Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Pada 21 Oktober 2024, situs resmi Komnas HAM (https://www.komnasham.go.id) memuat berita berjudul: “Memahami Hak Beragama dan Berkeyakinan.” Disebutkan, bahwa
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) merupakan hak setiap orang. Hak itu termasuk hak berganti agama atau kepercayaan, menjalankan agama atau kepercayaan, serta hak untuk tidak beragama. Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi oleh negara.
“Agama seseorang tidaklah mengurangi hak seseorang sebagai warga negara,” kata Beka Ulung Hapsara, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM.
Hal itu ia sampaikan saat menjadi narasumber dalam Workshop Penguatan Kapasitas Keberagaman dan Inklusi Sosial. Beka menyampaikan materi terkait cakupan hak beragama dan berkeyakina yang mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 18. Ia kemudian mengelompokkan materi ini ke dalam tiga bagian.
Bagian pertama, adalah kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama. Bagian kedua adalah menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, termasuk untuk tidak menetapkan agama atau kepercayaan apa pun. Sedangkan bagian ketiga adalah kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaan dalam kegiatan. Kegiatan tersebut berupa ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Selanjutnya Beka menjelaskan beberapa prinsip dan norma KBB. Menurutnya, kewajiban negara terhadap KBB serupa dengan kewajiban negara terhadap HAM. Kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, serta hak-hak dan kebebasan orang lain.
“Kebebasan menjalankan agama dapat dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama di tempat umum atau secara tertutup”, lanjut Beka lagi. Pengakuan agama merupakan hak setiap komunitas agama tanpa diskriminasi, sehingga prosedur pengakuan yang bersifat administratif tidak boleh mengalahkan hak atas identitas keagamaan.
“HAM memungkinkan adanya pembatasan terhadap KBB. Terutama dalam pelaksanaan manifestasi agama atau keyakinan (eksternum). Pembatasan dilarang pada aspek internum sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945”, tegas Beka.
“Pembatasan dilakukan hanya ketika “dibutuhkan”. Pembatasan tidak dilakukan untuk mendiskriminasi komunitas agama atau keyakinan tertentu,” pungkas Beka memberikan materi. (https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/10/21/1950/memahami-hak-beragama-dan-berkeyakinan.html).
Dalam perspektif pandangan alam (worldview) Islam, pandangan Komisioner Komnas HAM tersebut patut dijernihkan. Sebab Islam memandang setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, maka setiap manusia yang mendengar dakwah Nabi saw, maka wajiblah ia menerima dakwah Nabi Muhammad saw dan menjadi muslim. Jadi, menerima dan mengakui kenabian Muhammad saw adalah satu kewajiban, bukan hak.
Dalam Tafsir al-Azhar, Buya Hamka mengutip hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Muslim: ”Berkata Rasulullah s.a.w.: Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Terhadap hadits tersebut, Rasulullah saw menjelaskan: ”Dengan hadits ini jelaslah bahwa kedatangan nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup sekalian Nabi (Khatimil Anbiyaa) membawa Al-Quran sebagai penutup sekalian Wahyu, bahwa kesatuan ummat manusia dengan kesatuan ajaran Allah digenap dan disempurnakan. Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka, orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. Sebab iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang daripada Nabi Allah.”
Nah, karena beriman kepada Nabi Muhammad saw merupakan kewajiban, maka Islam melarang pemeluknya untuk berganti agama, alias murtad atau keluar dari agama Islam. Dalam pandangan Islam, manusia tidak memiliki hak untuk kafir atau durhaka kepada Allah SWT. Bahkan, menuhankan Allah – sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah – merupakan kewajiban yang paling asasi dalam Islam.
Jika orang murtad dari agama Islam dan menuhankan Tuhan lain selain Allah, atau menyekutukan Allah dengan tuhan-tuhan palsu, maka ia telah melakukan kejahatan yang besar. Seorag yang murtad dari agama Islam maka hapuslah semua amal perbuatannya. Di hari akhir, semua amalannya laksana debu yang berhamburan. Amal perbuatannya laksana fatamorgana; tidak ada wujudnya di akhirat.
Islam tidak boleh memaksa seorang untuk memeluk Islam. Tetapi, Islam memandang bahwa memeluk Islam adalah satu kewajiban dan satu kemuliaan dan keberuntungan. Keluar dari agama Islam (murtad) adalah satu kebodohan dan kerugian besar. Jangan sampai seorang muslim memiliki pandangan dan menyebarkan pandangannya, bahwa durhaka dan membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya adalah HAK ASASI MANUSIA!
Inilah cara berpikir yang benar dan selamat bagi setiap muslim. Ada pun tentang kondisi dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Setiap muslim berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Semoga Allah menyelamatkan setiap kita dari pola pikir yang salah. Amin. (Depok, 21 Oktober 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim
Editor: ARS & SS