Artikel ke-1.861
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Depok -Tugas dan kewajiban orang tua sebenarnya adalah “mendidik” anak. Orang tua tidak wajib menyekolahkan anak. Karena itu, orang tua dan anak wajib cari ilmu. Anak tidak wajib sekolah. Bisa saja sekolah menjadi tempat mencari ilmu yang benar. Tetapi, bisa juga di sekolah anak-anak tidak mendapatkan ilmu yang diwajibkan. Sebaliknya, malah mendapat ilmu yang merusak.
Karena itulah, peran orang tua sangat besar dalam menentukan masa depan anak-anaknya. Rasulullah saw sudah memperingatkan, orang tualah yang mendidik anak-anaknya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majuzi. Salah satu kewajiban orang tua agar tidak salah mendidik anak adalah dengan menelaan buku-buku yang diajarkan kepada anak-anaknya.
Sesuai UUD 1945, UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi, tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Untuk itu, orang tua perlu mengawal proses pendidikan anak-anaknya di sekolah. Jika ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan fakta dan kebenaran, sepatutnyalah para orang tua menyampaikan masukan ke sekolah atau pemerintah.
Menurut UUD 1945 pasal 29 ayat (2), anak-anak muslim mendapatkan hak untuk memeluk agama Islam dan beribadah menurut agama mereka. Salah satu ibadah yang penting adalah “mencari ilmu” (thalabul ilmi). Itu jika ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu yang benar. Jika tidak benar, maka para orang tua memiliki hak untuk meminta kepada pemerintah.
Itulah pentingnya para orang tua – juga ulama dan tokoh masyarakat – menelaah buku-buku ajar yang dijadikan pegangan di sekolah. Sebagai contoh, dalam buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013), disebutkan, bahwa kompetensi inti pelajaran ini adalah: “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.” Sedangkan kompetensi dasarnya adalah: “Menghargai perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat.”
Akan tetapi, buku ini dibuka dengan bab “Sejarah Perumusan Pancasila” yang menyebutkan, bahwa nilai-nilai Pancasila sudah dirumuskan jauh sebelum dimulainya Zaman Sriwijaya/Majapahit, zaman Penjajahan Barat, zaman Jepang, hingga zaman Kemerdekaan.
RELATED ARTICLE
Buku itu tidak menyebutkan adanya unsur Islam dalam perumusan Pancasila. Padahal, jelas sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata ‘Allah’ yang merupakan nama Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci Islam juga menjadi bagian dari Pancasila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’, ‘hikmah’, dan ‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah Nusantara sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para ulama dari kawasan Jazirah Arab.
Disebutkan juga dalam buku ini kisah tentang dihapuskannya tujuh kata dari sila pertama Pancasila, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Hanya saja, buku ini tidak menyebutkan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “Tauhid” dalam pengertian Islam.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 diputuskan: “Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.”
Dengan penjelasan seperti itu, bisa disimpulkan, buku Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tersebut bisa dikatakan berusaha menjauhkan murid-murid Muslim dari agamanya, karena Pancasila hanya dipahami dalam perspektif sekular yang dijauhkan dari nilai keislaman.
Materi ajar seperti ini pada ujungnya bisa berdampak pada dikotomisasi Islam dan Pancasila. Pancasila ditempatkan sebagai satu pandangan hidup dan pedoman amal tersendiri, yang ditempatkan sebagai tandingan bagi pandangan hidup Islam. Akhirnya anak didik diarahkan menjadi sekular; didorong untuk membuang ajaran agamanya ketika menerima pelajaran Pancasila dan kewarganegaraan.
Mungkin masih banyak pejabat atau praktisi pendidikan yang memandang bahwa nilai-nilai moral Pancasila harus dipisahkan dari nilai-nilai moral agama. Sebab, Indonesia memiliki pemeluk agama yang beragam. Artinya, apa yang baik menurut agama, belum tentu baik menurut Pancasila. Begitu juga sebaliknya.
Cara pandang seperti ini tidak bisa diterapkan untuk umat Islam. Sebab, umat Islam memiliki suri tauladan yang lengkap dalam kehidupan. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi, Islam memiliki panduan hidup yang lengkap. Masuk kamar mandi saja ada tata cara (adab) dan doanya. Urusan masyarakat dan negara pun ada keteladanan Nabi.
Urusan moral, sebaiknya diserahkan saja kepada agama masing-masing. Khususnya untuk umat Islam, yang memang memiliki ajaran yang khas dan lengkap. Semoga tahun-tahun kedepan ini pemerintah bersama para tokoh muslim dapat merumuskan masalah ini dengan jelas. Amin. (Depok, 13 April 2024).
Afmin: Kominfo DDII Jatim
Redaktur: Ainur Rofik Sophiaan