Dikutip dari artikel Dr. Slamet Muliono Redjosari – Dosen Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, serta Pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Provinsi Jawa timur, yang dimuat pada media cetak nasional Jawa Pos, yang terbit pada hari Rabu, 17 Februari 2021.
Menarik pernyataan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas yang berharap agar semua pihak mendudukkan persoalan secara proporsional sehingga tidak mudah melabeli pak Din sebagai radikal. Karena penyematannegatiftanpa dukungan data dan fakta yang memadai berpotensi merugikan pihak lain(JP. 14/2/2021). Pernyataan ini relevan dengan laporan Gerakan Anti Radikalisme (GAR)alumniITB yang menyatakan bahwaDin Syamsuddin sebagai orang radikal. Apa yang dilakukan GAR ini bukanhanya salah alamatdan menciptakan kegaduhan, tetapi mencederai dan mengoyak dunia kampus. Apa yang dilakukanDin Syamsuddin merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) fungsional akademis yang berada di luar struktur pemerintahan. Sebagai ASN di luar struktur pemerintah,diamemberikan pandangan lain sesuai latar belakang keilmuannya. Pandangan Din Syamsuddin yang kritis bisa dikatakan sebagai sebagai representasi dunia kampus yang bersikap obyektif, dan daya kritisnya untuk membangun negara, bukan untuk menghancurkan tatanan atau ideologi negara.
Din Syamsuddin : Sosok Aktivis Perdamaian
Kritik Din Syamsuddin yang begitu tajam kepada pemerintah menjadi salah satu pemicu GAR alumni ITB, sehingga melaporkannya ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Din Syamsuddin dinilai melanggar sejumlah prinsip kepegawaian, serta melakukan 6 pelanggaran. (1). Konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusannya, (2). Mendiskreditkanpemerintah dan menstimulasi perlawanan terhadap pemerintah yang beresiko terjadinya proses disintegrasi negara, (3) Melakukan framing menyesatkan pemahaman masyarakat dan mencederai kredibilitas pemerintah, (4) Menjadi pimpinan darikelompok beroposisi pemerintah, (5) Menyebarkan kebohongan, melontarkan fitnah, serta mengagitasi publikagar bergerak melakukanperlawanan terhadap pemerintah, dan (6) Mengajarkan fitnah dan mengeksploitasi sentimenagama.
Enam butir inilah yang menjadikan dasaruntuk menyimpulkanDin Syamsuddinsebagai sosok radikal.Tudingan itu telah melahirkan kegaduhan dan “perlawanan”dari berbagai pihak, baik dari kalangan akademisi, partai politik (parpol), organisasi kemasyarakatan (ormas), maupun kelompokatau individu masyarakat yang peduli terhadap kondiisi negara ini. Mereka umumnya menyatakan bahwa menuduh DinSyamsuddin sebagai seorang radikal bukan hanya salah alamat, tetapi tidak memahami dunia kampus yang sejak awal dididik untuk bersikap kritis.
Dunia kampus menjadi habitat Din Syamsuddin, sehingga menjadikan dirinyamalang melintang dalam memberikankontribusi pada umat dan bangsa. Dalam konteks keummatan, Din Syamsuddin terpilih memimpin ormas besaryakniMuhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai ormas yang gigih dalam melakukan sikap moderat. Bahkan Muhammadiyah meneguhkan diri sebagai organisasi yang memelopori gerakan moderasi agama atau bernegara.
Dalam knteks bernegara, Din pernah ditunjuk presiden sebagaiutusan khusus presiden untuk dialog dan kerjasama antaragama dan peradaban. Tugas penting dalam konteks ini adalah menyebarkan sikap perdamaian dan menghindarkan konflik antar negara di level dunia. Din Syamsuddin sendiri menyatakan bahwa penunjukan dirinya merupakan tugas sebagai perjuangan danabdi negara.
Pada tingkat dunia,sosok Din Syamsuddin pernah menjadi ketua ACRP (Asean Conference on Religion for Peace). Dalam konteks ini, Din Syamsuddin berkontribusi menciptakan dialog intra dan antar agama guna mewujudkan perdamaian. Belum lagi aktivitas-aktivitas sosial politik lainnya, dimana aktivitas Din Syamsuddin selama ini tidak menunjukkan dirinya sebagai sosok yang layak disematkan stigma radikal.
GAR dan Kelompok Kepentingan
Apa yang dilakukan oleh GAR, dengan menuduh Din Syamsuddin sebagai orang radikal,jelas dipandang kurang memahami kiprah Din Syamsuddin sebagai ASN yang berada di luar struktur pemerintahan.Kiprah dan peran sebagai seorang dosen yang kritis seharusnya menjadi teladan dalam menyuarakan aspirasi dan menyampaikan kritik sesuai standar akademik. Pandangan kritis inilah yang seharus dimainkan oleh pihak kampus untuk menyampaikan gagasan konstruktif dalam membangun kehidupan bernegara sesuai dengan kostitusi.
Dalam pandangan GAR alumni ITB kritikDin Syamsuddin kepada pemerintah dinilai sebagai ancaman serius yang akan meruntuhkan atau menggulingkan kekuasaan. Sementara dalam konteks radikalisme, pemikiran radikal berkaitan dengan perbedaan dalam konsensus bernegara, seperti mengubah Pancasila, mengubah UUD 1945 tanpa prosedur yang benar, mempersoalkan bentuk NKRI, atau menegasikan kebinekaan. Sementara pandangan kritis Din Syamsuddin tidak pernah menyentuh atau berkaitan dengan hal itu.
Apa yang dilakukan oleh GAR bukan hanya menimbulkan kegaduhan, karena salah pembacaan terhadap sosok Din Syamsuddin. Sudah saatnya mengakhiri polemik dengan menyematkan kata “radikal” terhadap seseorang yang dianggap mengganggu kepentingan kekuasaan. Padahal pandangan kritis sangat dibutuhkan dalam alam demokrasi sehingga tidak membiarkan penyimpangan kekuasaan secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, relevaan ajakan pressiden untuk bersikap kritis terhadap kebijakannya, dan masyarakatpatut menyambutnyadengan baik. Bukan sebaliknya dengan melaporkan orang-prang yang bersuara kritis guna mendulang manfaat. Sikap kritis harus dibedakan denganfitnah.Fitnah memang membahayakan bagi siapapun, termasuk bagi pemegang kekuasaan.
Apa yang dilakukan oleh GAR alumni ITB, ketika menuding Din Syamsuddin sebagai sosok radikal, bisa berbalik fitnah bila tidak didasarkan pada data faktual dan akurat. Oleh karena itu harus diakhiri. Karena dalam kiprahnya, Din Syamsuddin memiliki track record bukan hanya bersikap moderat, tetapi ikut andil secara aktif dalam memoderasi pemikiran-pemikiran radikal.