Artikel Terbaru ke-1.912
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok – Permendikbud Ristek No 12 tahun 2012 sebenarnya membuka pintu perubahan mendasar Pendidikan Nasional kita. Bahwa, pendidikan bukan hanya dimaknai sebagai proses persekolahan untuk melahirkan pekerja.
Tapi, pendidikan benar-benar ditujukan untuk melahirkan manusia-manusia seutuhnya (al-insan al-kulliy) yang unggul dan mampu membawa perubahan besar pada masyarakat dan bangsa Indonesia. Tepatnya, kita harus melahirkan “pelajar sepanjang hayat yang beradab!”
Pasal 1 Permendikbud ini menyatakan: “Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah yang selanjutnya disebut Kurikulum Merdeka adalah kurikulum yang memberi fleksibilitas dan berfokus pada materi esensial untuk mengembangkan kompetensi peserta didik sebagai pelajar sepanjang hayat yang berkarakter Pancasila.”
Sedangkan pelajar berkarakter Pencasila dicirikan sebagai berikut: (1) beriman, bertakwa kpd Tuhan Yang Maha Esa, & berakhlak mulia; (2) bergotong royong; (3) bernalar kritis; (4) berkebinekaan global; (5) mandiri; dan (6) kreatif.
Sebenarnya, rumusan itu tidak aneh. Sebab, itu juga amanah UUD 1945 pasal 31 ayat (3). Hanya saja, Permedibud ini memberikan penegasan lebih rinci. Kata-kata kunci menjadi “pelajar sepanjang hayat” penting sekali untuk dipahami dengan tepat. Dan memang pemerintah dan masyarakat perlu memiliki pemahaman yang benar tentang makna pendidikan sebagaimana dirumuskan oleh para tokoh pendidikan kita, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Mohammad Natsir, dan sebagainya.
Pendidikan jangan disempitkan maknanya dengan persekolahan. Kementerian kita namanya “Kementerian Pendidikan”; bukan “Kementerian Urusan Persekolahan”. “Mendidik”, menurut Ki Hajar, “Berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.”
Sedangkan “Pengajaran adab”, menurut Ki Hajar Dewantara, bermaksud memberi macam-macam pengajaran, agar sewutuhnya jiwa anak terdidik, bersama-sama dengan pendidikan jasmaninya. Karena itu, hakikat “pendidikan” adalah: “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Jadi, menurut Ki Hajar Dewantara, intisari pendidikan adalah penanaman adab untuk membentuk manusia yang berpribadi dan beradab. Nah, kepada umat Islam khususnya, rumusan “Profil Pelajar Pancasila” itu perlu dijelaskan dengan segamblang-gamblangnya, agar tidak terjadi dualisme dalam memahami Pancasila dan Islam.
Jangan sampai dikembangkan pemahaman, bahwa orang yang menjalankan agamanya dengan baik dikatakan tidak sesuai dengan Pancasila, karena – misalnya – tidak mau mengucapkan salam lintas agama. Sebaliknya, jangan sampai ada pemahaman, bahwa seorang muslim dikatakan berkepribadian Pancasila, meskipun tidak menjalankan shalat lima waktu dengan baik, tidak bisa membaca al-Quran dengan baik, dan suka berbohong dan berzina.
Kurikulum Merdeka yang bertujuan untuk membentuk “pelajar sepanjang hayat” sangat patut diapresiasi. Tetapi, bagi umat muslim, rumusan itu perlu dijabarkan dengan lebih rinci, agar tidak terjadi kesalahan. Sebab, dalam ajaran Islam, tidak semua ilmu diwajibkan untuk dipelajari. Bahkan, ada ilmu yang haram untuk dipelajari. Ilmu yang wajib dipelajari adalah “ilmu al-hal”. Yakni, ilmu yang diperlukan untuk terlaksananya kewajiban dengan baik.
Jadi, rajin belajar saja tidalah cukup. Seorang muslim wajib cinta ilmu, rajin belajar, dan juga wajib ikhlas dan beradab ketika belajar. Itulah budaya literasi yang beradab. Banyak bangsa dan negara yang mendidik rakyatnya menjadi manusia-manusia pintar, tetapi ilmu mereka tidak membawa berkah dan manfaat bagi umat manusia. Bahkan, tidak sedikit negara yang mengembangkan ilmu untuk merusak alam dan membunuh manusia secara masal dan brutal.
Jadi, kurikulum pendidikan yang bertujuan membentuk “pelajar sepanjang hayat” itu tidak akan membuahkan hasil yang positif jika dipahami dalam worldview Barat-sekuler. Jika tujuan belajar hanya untuk meraih keuntungan duniawi semata, maka pendidikan itu justru akan melahirkan bencana bagi masyarakat.
Inilah yang diperingatkan Ki Hajar Dewantara dengan sangat keras, agar kita jangan asal saja mengadopsi sistem pendidikan Eropa yang jelas-jelas mengabaikan kecerdasan budi pekerti, hingga menimbulkan penyakit “intelektualisme”, yakni mendewa-dewakan angan-angan.
Kata Ki Hajar: “Semangat mendewa-dewakan angan-angan itu menimbulkan “kemurkaan diri” dan “kemurkaan benda”; kemurkaan diri dan kemurkaan benda, atau “individualisme” dan “materialisme” itulah yang menyebabkan hancurnya ketenteraman dan kedamaian di dalam hidupnya masyarakat.”
Bahkan, menurut Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan dalam semangat kolonial telah mencegah terciptanya masyarakat sosial mandiri dan merdeka lahir batin, hanya menghasilkan suatu kehidupan yang tergantung kepada bangsa-bangsa Barat.”
Jadi, kita memang harus berusaha, agar pendidikan kita berhasil melahirkan: “Pelajar Sepanjang Hayat yang Beradab!” Dengan itulah, maka tujuan bernegara kita insyaAllah akan tercapai, yaitu terwujudnya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Amin. (Depok, 4 Juni 2024).
Admin: Kominfo DDII Jatim