Oleh: Prof. Bustami Rahman
Guru Besar Emiretus UBB, Bangka Belitung
Dewandakwahjatim.com, – Bangka-Belitung – Dulu, anak-anak suka sekali membaca komik Mahabrata. RA Kosasih, pengarang dan sekaligus juru gambarnya adalah tokoh komik yang luar biasa pada masa itu dan dihargai sampai saat ini.
Kini, Komik Mahabrata sudah kurang digemari. Kadangkala di lokasi tertentu masih terlihat ada yang menjual, tetapi sejak komik kontemporer melanda dunia anak-anak, komik Mahabrata, Ramayana, dan yang lain sejenis itu menjadi semacam kitab dongeng kuno yang semakin miskin peminat.
Saya tidak sedang akan menceritakan balik isi buku Komik Mahabrata. Prolog tentang buku komik ini hanya ingin sekedar menghantarkan kita untuk masuk ke dalam situasi sosiologis masyarakat Hindu pada masa digambarkan itu. Kebetulan pula, anak-anak dahulu akrab juga dengan pelajaran sejarah masuknya agama Hindu, Budha, dan Islam ke Indonesia.
Maaf, dengan tidak bermaksud mengajarkan agama Hindu, secara umum digambarkan bahwa dalam struktur masyarakat Hindu dikenal istilah kasta. Kasta menggambarkan stratifikasi yang bersifat kategoris tentang tingkatan martabat dan kedudukan sosial budaya dalam masyarakat Hindu. Meskipun pada masa kini, kasta tidak lagi menjadi pegangan atau ikatan yang kaku di dalam masyarakat Hindu, tetapi struktur stratifikasi itu masih terkesan secara filosofis dan etis sampai sekarang.
Tentu saja di dalam masyarakat modern seperti Indonesia pada umumnya, kasta tidaklah dipraktikkan. Namun, apakah secara filosofis dan etis, esensi dari eksistensi kasta boleh kita abaikan begitu saja? Mari kita tinjau singkat implikasi sistemiknya dalam politik Indonesia.
Di dalam kasta terdapat struktur stratifikasi sebagaimana diajarkan dalam buku Manu atau ajaran Manusmriti Hindu. Struktur stratifikasi itu terdiri atas: Brahmana, Ksatria, Waisha, dan Sudra/Paria. Kita sengaja abaikan dulu perhatian kita pada kasta Sudra/Paria untuk memfokuskan perhatian pada tiga kategori saja, yakni Brahmana, Ksatria, dan Waisha. Kita sisihkan sementara kedudukan para Sudra dan Paria yang ‘memerankan’ rakyat jelata dalam fokus analisis yang simpel ini.
Brahmana adalah kasta tertinggi yang mengidentifikasikan kedudukan para bangsawan agama, kaum bangsawan terdidik yang memuliakan nilai-nilai luhur. Kasta Ksatria mengidentifikasikan kedudukan kaum penguasa politik, bangsawan raja, para menteri dan sebagainya. Kasta Waisha diduduki oleh kaum pedagang, pemilik modal dan sebagainya.
Di dalam struktur masyarakat awal Hindu, kedudukan atas dasar kasta berlaku ketat, baik secara normatif maupun etis. Tabu akan terjadi jika dilakukan pelanggaran atas salah satu kasta oleh seseorang dari kasta yang lain. Misalnya seseorang dari kasta waisha mengaku sebagai kasta Ksatria atau Brahmana merupakan pelanggaran berat secara normatif dan etis. Atau sebaliknya juga demikian. Ada persyaratan yang sangat ketat dan istimewa jika terpaksa berlaku perubahan kasta demikian itu.
Saya merenung, apakah kekacauan bangsa ini juga disebabkan oleh dilanggarnya secara etis kedudukan ke atas kedudukan yang lain itu? Memang secara normatif tidak salah misalnya seorang pedagang atau pemilik modal (Waisha) berusaha untuk menjadi Presiden, Gubernur, anggota legislatif dan sebagainya itu. Hak normatif menjamin setiap warganegara. Namun, bagaimana dengan nilai etis?
Kabarnya bertambah banyak anggota DPR-RI sekarang ini adalah para pedagang atau pemilik modal. Demikian juga, calon posisi para Ksatria yang eksekutif dengan lebih mudah diduduki oleh kaum Waisha karena kuatnya modal mereka. Sistem politik oligarkhi sangat mendorong terjadinya ‘alih kasta’ ini.
Yang juga menarik adalah tawaran bagi para ‘Brahmana’ seperti para kiai, profesor, akademisi, tokoh masyarakat dan adat untuk dibujuk dan kemudian mudah tergoda atas nama profesional untuk ‘turun kasta’ menjadi Ksatria. Mereka tidak menyadari bahwa menjadi Ksatria itu secara etis turun derajatnya. Pada masa dahulu, jika seorang raja ingin menambah kesaktiannya pasti akan berguru kepada para Brahmana. Para Brahmana itu meski sakti mandraguna hidupnya sangat sederhana jauh dari kemilau harta dan kedudukan.
Anda, setelah membaca ini, tolonglah renungkan lebih dalam. Apakah hidup tanpa etika moral dan tanpa renungan filosofis, bangsa ini akan menjadi lebih hebat? Bukankah katanya Pancasila itu juga ajaran etika moral dan filosofi hidup berbangsa? Jika kedudukan kita dalam etika campur aduk seperti sekarang ini, tidakkah membuat kita bingung siapa dalam esensinya atau sebenarnya yang memerintah dan yang mengawasi serta menasihati. Siapa yang memerintah dan yang berdagang. Dan siapa pula yang berdagang dan yang menasihati dan mengawasi? Satu situasi yang menggambarkan lumpuhnya para Ksatria sejati, dan tergodanya para Waisha dan Brahmana pada posisi yang bukan dunianya.
(BR 280924)
Admin: Kominfo DDII Jatim
SS