Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
(Anggota Bidang Pemikiran lslam DDII Jatim)
dewandakwahjatim.com - Pengambilalihan partai Demokrat oleh manuver Moeldoko bukan hanya menabrak tatanan politik tetapi menghancurkan norma berbangsa dan bernegara. Berbagai spekulasi pun muncul di tengah masyarakat, mulai dari sebagai sebuah investasi politik untuk merebut kursi presiden 2024, hingga sebagai langkah pengamanan memperkokoh kekuasaan Jokowi. Namun memori anggota masyarakat ternoda karena sebagai elite negara, Moeldoko telah melakukan langkah politik yang tak lazim. Dikatakan tidak lazim, karena sebagai elite yang sedang berkuasa merebut jabatan tanpa melalui prosedur dan aturan yang disepakati bersama. Melalui Kongres Luar Biasa (KLB), Moeldoko berhasil mendongkel ketua partai Demokrat. Yang lebih tragis lagi, ketua partai itu dijabat oleh anak mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karenanya, tidak salah bila Agus Harry Yudhoyono (AHY), sebagai ketua partai yang sah pun, melakukan perlawanan secara kolektif. Memori kolektif pun menganggap bahwa Moeldoko bukan hanya melakukan kudeta politik, tetapi sedang menginjak-injak etika berpolitik.
Manuver Moeldoko
Moeldoko seorang Kepala Staf Kepresidenan (KSP) mengumumkan dirinya sebagai ketua partai Demokrat yang sah, pasca KLB di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam pidato pertamanya, Moeldoko mengapresiasi penetapan dirinya sebagai ketua partai, dan dirinya siap membangun demokrasi secara terbuka. Dia pun menegaskan bahwa KLB ini sangat konstitusional dan sesuai dengan AD ART partai.
Reaksi masyarakat pun searah dan marah karena etika politik yang sedang dilanggar oleh seorang elite penguasa. Hilangnya keteladanan itulah yang menjadi catatan buruk dalam politik di negeri ini. Sebelumnya, Moeldoko membantah, dan bahkan menganggap fitnah adanya isu yang berhembus bahwa dirinya sedang berupaya mengambilalih pimpinan partai Demokrat. Alih-alih membuktikan bahwa isu itu salah, dia justru membuktikan kebenaran isu itu.
Atas pelanggaran etika itulah, AHY langsung melakukan perlawanan, dan menyebut Moeldoko sebagai ketua partai abal-abal. Dukungan politik pun muncul dari sang bapak yang juga sebagai Ketua Majelis Partai Demokrat. SBY menyatakan bahwa Moeldoko bukan hanya telah melanggar etika politik, tetapi mempermalukan dirinya sebagai prajurit TNI yang tak terpuji dan jauh dari sikap ksatria. SBY pantas marah karena Moeldoko adalah Panglima TNI di era kepemimpinannya.
Kalau zaman Orde Baru yang dikenal sangat otoriter, pengambilalihan kekuasaan lewat KLB dilakukan oleh kader partai sendiri, sebagaimana kasus Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Namun dalam kontek partai Demokrat, pengambil alihan dilakukan seorang pejabat negara. Alih-alih melindungi semua partai, Moeldoko dinilai menginjak-injak etika partai. Dikatakan menginjak-injak partai karena KLB ini tidak memenuhi syarat internal partai Demokrat, seperti adanya dukungan dari dua pertiga Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan setengah Pimpinan Cabang (PC), serta mendapat persetujuan Majelis Tinggi Partai.
Moeldoko dan Restu Rezim
Apa yang dilakukan Moeldoko dengan pengambilalihan kursi kepemimpinan Partai Demokrat ini menimbulkan spekulasi adanya manuver ini. Satu pihak menyatakan bahwa Moeldoko ingin ikut bertarung pada kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Dengan menjabat sebagai ketua partai, maka peluang Moeldoko untuk mengambil tiket sebagai calon presiden menjadi terbuka. Apa yang dilakukan Moeldoko ini jelas secara kasat mata dipandang sebagai permainan politik menghalalkan segala cara. Moeldoko menggandeng orang-orang yang pernah dipecat dari partai Demokrat untuk memperlancar ambisinya. Jhoni Allen Marbun merupakan operator lapangan, yang pernah dipecat dari partai Demokrat, dan saat KLB menjadi penentu jalannya siang. Jhoni Allen sebagai pimpinan sidang menetapkan Moeldoko sebagai ketua partai Demokrat dan Marzuli Alie sebagai ketua dewan Pembina.
Atas kejadian ini, AHY mengirim surat ke Menkopolhukam dan Menkumham, serta Kapolri agar menjaga stabilitas politik dengan tidak mengesahkan hasil KLB ini. Dalam konteks politik, rezim ini tidak pernah mendasarkan keputusannya pada isu hukum tetapi lebih banyak menggunakan isu politik. Dalam konteks ini kekuasaan lebih berkuasa daripada hukum. Bahkan kekuasaan dapat menciptakan hukum untuk melegitimasi tindakannya. Pembubaran terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bisa dianggap sebagai contoh. Secara legal formal tidak ada yang bisa dipersoalkan, namun narasi politik dibangun bahwa HTI sebagai ancaman karena berpotensi mengganti ideologi negara.
Oleh karena itu, penyelesaian hukum atas kasus yang menimpa partai Demokrat tidak akan jauh dari narasi politik, dan tidak akan menggunakan nalar hukum. Dalam konteks hukum, Moeldoko jelas melakukan manuver yang melanggar tatanan hukum dan menabrak aturan AD/ART partai Demokrat. Namun Menkumham dan Menkopolhukam bisa saja membuat narasi politik yang membuat Moeldoko sah, sehingga mendapatkan SK resmi sebagai ketua partai Demokrat.
Masyarakat sudah dewasa dalam menilai bahwa Moeldoko sedang melakukan akrobat politik dan berani menabrak dan melanggar etika bernegara. Kalau media memberitakan bahwa rezim terkesan tidak tahu menahu soal KLB, namun publik sudah bisa membaca bahwa langkah Moeldoko bagian dari manuver rezim.(sudono's/ed)