Banyak orang memiliki harta namun jarang memiliki sifat qana’ah, yaitu merasa cukup dengan nikmat Allah. Padahal jika seorang muslim meraihnya ia seakan-akan memiliki dunia seisinya.
Sifat qana’ah merupakan salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang. Orang yang memiliki sifat ini menunjukkan keridhaannya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah, termasuk dalam hal pembagian rizki.
Rasulullah bersabda,“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya” (HR.Muslim)
Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat qana’ah. Dengan sifat ini dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit.
Seorang wanita datang kepada Imam Ahmad bin Hanbal bermaksud meminta pendapat tentang apa yang telah ia perbuat. Dia seorang wanita miskin yang pekerjaannya marajut benang. Dari hasil rajutan inilah dia membeli makanan untuk keluarganya.
Pekerjaan itu dilakukannya setiap hari, karena aktifitas itu yang bisa dia lakukan. Seringkali dia mengerjakannya pada malam hari. Itupun dilakukan saat sinar rembulan menerangi rumahnya. Maklum, kondisi ekenomi yang minim membuatnya tidak mampu membeli lampu penerangan.
Pada suatu malam, rombongan khalifah lewat depan rumahnya. Mereka membawa lampu penerangan yang sangat banyak sehingga rumah si wanita tersebut menjadi terang benderang.
Rupanya, kondisi tersebut tidak disia-siakan oleh wanita itu untuk memintal beberapa lembar kapas sampai rombongan kalifah itu meninggalkan halaman rumahnya.
Namun setelah kejadian tersebut, dia bimbang apakah yang dia lakukan benar atau salah.
Untuk mendapat kepastiannya, ia mendatangi Imam Ahmad.
Ia bertanya kepada Imam Ahmad apakah uang hasil penjualan benang yang dia pintal dalam cahaya lampu milik kalifah itu halal atau haram.
Mendengar penuturan itu Imam Ahmad tertegun. Ia sangat kagum dengan ahlak wanita tersebut. Karena penasaran, akhirnya Imam Ahmad bertanya siapa sebenarnya wanita itu. Sang Imam semakin kaget dan terharu, karena ternyata dia adalah saudara perempuan Masyar Al-Hafi, seorang gubernur yang terkenal sebagai orang yang beriman dan beramal saleh.
Tanpa disadari, air mata Imam Ahmad keluar dan ia menangis tersedu-sedu. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Imam Ahmad berdo’a agar keluarga gubernur yang shalih tersebut mendapat rahmat dari Allah.
Imam Ahmad sangat kagum dengan wanita tersebut karena bisa menjaga dirinya dari hal-hal yang subhat. Padahal jika mau, tentu dia bisa minta kakaknya sewaktu menjadi gubernur untuk membantunya. Atau setidaknya ia bisa minta fasilitas. Namun hal itu tidak dia lakukan.
Kemudian, Imam Ahmad berkata, “Sesungguhnya kain penutup wajah yang kamu pakai itu lebih baik dari pada serban yang kami pakai. Kami, para ulama tidak pantas jika dibandingkan dengan orang-orang tua yang telah mendahului kami, sedangkan kamu seorang perempuan yang takwa dan tinggi rasa takutnya kepada Allah.”
Sesungguhnya Imam Ahmad tahu bahwa apa yang dilakukan wanita tersebut boleh-boleh saja karena tidak merugikan kerajaan. Namun karena demi menjaga sifat qanaah dia, Imam Ahmad berkata bahwa tanpa izin dari rombongan khalifah, uang hasil penjualan benang itu tidak halal bagi wanita tersebut.
Demikianlah kisah seorang wanita shalihah yang menjaga kehati-hatiannya dalam mencari rezeki. (Bahrul Ulum)