Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Fepok – Di akhir tahun 1960-an, Buya Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan. Buya Hamka menolak usulan itu. Sebab, hal itu bukan untuk menguatkan keimanan dan kejujuran, tetapi justru menyuburkan kepura-puraan.
Buya Hamka menulis: “Si orang Islam diharuskan menfengar dengan penuh khusyuk bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.”
Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.”
Dalam pandangan ajaran Islam (QS 5:72-73, dll), disebutkan bahwa sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; bahwa Allah sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, dalam al-Quran surat Maryam disebutkan, bahwa menyebut Allah memiliki anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah peringatkan: “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Dalam sejarahnya, Islam sangat menghormati para pemeluk agama lain. Bahkan, agama Islam dikenal sebagai agama yang sangat toleran. Itu bukan hanya klaim kosong. Tapi, fakta sejarah membuktikannya.
Dalam bukunya, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), Karen Arsmtrong mencatat kisah indah tentang penaklukan Jerusalem oleh pasukan Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khathab. Peristiwa itu terjadi pada 636 M. Penaklukan Jerusamen oleh pasukan Islam disebut sebagai “a peaceful conquest”, penaklukan yang damai. Kata Karen Armstrong: “Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam.”
Selama ratusan tahun kaum Yahudi mengalami pembantaian di mana-mana di dataran Eropa. Tetapi, kaum Yahudi justru menikmati perlindungan dari kaum Muslimin di Andalusia dan kemudian di wilayah Turki Utsmani. Karen Armstrong menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina.
Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. “Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age in al-Andalus,” tulis penulis terkenal yang mantan biarawati ini.
Tetapi, harap dicatat, disamping menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi beragama, Islam juga sangat menekankan pentingnya menjaga iman. Sebab, iman adalah harta yang paling berharga bagi kaum muslim dan juga bagi sebuah bangsa. Allah menjanjikan keberkahan bagi penduduk satu negeri yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
“Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, maka pasti Kami bukakan keberkahan dari langit dan dari bumi atas mereka.” (QS 7:96).
Jadi, pintu dibukanya keberkahan adalah penguatan iman dan taqwa. Karena itu, jika kita mencita-citakan negara kita menjadi negara yang masyarakatnya sejahtera, adil makmur dan bahagia, maka kuatkanlah iman dan taqwa orang-orang muslim. Jangan sampai dirusak dan didangkalkan iman dan taqwa orang-orang yang beriman kepada Allah!
Janganlah kaum muslim didangkalkan aqidahnya dengan dipaksa untuk meyakini bahwa semua agama sama saja. Padahal, agama-agama itu memang tidak sama. Dan tidak mungkin sama. Ada persamaan diantara agama-agama itu dalam ajaran tentang kemanusiaan dan nilai-nilai moralitas, tetapi ajaran tentang ketuhanan dan ibadah, jelas berbeda.
Janganlah umat Islam dipaksa untuk memeluk paham syirik – baik yang kuno maupun yang modern! Sebab, Allah sangat murka terhadap dosa syirik yang merupakan dosa terbesar. Syirik itu adalah kezaliman yang sangat hebat! (QS 31:13).
Karena itu, agama-agama itu tidak harus disama-samakan. Justru dengan mengakui perbedaan itulah bisa terjalin kerukunan. Bagi kaum muslim, kita serukan terus-menerus, semboyan: “KERUKUNAN TERJALIN, KEIMANAN TERJAMIN!” (Depok, 2 September 2024).
Admin: Kominfo DDII Jarim