BELAJAR DARI KASUS BUNUH DIRI MAHASISWA,PENDIDIKAN ITU HARUSNYA MENYENANGKAN

Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Dakwah lslamiyah lndonesia

Dewandakwahjatim.com, Depok – Kasus bunuh diri mahasiswa UI pada 8 Maret 2023 kembali memicu banyak perhatian tentang kondisi kejiwaan mahasiswa. Orang tua perlu lebih memperhatikan jiwa anak-anaknya yang kuliah, apalagi yang tinggal jauh dari rumah.

Pada 8 Maret 2023 lalu, seorang mahasiswi UI ditemukan meninggal di Apartemen Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia diduga meninggal akibat bunuh diri. Menurut pihak kepolisian, penyebab mahasiswa UI bunuh diri diduga karena adanya masalah keluarga. Diduga itu ada hubungannya dengan perceraian orang tuanya.

Dalam hasil penelitian yang dilakukan Emotional Health for All Foundation (EHFA), Kementerian Kesehatan, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada September 2022 ditemukan ada tiga permasalahan yang kerap menjadi faktor risiko seseorang bunuh diri: (1) Masalah keluarga (2) Masalah Keuangan (3) Kesepian.

Studi tersebut dilakukan dengan melakukan 100 jam wawancara mendalam untuk meninvestigasi beragam aspek bunuh diri di Indonesia. Lalu, studi ini juga menganalisis data dari pemerintah seperti survei desa dan kepolisian. (https://www.liputan6.com/health/read/5231750/mahasiswa-ui-bunuh-diri-angka-kejadian-bundir-yang-tidak-dilaporkan-di-indonesia-mengejutkan).

Tahun 2022 lalu, juga ditemukan kasus bunuh diri pada mahasiswa UGM. Ia melakukan aksinya dengan melompat dari lantai 11 Hotel Porta, Sleman, Yogyakarta. Kasus ini menambah deretan kasus serupa yang terjadi di sejumlah kota. Juga di tahun 2022, seorang mahasiswa S2-ITB ditemukan tewas dengan gantung diri. Ia dikenal sebagai anak pintar. Kuliah di jurusan Teknik Elektro, semester 2, di pasca sarjana ITB.

Masih ada sejumlah kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa yang telah mencuat di tengah masyarakat. Berbagai kasus itu mengingatkan kembali pada berita tentang kondisi kejiwaan mahasiswa di Kota Bandung. Pada 12 Oktober 2019, situs www.kompas.com juga menampilkan berita berjudul: “20 Persen Mahasiswa di Bandung Berpikir Serius untuk Bunuh Diri…”

Kabarnya, berdasarkan satu survei awal 2019, di satu perguruan tinggi di Kota Bandung, ditemukan 30,5 persen mahasiswa depresi, 20 persen berpikir serius untuk bunuh diri, dan 6 persen telah mencoba bunuh diri. Caranya, dengan cutting, loncat dari ketinggian, dan gantung diri.
Berita-berita tentang kondisi kejiwaan mahasiswa perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah dan orang tua. Pada 27 Oktober 2018, situs www.idntimes.com, memuat berita berjudul: “Survei Buktikan Mahasiswa Zaman Sekarang Mudah Depresi, Ini Sebabnya!” Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh National College Health Assessment di tahun 2014, sebanyak 33 persen mahasiswa yang menjalani survei, mengalami depresi selama kurang lebih setahun belakangan.
Penelitian lain di tahun 2015 juga menyimpulkan hasil yang senada bahwa 20 persen mahasiswa masa kini mencari perawatan dan konsultasi jiwa terkait tekanan yang mereka alami di dunia akademis. Bahkan, 9 persen di antaranya mengaku, secara serius mereka sempat terlintas untuk bunuh diri karena tak kuat menanggung beban yang dialaminya.

Jumlah mahasiswa yang mengalami depresi dan kekhawatiran berlebih di pertengahan tahun 80-an, berkisar di angka 10-15 persen. Angka itu melonjak drastis di tahun 2010-an menjadi 33 hingga 40 persen. Penyebab depresi pada mahasiswa diantaranya, tekanan pada mereka untuk bisa membuktikan bahwa mereka sukses secara akademis, baik dari orang tua maupun masyarakat.
Menghadapi kondisi kejiwaan mahasiswa seperti itu, kita perlu berpikir ulang tentang tujuan makna seorang kuliah di Perguruan Tinggi. Sebab, seharusnya pendidikan adalah sebuah proses yang menyenangkan. Ilmu adalah makanan jiwa. Jiwa seorang akan sehat, jika asupannya sehat. Kondisi depresi – apalagi sampai bunuh diri – menunjukkan gejala kesehatan jiwa yang terganggu.
Padahal, Al-Quran sudah menjamin bahwa manusia akan tenang hatinya jika mereka mengenal Allah dan berzikir kepada-Nya. (QS ar-Ra’d (13): 28).

Mungkin tidak terpikir oleh banyak orang tua dan pelajar yang lulus SMA, bahwa mereka kuliah untuk menjadi manusia yang bahagia.
Pendidikan itu harusnya menyenangkan dan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan. Sejak tahun 1922, Ki Hajar Dewantara sudah mengkritik model pendidikan Barat yang hanya menyiapkan anak-anak menjadi buruh. Karena itulah, sebagai alternatifnya, Ki Hajar mendirikan Taman Siswa. “Taman” adalah satu tempat yang biasanya indah dan menyenangkan.
Dalam pendidikan Islam, konsep pendidikan yang membahagiakan itu sangat jelas. Pendidikan, menurut Prof. Naquib al-Attas, adalah proses penanaman nilai-nilai kebaikan atau keadilan, dalam diri seseorang secara berangsur-angsur, sehingga ia menjadi semakin adil.
Manusia yang adil adalah yang mampu menempatkan segala sesuatu – termasuk ilmu – pada tempatnya. Karena itu, pendidikan Islam mengacu kepada tiga prinsip dasar pendidikan: (1) Mendahulukan adab (2) mengutamakan ilmu-ilmu fardhu ain (3) memilih ilmu-ilmu fardhu kifayah yang tepat, sesuai potensi mahasiswa dan kebutuhan masyarakat.

Semua itu berawal dari konsep ilmu yang benar. Yakni, ilmu yang integral yang bersumber dari panca indera, akal, dan khabar shadiq. Konsep Ilmu yang benar dan diterapkan dalam sistem pendidikan yang benar pula, akan mengantarkan seseorang kepada keimanan yang kokoh dan akhlak mulia. Itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan.
Allah sudah menjamin hal itu: “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka tidak ada rasa takut para mereka, dan mereka pun tidak bersedih hati.” (QS al-Baqarah (2): 38).
Jadi, konsepnya jelas. Bukti sejarahnya pun sangat jelas. Tinggal kemauan dan keberanian kita untuk memilih dan menerapkannya dalam kehidupan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 26 April 2023).

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *