MENYAMBUT 2024, JANGAN LAKUKAN CARA-CARA HITLER

Artikel Terbaru (ke-1.634)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Makin dekat ke tahun 2024, berbagai media sosial semakin dibanjiri dengan berita-berita tentang capres dan pilpres 2024. Tak jarang beredar tulisan atau video yang memojokkan seorang capres. Anehnya, di berbagai group WA, informasi yang belum tentu benar, sudah beredar dengan luas, tanpa batas.
Terkadang sikap kritis menjadi hilang, karena informasi yang beredar dianggap menguntungkan capres pilihannya. Padahal, informasi itu merupakan hasil editing yang tidak tepat. Segala cara dipakai untuk memenangkan capres pilihannya, meskipun cara-cara itu tidak benar dan tidak beradab.


Kita berharap, bahwa para capres dan para pendukungnya tetap menjaga nilai-nilai moral dalam perlombaan merebut kursi presiden 2024-2029. Ingatlah bahwa Allah SWT Maha Tahu apa yang kita lakukan. Sekecil apa pun perbuatan kita, akan ada pertanggungjawabannya di akhirat kelak.


Belajar dari pengalaman pilpres-pilpres sebelumnya, sepatutnya jangan melakukan cara-cara menyebarkan kebencian kepada para capres. Mudahnya, jangan lakukan apa yang pernah dilakukan Adolf Hitler dalam menabur kebencian dan penghinaan kepada pihak lain.
Dunia menyaksikan, bagaimana Hitler (1889-1945) dapat berkuasa di Jerman, dengan menabur rasa kebencian kepada pihak Yahudi. Sebenarnya, dari segi akal sehat, sangat sulit memahami, mengapa rakyat Jerman mau mendukung Hitler dan memilih Nazi (National Socialist German Worker’s party).
Padahal, yang dikampanyekan Nazi ketika itu adalah ide-ide yang sangat mengerikan dan sangat anti-kemanusiaan. Melalui bukunya, Mein Kampf, yang ditulisnya dalam penjara, Hitler mengemukakan gagasan nasionalis radikal dengan basis ras (racial nationalism).
Hitler membagi manusia ke dalam dua jenis ras, yaitu ras yang superior dan ras yang inferior. Hitler menggambarkan ras Aria dan ras Yahudi sebagai “the men of God and the men of Satan”. Ia katakan: “The Jew is anti-man, the creature of another god. He must have come from another root of the human race. I set the Aryan and the Jew over and against each other.”


Jelas, gagasan-gagasan Hitler dan Nazi seperti itu merupakan ide ekstrim dan gila. Tapi, apa yang terjadi? Rakyat Jerman yang ketika itu ditimpa krisis ekonomi, terimbas depresi tahun 1929, malah mendukung Hitler. Tahun 1028, partai Nazi hanya meraih suara 810.000. Tetapi, tahun 1930, berhasil meraih suara 6.400.000. Pada pemilu 31 Juli 1932, Nazi menjadi pemenang dengan suara 37,3 persen dan meraih 230 kursi di parlemen.
Tetapi belum menjadi mayoritas mutlak. Dengan modal suara itulah, pada 30 Januari 1930, Hitler diangkat menjadi chancellor (Kanselir) Jerman. Ia didukung para industriawan, aristokrat pemilik tanah, yang mengharapkan, Hitler akan melawan komunisme, membubarkan organisasi buruh, dan meningkatkan industri militer.


Pada pemilu Maret 1933, Nazi meraih 288 dari 647 kursi parlemen. Ditambah dengan koalisi dengan 52 wakil nasionalis, dan absennya wakil-wakil komunis, maka Nazi menjadi mayoritas mutlak. Itulah demokrasi di Jerman ketika itu. Rakyat Jerman mendukung gagasan-gagasan nasionalisme ekstrim Nazi dan memilih pemipin seperti Hitler yang kemudian menyeret dunia ke dalam Perang yang sangat mengerikan dengan mengorbankan nyawa jutaan manusia.
Mengapa Nazi dan Hitler didukung rakyat Jerman, meskipun partai ini membawa ide-ide gila? Jawabnya, karena Hitler dan Nazi pandai menarik suara rakyat, dengan teknik propagandanya yang canggih. Rakyat pun bersikap pragmatis, mencari pemimpin yang kuat, yang mampu membawa negara keluar dari krisis ekonomi. Kisah serupa dapat dijumpai di berbagai negara. Demokrasi sering gagal memilih pemimpin yang baik. Cara-cara yang digunakan untuk meraih suara rakyat pun bermacam-macam, bisa bermoral, bisa tidak.
Bagaimana di Indonesia menjelang Pilpres 2024?
Jika politik dilepaskan dari moral dan Tuhan, dan semata-mata dimaknai sebagai bentuk ‘struggle for power’ maka nilai-nilai Hitlerian akan merasuki dunia politik kita. Jika aspek halal-haram dihilangkan, dan kebenaran dalam politik semata-mata didasarkan pada suara terbanyak, maka potensi untuk masuknya nilai Naziisme sangat besar..


Dalam dunia yang dikuasai nafsu angkara murka, maka itu adalah simbol dari ‘pembunuhan Tuhan’ yang secara simbolik diserukan oleh Friedrich Nietzsche: “God is dead”. Dan manusia mengangkat dirinya menjadi Tuhan. Manusia merasa hebat mampu mengatur diri dan alam ini. Dalam bukunya, “The Anti-Christ”, Nietzsche secara tegas mengajak orang untuk meninggalkan agama Kristen. “One should not embellish or dress up Christianity,” katanya.
Semangat untuk membuang agama dan moralitas keagamaan dalam sejarah Eropa dipengarui oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kemuakan masyarakat terhadap berbagai perilaku tokoh-tokoh agama yang mempermainkan atau menjual agama untuk mengeruk keuntungan pribadi. Surat pengampunan dosa diperjual belikan.
Sejumlah pimpinan agama – yang secara resmi tidak boleh menikah – justru memiliki gundik dan anak haram serta hidup berbeda dengan ucapan-ucapannya. Menjelang Revolusi Perancis, 1789, masyarakat Perancis membenci tokoh-tokoh agama, karena mereka mendapatkan hak istimewa untuk bebas pajak, sementara rakyat dibebani pajak yang sangat berat.
Siapa yang jadi Presiden tahun 2024 adalah hal penting. Silakan pilih yang terbaik dari calon yang ada. Tapi, jika benar-benar mencintai bangsa dan negara ini, jangan sampai nilai-nilai moral dirusak, demi ambisi kebanggaan akan kekuasaan semata. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 26 Agustus 2023).

Admin: Kominfo DDII Iatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *