Oleh M. Anwar Djaelani, pengurus Dewan Da’wah Jatim
Dewandakwahjatim
.com, Surabaya – Hamka adalah penulis yang–rasanya-sulit ditandingi oleh rata-rata orang. Karya tulis Hamka, yang pendidikan formalnya tak sampai lulus Sekolah Dasar (SD), lebih dari seratus judul. Tafsir Al-Azhar adalah puncak prestasi kepenulisan ulama yang lahir pada 17/02/1908 itu. Sementara, Tasawuf Modern adalah karya Hamka yang termasuk fenomenal.
Hal menarik, berbagai kisah di balik buku Tasawuf Modern insya Alllah: pertama, bisa menginspirasi kita untuk juga pandai menulis sebagaimana Hamka. Kedua, inspirasi itu bukan saja bisa menulis artikel pendek tapi bahkan juga bisa buku.
Performa Buku
Bagaimana kisah terbitnya Tasawuf Modern dengan tebal 397 halaman itu? Judul buku itu adalah nama salah satu rubrik di majalah Pedoman Masyarakat yang terbit tiap pekan di Medan. Rubrik itu diasuh oleh Hamka yang sekaligus menjadi pemimpin di majalah itu.
Mulai ditulis pada pertengahan 1937, rubrik itu-berupa serial artikel yang menerangkan tentang bahagia-sangat disukai masyarakat. Tiap terbit majalah edisi baru, lalu hadir di rumah-rumah pelanggan, maka rubrik Tasawuf Modern termasuk yang paling awal dicari oleh pembaca. Kajian itu selesai tersajikan pada 1938. Total, tak sampai genap dua tahun.
Setelah selesai pada 1938 itu, banyak surat-surat yang datang kepada Hamka dan kepada “Asy-Syura” (penerbit Pedoman Masyarakat supaya Tasawuf Modern dibukukan. Lalu, pada 1939 terbitlah edisi perdana buku itu dan dijuduli persis sama dengan nama rubriknya di majalah.
Agar sedikit punya gambaran, berikut ini Daftar Isi dari Tasawuf Modern. Ada tiga belas bab: 1).Pendapat-pendapat tentang Bahagia. 2).Bahagia dan Agama. 3).Bahagia dan Utama. 4).Kesehatan Jiwa dan Badan. 5).Harta Benda dan Bahagia. 6).Qana’ah. 7).Tawakkal. 8).Bahagia yang Dirasakan Rasulullah Saw. 9).Hubungan Ridha dengan Keindahan Alam. 10).Tangga Bahagia. 11).Senangkanlah Hatimu. 12).Celaka. 13).Munajat.
Jika melihat masa tayang rubrik Tasawuf Modern yang berpekan-pekan di majalah Pedoman Masyarakat, maka tak mungkin hanya ada 13 judul kajian. Maka bisa diduga bahwa ada penggabungan dari sejumlah edisi menjadi satu bab. Mungkin, penggabungan itu–jika memang ada-didasarkan atas kesamaan pembahasan.
Buku Tasawuf Modern tergolong fenomenal: Pertama, sejak masih berupa seri artikel di majalah Pedoman Masyarakat, tidak sedikit pembaca Tasawuf Modern yang terpikat. Hal ini karena mereka merasa mendapat manfaat darinya. Mereka, yang terpikat itu, mulai dari kalangan awam sampai terpelajar. Misal, ada pemuda Aceh yang mengaku mendapat penguatan iman dan jiwa. Ada seorang dokter di Manna – Bengkulu Selatan, yang lewat surat menyatakan bahwa hati dia semakin teguh. Orang yang disebut terakhir ini, lalu bilang bahwa jika seorang dokter bisa dikatakan sebagai tabib jasmani, maka Tasawuf Modern adalah tabib rohani.
Di kesempatan lain dan orang yang berbeda, seorang dokter menasihatkan kepada pasien yang tengah dirawatnya agar membaca Tasawuf Modern guna menenteramkan jiwanya dan melekaskan sembuhnya. Lalu, di lain-lain tempat, beberapa pasang suami-istri yang berbahagia mengatakan, bahwa Tasawuf Modern telah menjadi semacam patri–yang lebih menguatkan-kehidupan mereka yang berbahagia.
Kedua, tersebab tulisan-tulisan di Tasawuf Modern, Hamka lalu terhubung dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Agus Salim, M. Natsir, Isa Anshari, dan Hatta. Khusus tiga nama yang disebut pertama, kedekatan mereka dengan Hamka berlanjut sampai di kemudian hari sama-sama menjadi pengurus Partai Masyumi – partai Islam yang legendaris itu. Maka di titik ini, tak pelak, kisah persahabatan mereka menambah bukti bahwa tulisan bisa menjadikan silaturrahim pemikiran berkembang ke arah silaturrahim di dunia nyata.
Ketiga, Tasawuf Modern terbilang laris dengan indikasi yaitu terus bertahan atau tersedia di pasaran. Sejak diterbitkan kali pertama pada 1939, sampai di 2024–saat tulisan ini dibuat-masih terus tersedia di pasaran. Fakta lain, bahwa tiap keluar cetakan yang baru, ada saja yang membeli lagi. Apa pasal? Buku yang dimilikinya tak ada lagi di perpustakaannya karena berbagai sebab. Bisa karena dihadiahkan ke teman, bisa karena dipinjam kawan dan tidak dikembalikan lagi, serta sebab yang lain.
Keempat, Hamka merasa pernah diselamatkan oleh Tasawuf Modern, buku yang dia tulis sendiri. Bahwa, Hamka di masa Orde Lama di tahun 1960-an, merasa terselamatkan oleh bukunya dari kemungkinan terjerumus kepada tindakan bunuh diri yang bisa membawanya ke neraka. Hamka merasa terselamatkan dari kemungkinan punya nama jelek, termasuk bagi anak-anak dan keturunannya di belakang hari.
Jejak dan Nasihat
Setelah sebelumnya kita tahu bahwa sebenarnya buku Tasawuf Modern itu adalah kumpulan tulisan, sekarang kita lihat sejumlah “pengakuan” Hamka yang bisa mencerahkan pikiran kita. Mari cermati beberapa hal berikut ini!
Pertama, soal manfaat referensi di buku “Tasawuf Modern”. Dengan rendah hati Hamka mengaku bahwa Tasawuf Modern itu bukan ciptaan otaknya, bukan dari filsafatnya yang waktu itu masih berusia muda dan masih sedikit pengetahuan. Karya itu, kata Hamka, hanya “Tilik dari buku-buku karangan ahli-ahli filsafat dan tasawuf Islam, lalu dibandingkan dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi”. Juga, lanjut Hamka, “Dilihat pula karangan-karangan filsafat-filsafat Barat yang diterjemahkan dalam bahasa Arab”. Lebih jauh, “Ambil di sana sedikit dan di sini sedikit pula, lalu dipertautkan dengan pemikiran, pengalaman, dan penderitaan sendiri,” aku Hamka.
Lalu, tanpa beban bahkan dengan nada berterima kasih, Hamka menyebut beberapa referensi yang dipakainya saat menulis Tasawuf Modern. Di antara kitab yang disebut Hamka adalah karangan Imam Al-Ghazali seperti Ihya’ Ulumiddin, Arbain fi Ushuluddin, Bidayah Al-Hidayah, dan Minhajul ‘Abidin.
Hamka membaca pula Tahdzibul Akhlak karya Ibnu Maskawaih, beberapa risalah dari Ibnu Sina, Tafsir Muhammad Abduh, Ar-Radd ‘alad Dahriyin karya Jamaluddin Al-Afghani, Aadab al-Dunya wa al-Din karya al-Mawardi, Al-Khuluqul Kamil karya Muhammad Jadil Maula, Hayatu Muhammad dan Fi Manzilil Wahyi karya Husain Haikal. Pun, dibacanya Thaharatul Qulub karya ad-Darini ash-Shufi, Riyadhus Shalihin karya An-Nawawi, dan lain-lain. Tak ketingggalan, dibaca pula kumpulan majalah Al-Hilal dan kumpulan majalah Al-Azhar.
Kedua, hal yang diperlukan adalah kemampuan merangkai berbagai pandangan dari tokoh atau buku yang kita kutip. Bahwa di saat menulis, yang dilakukan Hamka adalah “Pertautkan di sana dan di sini, rekat dengan pemikiran sendiri, kumpulkan kata si anu kata si fulan”. Lalu, jika hasilnya kita akui sebagai karya kita, maka–kata Hamka-hal yang demikian itu seperti apa yang pernah dikatakan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi yang masyhur, bahwa “Tidaklah ada yang kita dapatkan selama umur kita ini, selain dari mengumpulkan kata si fulan dan si anu”.
Terkait proses kreatif menulis buku, dengan rendah hati Hamka mengaku: “Kalau mengumpulkan dan mempertautkan (pendapat orang) sudah boleh dinamai tulisan, kalau memasukkan pemikiran dan penderitaan kita sendiri itu barang sedikit sudah bernama gubahan, maka bolehlah pembaca sebut Tasawuf Modern ini gubahan atau tulisan saya”.
