Ulama dan Indonesia

Oleh M. Anwar Djaelani,
Pengurus Dewan Da’wah Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Mustahil memisahkan ulama dari Indonesia. Hal ini, karena peran kepemimpinan ulama dalam perjuangan meraih kemerdekaan dan memertahankan kedaulatan negeri ini sangat besar.

Mereka Penggerak

Perhatikanlah dua ayat ini: “Maka, ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan” (QS Al-Hasyr [59]: 2). “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS Yusuf [12]: 111).

Mari, buka sejarah! Kehadiran Islam–termasuk ulama di dalamnya-adalah nikmat Allah yang tak ternilai. Untuk itu kita harus banyak bersyukur, sebab terwujudnya kemerdekaan Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran umat Islam dan terutama para ulamanya.

Berikut ini, sekadar menyebut contoh ulama itu. Ada KH Hasyim Asy’ari di Jawa, Imam Bonjol di Sumatera Barat, Teuku Umar di Aceh, dan Yusuf Al-Makassari di Makassar. Ada juga Siti Walidah di Jawa dan Rahmah El-Yunusiah di Sumatera Barat.

Sekarang, kita lebih berkonsentrasi di sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17/08/1945. Terkait ini, Bung Karno–salah satu proklamator-mengakui kontribusi yang sangat besar dari ulama. Dia mengatakan, bahwa dirinya “Kalau tanpa dukungan ulama tidak akan berani.”

Hal di atas diterangkan sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suyanegara di www.eramuslim.com 16/09/2007. Tentu saja, hal tersebut mudah kita mengerti karena kekuatan militer dari umat Islam saat itu luar biasa besar (di samping–tentu saja-semangat jihadnya yang juga tinggi).

Adakah informasi menarik lain soal peran ulama? Masih dalam catatan Ahmad Mansur Suyanegara, bahwa pada 18/08/1945, yang merumuskan Pancasila itu tiga orang. “Yakni, KH Wahid Hasyim dari NU, Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah, dan Kasman Singodimedjo juga dari Muhammadiyah. Mereka itulah yang membuat kesimpulan Pancasila itu sebagai ideologi, UUD 1945 sebagai konstitusi. Kalau tidak ada mereka, BPUPKI tidak akan mampu, walaupun diketuai oleh Bung Karno sendiri. Dari situ pula Bung Karno diangkat jadi presiden, dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Jadi negara ini yang memberi kesempatan proklamasi seperti itu adalah ulama”.

Resolusi Jihad

Kemudian, saat republik ini masih berusia sangat muda–belum tiga bulan-, datang ujian yang sungguh besar atas kedaulatannya yaitu ancaman serbuan tentara Inggris. Di titik ini, kembali ulama memerlihatkan peran signifikan dalam mengatasinya.

Bahwa pada 21-22/10/1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Di bawah pimpinan langsung Rois Akbar NU Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan, deklarasi itu populer dengan sebutan Resolusi Jihad.

“Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syahid. Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Meski darah para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang Kota Surabaya selama tiga minggu, Inggris yang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah” (A Khoirul Anam, www.nu.or.id – 22/10/2005).

Ada hal terkait yang sangat menarik, bahwa sebelum pertempuran 10 November 1945 pecah, Bung Tomo berpidato heroik: “Dan, kita yakin Saudara-Saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar”.

Setelah itu, masih ada rentetan menarik lainnya. NU menyelenggarakan muktamar ke-16 di Purwekorto, 26-29/3/1946. Ada salah satu keputusan yang tergolong penting, yaitu NU mencetuskan kembali Resolusi Jihad dengan mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur memertahankan kemerdekaan Indonesia.

Masih dalam catatan A Khoirul Anam, saat itu KH Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan peserta muktamar untuk disebarkan kepada seluruh warga pesantren dan umat Islam. Ulama Besar itu mengatakan: “Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan”.

Mosi Integral

Berikutnya, kita buka sejarah di sekitar “Mosi Integral Natsir” pada 03/04/1950. Tentang ini, dalam catatan Hadi Nur Ramadhan, “Mosi Integral Natsir” diprakarsai oleh pemimpin Partai Masyumi, Natsir. Mosi ini muncul ketika Natsir merasa bahwa hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) pada 1949 tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia. Pasalnya, dalam KMB itu bentuk pemerintah Indonesia merupakan Republik Indonesia Serikat (RIS). Negeri ini dibagi-bagi menjadi sekitar 16 negara bagian. Natsir melihat sistim ini seperti langkah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia (www.jawapos.com 03/04/2018).

Untuk mengatasi hal di atas, lahirlah gagasan cemerlang yang lalu dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir”. Gagasan itu merupakan sebuah prestasi besar dalam sejarah Indonesia, sebab Natsir–seorang ulama dan negarawan-mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah-belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal. Melalui gagasan Natsir itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap lestari hingga kini.

Sebegitu besar jasanya terhadap tetap terpeliharanya kedaulatan dan kesatuan Indonesia, bahkan Bung Hatta menyebut “Mosi Integral Natsir” sebagai “Proklamasi yang kedua setelah Proklamasi yang pertama pada 17 Agustus 1945”. Tentu saja, ini sebuah metafora yang punya landasan berfikir yang kukuh dari salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.

Shahih, Shahih!

Pasangan proklamator kemerdekaan Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, kerap disebut sebagai Dwitunggal. Ternyata, dalam memandang peran ulama terhadap negeri ini, keduanya senada. Bung Karno mengatakan, ulama sangat berpengaruh di balik terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia 17/08/1945. Sementara, Bung Hatta berkesaksian tentang peran besar Natsir–seorang ulama-dalam “Proklamasi kedua kemerdekaan Indonesia”.

Semoga hati dan pikiran kita menjadi lebih terbuka dengan membaca ulang kesaksian dari Sang Dwitunggal itu. Allahu Akbar! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *