Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dewandakwahjatim.com, Depok - “Juli 1891, saya berangkat ke Aceh untuk memenuhi perintah dari pemerintah Hindia Belanda. Saya ditugaskan untuk melakukan penelitian khusus mengenai unsur keagamaan yang berperan penting dalam kondisi politik di negeri tersebut. Selama tinggal di Saudi Arabia (1884-85), lantaran jabatan saya – utamanya di Mekkah – saya berkesempatan untuk mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai pengaruh fanatisme ajaran Muhammad terhadap perlawanan rakyat Aceh yang tak kunjung surut terhadap kekuasaan Belanda.”
(Snouck Hurgronje, dalam buku Orang Aceh, Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial, Yogya: Mata Bangsa, 2019).
Jadi, begitulah pengakuan orientalis Belanda, bahwa ia ditugaskan untuk meneliti kondisi masyarakat Aceh, khususnya tentang pengaruh Islam terhadap masyarakat. Snouck menemukan besarnya pengaruh Islam dalam menanamkan semangat perjuangan masyarakat Aceh terhadap penjajah. Ia menyebutnya sebagai “pengaruh fanatisme ajaran Muhammad”.
Memang, menurut sejarawan Prof. Azyuardi Azra, dalam The Achehnese, seperti dikutip Azyumardi Azra, Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa rakyat Aceh menjadikan karya Syekh al-Palimbani tentang jihad sebagai sumber rujukan utama. Perang Aceh berlangsung sangat panjang dalam melawan Belanda, mulai 1873 sampai awal abad ke-20.
Kitab jihad itu menjadi model imbauan agar kaum Muslim berjuang melawan kaum kafir. Kitab itu menjelaskan keutamaan jihad fi-sabilillah. Judulnya: Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah. Melalui kitabnya ini, Syekh al-Palimbani menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk melakukan jihad melawan kaum kafir.
Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani (1704-1789), dikenal sebagai ulama paling terkemuka dari wilayah Palembang. Meskipun menetap Mekkah, Syekh Abd al-Shamad memiliki kepedulian yang kuat terhadap kondisi Nusantara dan mendorong kaum Muslim untuk terus melaksanakan jihad melawan penjajah.
Dari Mekkah, Syekh al-Falimbani juga mengirim surat kepada beberapa raja Jawa agar berjihad melawan Belanda. Misalnya, dalam suratnya kepada Pangeran Paku Alam, atau Mangkunegara, Syekh al-Palimbani menulis: ”… bahwa kami di Makkah telah mendengar bahwa Yang Mulia, sebagai seorang pemimpin raja yang sejati, sangat ditakuti di medan perang. Hargailah dan manfaatkanlah, insya Allah, untuk menumpas musuh-musuh Anda dan semua orang kafir.” (Lihat buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, karya Prof. Dr. Azyumardi Azra, (Jakarta: Prenada Media, 2004).
Jadi, penjajah menaklukkan Aceh dan juga wilayah-wilayah lain dengan menggunakan kekuatan ilmu. Bukan hanya dengan senjata. Mereka melakukan penelitian serius dengan mengirimkan ilmuwan sekaliber Snouck Hurgronje untuk mencari sumber kekuatan masyarakat Aceh, agar bisa ditaklukkan. Snouk Hurgronje – sebagai ilmuwan penjajah -- kemudian menemukan sumber kekuatan masyarakat itu terletak pada fanatisme mereka terhadap Islam.
Karena itulah, penjajah kemudian menyusun program-program untuk menaklukkan umat Islam dengan ilmu. Tujuannya agar semangat perjuangan mereka melemah. Secara personal, beberapa tokoh masyarakat didekati dan diberikan jabatan serta imbalan-imbalan duniawi. Dalam kasus Aceh dan banyak peran lainnya di seluruh Indonesia, kita bisa menemukan sejumlah pengkianat yang berpihak kepada Belanda.
Pada awal abad ke-20, cara melemahkan semangat fanatisme Islam itu kemudian disarankan oleh Snouck Hurgronje dan orientalis Belanda lainnya agar dilakukan secara massif melalui pendidikan. Pendidikan yang dibikin pemerintah kolonial memberikan janji-janji keuntungan duniawi, tetapi menjauhkan anak-anak muslim dari semangat perjuangan melawan penjajah.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan model Barat yang dibawa oleh pemerintah penjajah, memang didirikan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Pendidikan itu menanamkan sifat individualis dan materialis pada diri anak-anak Indonesia, sehingga mereka dibuat bergantung kepada penjajah.
Kini, di era kemerdekaan, sejatinya penjajahan pemikiran dan pendidikan masih belum berakhir. Bangsa Indonesia dipaksa menerapkan konsep-konsep pendidikan dan pembangunan sekuler yang sejalan dengan konsep pendidikan dan pembangunan yang materialis. Pendidikan dan pembangunan itu lebih mengutamakan kesuksesan materi dan duniawi. Visi akhirat dihilangkan.
Dengan konsep semacam itu, sejatinya bangsa kita telah dilemahkan semangat juangnya untuk menjadi bangsa hebat, mandiri, dan mulia. Semoga para ulama dan pemimpin kita menyadari hal ini, dan tidak terjebak ke dalam kebijakan pendidikan dan pembangunan yang melumpuhkan semangat perjuangan dan pengorbanan anak-anak kita! Amin! (Depok, 8 Oktober 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim
SS