Ketiga, Hamka mendorong masyarakat untuk giat dan bersemangat menulis. Banyak bahan yang bisa diangkat. Banyak materi yang bisa dikembangkan. Bahkan, banyak pula naskah yang bisa diterjemahkan dan jika perlu dilengkapi dengan penjelasan kita. “Jika menyusun buku ini–Tasawuf Modern-sudah boleh disebut berharga, maka masih banyak lagi rahasia Islam yang patut diketengahkan, dibahasakitakan, supaya yang tak sanggup mengetahui bahasa Arab mengetahui pula akan rahasia agamanya. Jadi, masih kecil sekali harganya pekerjaan ini,” kata Hamka.
Pelajaran Mahal
Alhasil, jika diringkas, berbagai pelajaran dari “Hamka dan Tasawuf Modern” itu sebagai berikut: Pertama, buku Tasawuf Modern tak dibuat secara sengaja sejak awal sebagai buku. Di sini, kita bisa menirunya. Hanya saja, langkah meniru ini kita tingkatkan sedikit. Sila berniat menulis buku dengan cara mencicil. Caranya, rajinlah-dan untuk ini perlu dijaga secara ketat pelaksanaannya-untuk menulis secara rutin. Bisa tiap hari satu artikel, tiap pekan satu artikel, dan seterusnya. Mengingat sudah ada niat sebelumnya, maka ada baiknya sejak awal sudah dibuat semacam “Pohon Pikiran” alias Daftar Isi dari calon buku kita. Setelah itu, mulailah menulis dengan cara mencicil berpanduan “Daftar Isi” itu.
Kedua, buku Tasawuf Modern tak ditulis oleh orang yang punya gelar formal akademik. Hamka itu bahkan tak sampai menyelesaikan SD-nya. Artinya, menulis buku bisa dilakukan oleh siapa saja asal punya modal suka membaca dan rajin belajar sendiri seperti Hamka. Jangan pernah berpikir, misalnya: “Siapa saya? Pantaskah saya menulis buku?”
Ketiga, jangan pernah punya anggapan bahwa 100% isi buku itu harus keluar dari pikiran kita sendiri. Pasti ada, sedikit atau banyak, yang perlu kita kutip dari pendapat atau buku orang lain. Langkah mengutip itu, sesekali bahkan sering, memang diperlukan untuk mendukung dan menguatkan atas apa yang kita uraikan. Juga, untuk sekadar membandingkan atas apa yang kita tulis. Sebagai wujud pertanggungjawaban ilmiah, bersamaan dengan aktivitas mengutip itu, jangan lupa mencamtumkan sumbernya.
Keempat, pilih satu tema yang paling kita suka dan kuasai. Jika Hamka memilih tema “bahagia”, bisa saja kita pilih tema–misalnya-“adab”, “ilmu”, “iman”, “hijrah”, “jihad”, “keluarga sakinah”, dan seterusnya. Kaji satu tema yang kita pilih sampai tuntas, lalu jadikan buku.
Kelima, di mana kita muat tulisan kita? Di zaman digital, banyak pilihannya, termasuk di blog pribadi kita. Berikutnya, bisa di media sosial. Ada keuntungan yang bisa diperoleh dengan cara pemuatan tulisan di media sosial, yaitu berkemungkinan kita bisa mendapat umpan balik–bisa kritik dan/atau saran-dari pembaca.
Keenam, setelah satu tema selesai, bersegeralah untuk menulis buku dengan tema yang lain. Insya Allah akan banyak karya buku kita.
Ketujuh, asalkan ditulis secara serius, buku kita insya Allah akan berhasil. Di titik ini, kecuali Tasawuf Modern, banyak buku lai -yang cara penulisannya sama-juga sukses di sisi pemasaran. Buku fenomenal La Tahzan karya ‘Aidh Al-Qarni juga ditulis serupa dengan cara yang telah Hamka lakukan yaitu mengumpulkan berbagai tulisan yang pernah dibuat. Kita tahu, La Tahzan terjual jutaan copy di dunia. Di Indonesia, buku itu juga laris manis.
Semoga sepenggal perjalanan kepenulisan Hamka bisa menginspirasi kita, dalam berdakwah lewat tulisan. Mudah-mudahan kisah Hamka dapat menerbitkan semangat kita dalam menulis buku. Hal yang pasti, terutama lewat buku Tasawuf Modern, Hamka insya Allah telah berhasil membuka jalan agar kita Cinta Menulis. []
Admin: Kominfo DDII Jatim.