Oleh: Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah lndonesia
(www.adianhusaini.id)
dewandakwahjatim.com - Ada kabar penting dari Malaysia, pada 10 Maret 2021. Pengadilan Tinggi Malaysia memutuskan bahwa umat Kristen di Malaysia boleh menggunakan kata 'Allah' untuk menyebut Tuhan. Keputusan ini merupakan rangkaian perdebatan yang panjang tentang kata ‘Allah’ oleh orang non-Muslim di Malaysia. (https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56346785).
Berbeda dengan di Malaysia. Di Indonesia, penentangan penggunaan kata ‘Allah’ oleh orang Kristen, justru muncul dari kalangan Kristen sendiri. Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menemakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah.
Kelompok ITKSM kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.'' Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi."
Tentang kontroversi penggunaan ”nama Allah” dalam Kristen lihat buku karya I.J. Setyabudi berjudul: Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3), dan lihat juga Pdt. A.H. Parhusip, Wasapadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh, (2003).
Tentang kontroversi nama Tuhan dan penggunaan kata ”Allah” dalam Bibel edisi bahasa Indonesia, Lembaga Alkitab Indonesia — sebagai lembaga resmi penerjemah Bibel edisi bahasa Indonesia – membuat penjelasan:
”el, elohim, aloah adalah nama pencipta alam semesta dalam bahasa Ibrani, bahasa asli Alkitab Perjanjian Lama. Dalam bahasa Arab, allah (bentuk ringkas dari al ilah) merupakan istilah yang seasal (cognate) dengan kata Ibrani el, elohim, aloah. Jauh sebelum kehadiran agama Islam, orang Arab yang beragama Kristen sudah menggunakan (baca: menyebut) allah ketika mereka berdoa kepada el, elohim, aloah. Bahkan tulisan-tulisan kristiani dalam bahasa Arab pada masa itu sudah menggunakan allah sebagai padan kata untuk el, elohim, aloah…. Dari dahulu sampai sekarang, orang Kristen di Mesir, Libanon, Iraq, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan berbagai negara di Afrika yang dipengaruhi oleh bahasa Arab, terua menggunakan (baca: menyebut) kata allah – jika ditulis biasanya menggunakan huruf kapital ”Allah” untuk menyebut Pencipta Alam Semesta dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, baik dalam ibadah maupun dalam tulisan-tulisan. Dalam terjemahan-terjemahan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, kata ”Allah” sudah digunakan terus menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa Melayu yang pertama (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692), begitu juga dalam Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus Cornelius Klinkert, 1879 sampai saat ini.”
Demikian penjelasan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Yang bisa disimpulkan dari pembahasan singkat tentang nama Tuhan dalam tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen, ialah bahwa kata ”Allah” memang merupakan nama Tuhan yang sudah digunakan oleh kaum-kaum sebelum Islam, di kawasan Arab.
Nama inilah yang dipilih oleh Allah – Tuhan Yang Maha Kuasa -- untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, melalui utusan-Nya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw. Meskipun nama ”Allah” sudah digunakan oleh kaum Kristen maupun musyrik Arab, tetapi al-Quran tetap menggunakan nama ini.
Hanya saja, nama Allah yang digunakan oleh al-Quran sudah dibersihkan konsepnya dari unsur-unsur syirik, seperti dipahami oleh kaum Kristen dan musyrik Arab. Karena itu, bisa dipahami, untuk mengenal Allah secara murni (tauhid), maka tidak bisa tidak harus mengakui kenabian Muhammad saw. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah terakhir, yang bertugas menjelaskan siapa Allah, nama dan sifat-sifat-Nya, dan cara beribadah kepada-Nya.
Jadi, sebenarnya, dalam dalam tradisi agama Kristen, ’Allah’ bukan merupakan nama diri (proper name). Karena itu, orang Kristen diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan berbagai panggilan. Dalam buku kecil yang berjudul Wasapadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh, (2003:40-41), Pdt. A.H. Parhusip, menulis tentang masalah ini:
”Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis…! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi… Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing. Lihat Roma 2:14-15.”
Sebagai orang muslim, kita bersyukur, tidak pernah mengalami perdebatan soal nama Tuhan. Di mana saja, kaum Muslim menyebut nama Tuhan dengan nama ’Allah’ dan nama-nama lain yang dijelaskan melalui wahyu Allah. Bahkan, cara menyebut nama ’Allah’ pun tidak menjadi perdebatan, sebagaimana kaum Yahudi tidak menyebut nama Tuhan mereka yang disimbolkan dengan empat huruf ’YHWH’.
Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini.
Ibn Katsir dalam Tafsir-nya menulis bahwa ‘Allah’ adalah ‘al-ismu al-a’dhamu’. Allah juga merupakan nama yang khusus dan tidak ada sesuatu pun yang memiliki nama itu selain Allah Rabbul ‘Alamin. Bahkan, sejumlah ulama seperti Imam Syafii, al-Khithabi, Imam Haramain, Imam Ghazali, dan sebagainya menyatakan, bahwa lafaz Allah adalah isim jamid, dan tidak memiliki akar kata. Menurut para ulama ini, kata Allah bukan ‘musytaq’ (turunan dari kata asal). Wallahu A’lam bish-shawab.(sudono/ed)
(Depok, 11 Maret 2021).