikan yang benar) adalah kewajiban orang tua terhadap anak. Dengan kata lain, memperoleh pendidikan yang benar adalah hak anak. Hak itulah yang nanti akan dituntut oleh anak-anak kita di akhirat. Sebab, di akhirat nanti, tiap-tiap orang akan menuntut haknya dan setiap orang akan sibuk dengan urusan dirinya sendiri. 
   “… pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS Abasa: 34-37).
Jadi, yang sangat mendesak untuk dilakukan saat ini adalah “Pendidikan Orang Tua”. Yaitu, mendidik para orang tua atau calon orang tua agar mereka dapat menjadi guru yang baik bagi keluarganya. Dalam buku “Kiat Menjadi Guru Keluarga, (Solo: Pustaka Arofah, 2019), saya menyebutkan, setidaknya orang tua harus menguasai enam hal agar dapat menjadi guru keluarga yang baik.
   Keenam hal itu adalah: Islamic Worldview, Konsep Pendidikan Anak, Konsep Ilmu dalam Islam, Fiqhud Dakwah, Sejarah Keagungan Peradaban Islam, dan Pemikiran-pemikiran Kontemporer. 
   InsyaAllah dengan menguasai keenam hal tersebut, dan tentu saja, berlandaskan keikhlasan dan kesungguhan dalam mencari ilmu, maka orang tua akan dapat menjalankan fungsinya sebagai “dosen yang baik” dalam “Universitas Keluarga”. 
   Menyongsong 100 tahun Indonesia, 2045, masih ada kesempatan yang baik untuk melahirkan satu generasi gemilang. Peluang itu terbuka luas. Semoga kita bisa memanfaatkan peluang ini! (sudono's/ed)

(Depok, 14 Maret 2021). 


Dapatkan artikel-artikel lainnya di:
https://adianhusaini.id/category/artikel-terbaru

#Pojok 1000 Artikel Pilihan: Wujudkan Komunitas Cerdas dan Bijak#
Bantu share
Info berlangganan, 
Kirim via WA/Telegram/Signal/BIP ke 0858 8293 0492
ketik: Daftar

Atau akses langsung ke: http://member.adianhusaini.id/register

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *