Artikel ke-1.352
Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah
Dewandakwahjayim.vom, Depok – Hari Ahad, 13 November 2022 kemarin, saya menerima kiriman buku dan video seminar yang membahas tentang Pluralisme. Ternyata, isinya masih saja mengecam fatwa MUI tentang Pluralisme Agama dan menyatakan, bahwa fatwa MUI itu salah. Sebab, MUI menganggap semua agama itu sama. Padahal, semua agama itu memang tidak sama.
Sejak fatwa MUI itu dikeluarkan, tahun 2005, saya sudah mendapat penjelasan dari Menteri Agama (ketika itu), H. Maftuh Basyuni (alm.), bahwa beliau ditanya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang fatwa MUI tersebut. Informasi yang diterima oleh Presiden, melalui fatwa tersebut, MUI telah mengharamkan kebhinekaan.
Karena saya sedang menulis disertasi yang juga menyinggung soal pluralisme agama dalam tinjauan teologi Kristen, maka saya berkesempatan menjelaskan hal tersebut kepada Pak Maftuh Basyuni di kediamannya. Bahwa, yang diharamkan MUI adalah pluralisme agama dalam perspektif teologis. Bukan menolak kebhinekaan atau menolak kerukunan umat beragama.
Kini, setelah 17 tahun berlalu, ada baiknya kita mengingat kembali sejarah penetapan Pluralisme Agama sebagai paham yang diharamkan MUI, dalam Munas MUI ke-7 di Jakarta, 24-29 Juli 2005. MUI mendefinsikan Pluralisme Agama sebagai: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
MUI menetapkan definisi tersebut, berdasarkan fakta, bahwa memang seperti itulah pendapat yang dikembangkan berbagai kalangan. Sekedar contoh, pendapat seorang aktivis liberal mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002).
Ia juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”).
Dalam sebuah buku berjudul “Lubang Hitam Agama”, ada ungkapan semacam ini: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!”
Jadi, definisi Pluralisme Agama yang dirumuskan MUI itu memang sesuai dengan fakta. Bahwa, pemahaman seperti itulah yang disebarkan oleh para aktivis liberal. Sebagai intelektual, kita perlu bersikap jujur, jika benar, katakan benar, dan jika salah katakan salah. Mungkin saja ada perbedaan pendapat.
Nah, pendapat yang ”menyamakan” semua agama itu memang disebut sebagai definisi pluralisme dalam teologi Kristen. Dalam bukunya, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994), Alister E. Mcgrath, menyebutkan, bahwa ada tiga cara orang Kristen dalam melihat agama-agama lain, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Tentang pluralisme, dijelaskan: “In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God.”
Jadi, dalam paham pluralisme, semua agama dianggap jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan. Tidak ada agama yang lebih hebat dibandingkan yang lain. Kaum Pluralis menolak klaim kebenaran dari tiap-tiap agama, lalu dengan gampangnya mengajak semua pemeluk agama memeluk satu teologi baru: semua agama sama-sama benar.
Tidak diragukan lagi, bagi yang masih memegang aqidah Islam, paham semacam itu memang bisa dikatakan sebagai paham syirik modern. Sebab, paham itu menyamakan antara Tauhid dan Syirik; antara iman dan kufur; antara jalan yang lurus dengan jalan yang sesat. Karena itulah, wajar MUI menetapkannya sebagai paham yang salah dan bertentangan dengan ajaran agama Islam”.
Respon terhadap paham Pluralisme Agama ini muncul dari berbagai kalangan umat beragama. Tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan dekrit ‘Dominus Iesus’ yang menentang paham ini. Seorang pendeta protestan, Dr. Stevri Indra Lumintang, menulis buku berjudul “Theologia Abu-Abu” (Malang: Gandum Mas, 2004).
Ditulis dalam buku ini: ‘’Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru…’’
Sebagai umat beragama dan warga bangsa Indonesia, kita semua tentu menginginkan kehidupan yang rukun, damai, sejahtera, dan bahagia. Kita tidak ingin konflik. Tetapi, kerukunan antar umat beragama tentunya jangan sampai dilakukan dengan mengubah keyakinan umat Islam tentang kebenaran agamanya.
Sebab, Rasulullah saw memang diutus untuk menyampaikan kebenaran kepada seluruh umat manusia. Kebenaran yang dibawa oleh Nabi terakhir itu adalah ajakan untuk mengakui beliau sebagai Nabi terakhir dengan membawa mukjizat al-Quran.
Dalam mewujudkan kerukunan, tidak perlu dilakukan dengan merusak keimanan. Justru itulah hakekat “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda keyakinan tetapi tetap merupakan satu bangsa. Menghormati keyakinan masing-masing bukan berarti mencampuradukkan atau merusak keyakinan agama-agama.
Justru, kerukunan akan terasa lebih indah dan bermakna, saat kerukunan itu terwujud di atas perbedaan klaim-klaim kebenaran. Klaim terhadap kebenaran pada masing-masing agama perlu dihormati, dan tidak bisa dipaksa untuk dihapuskan. Islam melarang umatnya untuk memaksa orang lain memeluk agama Islam (QS al-Baqarah: 256).
Meskipun begitu, Rasulullah saw diperintahkan untuk mengajak kaum Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) untuk bertauhid dan meninggalkan kemusyrikan. (QS Ali Imran: 64). Maka, Nabi dan para sahabat beliau pun aktif mendakwahkan Islam kepada seluruh umat manusia. Dengan semangat dakwah itulah, Islam kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia, menyebarkan rahmatan lil-alamiin, termasuk di negeri kita. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 13 November 2022).
Admin: Sudono Syueb