Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes Arroudlotul Ilmiyah, Kertosono)
Dewandakwahjatim.com, Kal-Sel – Ibn Taimiyah mengunakan berbagai pendekatan dalam mengkaji suatu konsep. Misalnya mengkaji tentang konsep iman. Argumen metodologisnya mendasarkan kepada dalil naqliyah dan dalil aqliyah serta tahliliyah. Pokok-pokok pendekatan Ibn Taimiyah dapat sebagai berikut:
A. Pendekatan Naqliyah[1]-Sam’iyah.[2](Pendekatan Qur’ani dan Sunnah al-Nabawiyah).
Al-Qur’an disefinisikan sebagai Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril yang diriwayatkan secara mutawatir, dan dinilai ibadah bagi orang yang membacanya. Al-Qur’an merupakan Kitab Suci terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an mempunyai peran sentral dalam menetapkan berbagai aturan hukum dan penyelesaian berbagai persoalan lainya. Karena itu, al-Qur’an merupakan kitab suci yang lengkap. Karena kelengkapan itulah, ia tidak menerima penambahan dan pengurangan isinya. Ajaran dan isinya harus dijadikan rujukan dalam setiap aspek kehidupan dan persoalan riel. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah di bawah Ini:
“…Hari ini Aku sempurnakan Agama bagi-mu dan Aku sempurnakan nikmat-Ku pada-mu, dan Aku rela Islam sebagai Agama bagi kamu…”[3]
“…Kalimat Tuhan-mu yang benar dan adil itu telah sempurna. Tidak akan ada pergantian bagi kalimat Allah. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.[4]
“…Kami tidaklah meninggalkan sedikit pun sesuatu di dalam al-Kitab (al-Qur’an)”.[5]
“…Dan Kami turunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada-mu sebagai penjelas bagi segala sesuatu…”[6]
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Kitab kepada-mu dengan “haq”, agar kamu menghakimi perselisihan di antara manusia berdasarkan wahyu yang Allah beritahukan kepada-mu…”[7]
“…Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya…”[8]
2). Sedang Sunnah Nabi Muhammad saw., oleh para ahli Hadits didefinisikan, antara lain: 1) Sunnah adalah, “Semua ucapan (qaul), perbuatan (fi’liyah) dan persetujuan (taqrir) yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw.”. Definisi Sunnah ini, sama dengan definisi Hadits.
Fazlur Rahman, mendefinisikan Sunnah dengan: “Semua hal yang berhubungan dengan Nabi saw. yang tidak terbatas dalam bentuk formal tertulis saja, (sebagaimana “laporan” atas ucapan, pebuatan, persetujuanya) tetapi “Sunnah Nabi” meliputi nilai, etika dan perilaku historis Nabi saw., dalam melaksanakan historisitas kemanusian sebagai Nabi.”[9] Solusi yang diberikan Nabi saw. terhadap berbagai persoalan pada zaman itu, keputusan formalitas tekstualnya berbunyi seperti yang dicatat di dalam kitab-kitab Hadits, tetapi aktualitas sunnah-nya terletak pada nilai-nilai sunnah yang dipraktikkan Nabi saw. sebagai pengejawantahan dari sisi historisitas kemanusiaannya. Jadi, formalitas tekstualnya dapat berbeda, tetapi secara subtansial, nilainya sama. Inilah yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai Sunnah al-hayah (sunnah yang hidup terus menerus). Sunnah yang layak untuk dijadikan sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) dalam membumikan sunnah Nabi dalam sejarah kemanusiaan.
Pada definisi pertama dan definisi yang ke-dua. Kedua-duanya berada dalam bingkai (frame) petunjuk wahyu Allah, karena sama-sama didasarkan wahyu yang datang dari Allah dan bukan didasarkan pada hawa nafsu insaniahnya. Karena itu, Nabi selalu berada dalam pengawasan-Nya, hingga hal-hal yang kecil sekalipun. Misalnya “kesalahan” yang dilakukan oleh Nabi saw dalam kasus sahabat Nabi saw. yang buta matanya, yaitu Ibn Ummi Maktum, yaitu ketika Nabi bersikap acuh-tak acuh dan bermuka masam, langsung ditegur oleh Allah.[10] Oleh sebab itu, apa yang datang dari Nabi saw., harus ditaati dan dilaksankan. Sebagaimana firman Allah:
”Dan (Muhammad) tidaklah berbicara berdasarkan hawa nafsunya, melainkan dari wahyu yang Aku sampaikan…”[11]
”Dan Apa yang datang dari Rasul, maka kerjakanlah; dan apa yang dilarang olehnya, maka tinggalkanlah!”[12]
”Tidak, maka Demi Tuhan-mu. Mereka tidak disebut sebagai orang-orang yang beriman sehingga mereka menyerahkan keputusan dari apa yang mereka perselisihkan di antara mereka kepada-mu. Kemudian mereka tidak keberatan terhadap keputusan yang engkau tetapkan kepada mereka.” Dan mereka pasrah dengan sebenar-benarnya.”[13]
Bahwa kedua sumber utama agama Islam itu secara taken for granted harus diterima apa yang ada di dalamnya (qath’i al-wurud), tetapi bagaimana cara memahami teks-teks ajaran-Nya, perlu metodologi penafsiran, pemahaman, dan kedalaman pemikiran yang lebih mendasar.
Ibn Taimiyah berpendapat, bahwa semua ayat-ayat Allah harus difikirkan, baik ayat-ayat yang tergolong ayat Muhkamah atau ayat Mustasyabihah, agar diketahui maksud dan tujuan dari wahyu tersebut. Namun Ibn Taimiyah memperingatkan bahwa dalam memahami teks-teks wahyu tidak boleh berdasarkan kepada kemaun nafsu (hawa al-nafs) dan kepentingan pribadinya (al-siyasah al-nafsiyah). Misalnya dengan mempermainkan makna dan pola penafsiran kata atau kalimat di dalam al-Qur’an sesuai selera pribadi seseorang. Ibn Taimiyah berkomentar:[14]
وما ينبغ ان يعرف ان الالفاظ الموجودة في القران والحديث اذا عرف تفسيرها وما اريد بها من جهة النبي صلعم لم يحتج في ذالك الى الاستدلال باقوال اهل اللغة ولا غيرهم
”Perlu diketahui bahwa lafad-lafad yang ada di dalam al-Qur’an atau pun yang ada di dalam al-Hadits, apabila sudah diketahui tafsir dan makna yang dimaksud berasal dari Nabi saw., maka tidak perlu lagi proses ”istidlal” (penalaran) dengan menggunakan pendekatan ahli filologi dan ahli lainnya…”[15]
Teks-teks wahyu yang sudah jelas maksud (tujuan)-nya, tidak perlu lagi untuk difikirkan ketentuannya. Namun sebaliknya, bila tidak ada penjelasan yang jelas dari Allah dan Rasul-Nya, maka perlu untuk difikirkan secara mendalam. Ibn Taimiyah memberikan contoh, bahwa definisi itu ada 3 macam. Yaitu: 1. Konsep yang batasannya sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Seperti shalat, zakat dan ibadah mahdlah lainnya; 2. Konsep yang batasannya dapat difahami melalui bahasa seperti definisi Matahari, Bulan dan sebagainya; 3. Konsep yang batasannya diketahi berdasarkan adat istiadat atau kebiasaan seperti kata: al-qabdlu (senggama).[16]
Mengutip pendapat Ibn Abbas, Ibn Taimiyah membagi tingkatan tafsir al-Qur’an kepada :
- Al-Tafsir ta’rifuhu al-‘Arab min kalamihim (tafsir yang lansung dapat difahami oleh orang Arab berdasarkan bahasa mereka sendiri).
- Al-Tafsir la yu’adzdziru ahad bi jahalatihi (Tafsir yang tidak dapat difahami oleh seseorang karena kebodohannya).
- Al-Tafsir ya’lamuhu al-’ulama’ (tafsir yang hanya diketahui secara spesifik oleh ulama [ilmuwan] saja).
- Al-tafsir ya’lamuhu ’Llah, man adda’a ’alimahu fa huwa kadzib (tafsir yang hanya diketahui oleh Allah. Dan bila ada orang yang mengaku telah mengetahui tafsirnya berarti dia berdusta).[17]
Oleh sebab itu, tafsir yang paling otoritatif adalah jenis tafsir sebagai berikut:
- Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.
- Tafsir al-Qur’an dengan Hadits Nabi.
- Tafsir al-Qur’an dengan Qaul Shahabi
- Tafsir al-Qur’an dengan pendapat para Tabiin. Ketentuan Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji dan ibadah mahdlah lainnya, aturan waktu dan kadar-ukuran-nya sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara jelas dan terang. Sehingga tidak memerlukan adanya tambahan dan tafsiran lebih lanjut. Jika ada seseorang yang mau menambah atau menafsirkan lebih dari ketentuan yang telah ada, maka tidak dapat diterima (lam yuqbal). Karena hal tersebut dapat menyesatkan[18]. Lebih lanjut Ibn Taimiyah menyatakan:
اهل البدع انما دخل عليها الداخل لانهم اعرضوا عن هذه الطريقة وصاروا يبينون دين الاسلام على مقدمات يظنون صحتها, اما دلالة الالفاظ واما فى المعانى المعقولة, ولا يتاملون بيان الله ورسوله. وكل مقدمات تخالف ب يان الله ورسوله فانها تكون ضلال.
“Para ahli bid’ah, mereka memasukan suatu penafsiran tertentu terhadap teks-teks keagamaan menurut selera mereka. Karena mereka menolak metode-metode ini, sehingga mereka mendefenisikan (nuktah ajara Agama Islam berdasarkan premis-premis yang mereka anggap benar. Misalnya didalam memberi makna terhadap suatu konsep (al-alfazh) atau memberi makna yang nampak rasional (al- ma’qulah). sedangkan mereka tidak mau mempertimbangkan secara mendalam penjelasan-penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya. sehingga setiap premis (keyakinan) yang menyalahi penjelasan dari Allah dan Rasulnya, pasti sesat.”[19]
Termasuk dalam memberi definisi Iman ini. Ibn Taimiyah merujuk kepada ketentuan Syara’, yaitu ketentuan yang ada di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah[20]. Dan tidak mendasarkan pada interes politik dan kepentingan pribadi. Pendirian Ibn Taimiyah sangat konsis bahwa segala sesuatu harus merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah:
“Maka jika terjadi perselisihan di antara kamu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan kepada Rasul (sunnahnya)” (Qs. 4: 59)”
“تركت فيكم امرين ان تماسكتم بهما لن تضلوا ابدا كتاب الله و سنة رسوله”
“Aku telah meninggalkan kepada kamu dua perkara, jika kamu mau berpegang teguh kepada ke-duanya, maka tidak akan sesat selama-lamanya. Yaitu: Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.,” (HR. Malik).
Oleh sebab itu Ibn Taimiyah menolak tafsir bi al- ra’y, dalam pengertian: Tafsir menurut selara pribadi dalam memahami konsep al-Qur’an tanpa memperhatikan Hadits-Hadis Nabi, pendapat para Sahabat, Tabi’in, para ilmuwan dan cendikiawan, serta ijma’. Kata Ibn Taimiyah:
تجدهم لا يعتمدون على احاديث النبي صلعم والصحابة والتابعين وائمة المسلمين. فلا يعتمدون لا على السنة ولا اجماع السلف واثارهم. وانما يعتمدون على العقل واللغة. وتجدهم لا يعتمدون على كتب التفسيرالماثورة والحديث واثار السلف. وانما يعتمدون على كتب الادب والكلام اللتي وضعتها رءوسهم. واما كتب القران والحديث والاثار, فلا يلتفتون اليها هؤلاء. يعرضون عن نصوص الانبياء اذ هي تفيد العلم
(… Anda dapat saksikan, mereka tidak berpedoman terhadap hadits-hadits Nabi saw., pendapat para sahabat, tabi’in dan para ulama Muslim. Mereka tidak berpedoman baik kepada Sunnah dan juga tidak kepada Ijma’ salaf dan atsar dan fatwa. Mereka hanya berpegang kepada pemahaman akal dan bahasa belaka. Anda juga dapat saksikan bahwa mereka tidak berpegang kepada kitab-kitab tafsir yang mu’taba,hadits dan atsar para salaf shalih. Mere ka hanya berpegangan pada kitab-kitab sastra, filsafat dan teologi, yang dirsusun oleh para pemuka mereka. sedangkan kitab-kitab tafsir al-Qur’an, hadits dan atsar para salaf shalih, mereka tidak memperdulikanya. Mereka menolak teks-teks (nash) wahyu dari Nabi karena menurut pendapat mereka, hal tersebut tidak memberi dampak keilmuwan)[21].
Pendekatan yang mereka gunakan inilah yang menyebabkan pendirian mereka terjerumus pada kesalahan. Karena tidak memperhatikan teks-teks syar’iyah, pendapat para salaf al-shalih sebagai dasar pertimbangan dalam penafsiran[22].
Apakah Ibn Taimiyah benar-benar menolak tafsir bi al-ra’y (tafsir rasional)? “Tidak”. Yang ditolak oleh Ibn Taimiyah adalah penafsiran yang tidak ilmiyah yang hanya mendasarkan pada satu sudut pandang belaka, yaitu penafsiran yang sifatnya parsialistik dan ta’ashshub (membela kelompok atau kepentingan). Jika suatu tafsir didasarkan pada pendekatan ilmiyah dan logika yang benar, maka Ibn Taimiyah tidak menolaknya. Justru sikap ilmiyah dan rasional itu yang didorang oleh Ibn Taimiyah agar al-Qur’an dan Sunnah Nabi harus difahami, difikirkan dan direnungkan agar dapat ditemukan kebenaran isinya. Dalam hal nilai kebenaran wahyu dan kebenaran rasional, Ibn Taimiyah tidak pernah mempertentangkan kebenaran yang dihasilkan oleh wahyu dan kebenaran yang dihasilkan oleh akal fikiran. Kedua ciptaan Allah tersebut sama-sama berasal dari yang Tunggal, yaitu Allah swt. Karena itu antara keduanya saling melengkapi (al-takammul) dan tidak dalam posisi saling berlawanan (al-taqabul). Wahyu yang disebut Ibn Taimiyah sebagai fithrah al-munazzalah (fitrah yang diturunkan) meupakan kelanjutan dari nature manusia sendiri yang disebut dengan “fitrah al-majbulah” (fitrah alamiyah). Karena itu, hasil refleksi yang dilakukan oleh akal-fikiran manusia, bila hasil kesimpulannya memang benar, maka akan sesuai dengan kebenaran yang diinformasikan oleh wahyu. Ibn Taimiyah mempunyai prinsip dasar sebagai berikut:
وافقة صحيح المعقول بصريح المنقول
“Muwafaqah shahih al-ma’qul bi sharih al-manqul”[23]
(Hasil pemikiran yang benar )al-shahih(, akan bersesuaian dengan wahyu yang sharih [bukan palsu, dlaif dan lain-lain-nya]).
Mendasarkan pada dua sumber pokok Islam itu, bukan berarti menolak sama sekali penggunaan pendekatan filosofis dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Ibn Taimiyah tetap menggunakanya dalam frame pemikiran yang dituju adalah nilai-nilai yang dikehendaki oleh syara’ bukan dalam kerangka memenuhi selera pribadi atau mendukung kelompok (madzhab, school of thought) tertentu . Kata Ibn Taimiyah:
“اذ المقصود هنا بيان شرح كلام الله ورسوله على وجه. يبين ان الهدى كله ماخوذ من كلام الله ورسوله باقامة الدلائل الدالة, لا بذكر الاقوال اللتي لا تقبل بلا دليل وترد بلا دليل او يكون المقصود بها نصر غير الله ورسوله. فان الواجب ان يقصد معرفة ما جاء به الرسول واتباعه بالادلة الدالة علا ما بينه الله ورسوله.”
“Yang dimaksudkan di sini adalah menegaskan tentang penafsiran firman Allah dan sabda Rasul-Nya secara tegas, bahwa petunjuk itu semuanya harus diambil dari Kalam Allah dan sabda Rasulullah saw. dengan mengunakan dalil-dalil yang jelas pula, tidak dengan menyebut pendapat-pendapat yang diterima tanpa dalil atau ditolak tanpa berdasakan dalil; atau dengan maksud untuk mendukung pendapat selain dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya kewajiban yang dimaksud adalah memahami apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. dan mengikutinya bedasarkan pada dalil-dalil yang jelas sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya”.[24]
Dalam memahami konsep Iman misalnya, Ibn Taimiyah mengkritik tajam pendapat yang hanya mempermainkan kata saja, dan tidak meneliti secara mendalam apakah penggunaan makna tersebut tepat, ataukah hanya digunakan sebatas sebagai justifikasi (pembenar) pendapat pribadinya atau madzhabnya. Kata Ibn Taimiyah:
“شرح كلام الله ورسوله على وجه … كله ماخوذ من كلام الله ورسوله باقامة الدلائل الدالة لابذكر الاقوال اللتى لا تقبل بلا دليل وترد بلا دليل او يكون المقصود بها نصر غير الله ورسوله. فان الواجب ان يقصد معرفة ما جاء به الرسول واتباعه بالادلة الدالة على ما بينه الله ورسوله”
“Menafsiran firman Allah dan sabda Rasul-Nya secara tegas, semuanya harus diambil dari Kalam Allah dan sabda Rasulullah saw. dengan mengunakan dalil-dali yang jelas pula, tidak dengan menyebut pendapat-pendapat yang diterima tanpa dalil atau ditolak tanpa berdasakan dalil; atau dengan maksud untuk mendukung pendapat selain dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya kewajiban yang dimaksud adalah memahami apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. dan mengikutinya bedasar pada dalil-dalil yang jelas sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.”[25]
Di samping itu juga apakah informasi-informasi dari teks-teks al-Qur’an atau Hadits tidak ada? Bukankah Islam bersumber dari dua rujukan primer tersebut? Karena itu, dalam pandangan Tashihiko Izutsu, Ibn Taimiyah memiliki tipologi yang khas dalam meninjau nuktah-nuktah konsep Islam melalui pendekatan semantik (filologi)– nanti kita renungkan bersama pada bab lainya sehingga kesimpulannya benar-benar masuk di akal (aqliyah = logis) dan tidak direka-reka hanya untuk membenarkan pendapatnya.
B. Pendekatan Komparatif. (Mempertimbangkan Pendapat Para Sahabat, Tabiin, dan Para Pemikir Muslim Lainnya (Aimmah al-Muslimin).
Pendapat para Sahabat Nabi saw. serta sikap mereka yang terekam dalam buku-buku fiqih, hadits, tafsir atau pun sejarah, filologi, filsafat, sastra dan lainnya, dapat dijadikan pertimbangan di dalam memutuskan suatu konsep pemikiran keagamaan. Bagi Ibn Taimiyah, Sahabat merupakan orang yang paling mengetahui dan mengerti Syariat Islam dan Sunnah Rasulullah Muhammad saw. Karena mereka mengetahui kapan dan di mana suatu ayat diturunkan, apa sebab-sebab (asbab al-nuzul), dan tujuan (al-ghayah) suatu ayat diturunan. Begitu juga mereka mengetahui kapan dan di mana sabda-sabda Nabi diucapkan kebijakan dan tindakan serta persetujuan Nabi muncul. Mereka mengetahuinya. Sehingga nilai-nilai dan semangat yang terkandung di balik teks keagamaan mereka memahaminya. Rekaman pendapat mereka dalam teks-teks yang tertulis yang sampai kepada kita, merupakan rekaman aktual dari praktek dari awal dan jenuin dari ekspresi nyata dari nuktah-nuktah Agama. Dengan posisi seperti ini sangat pantas dan layak untuk menjadikan pendapat mereka sebagai pertimbangan di dalam mendefenisikan dan menrumuskan suatu konsep keagamaan.
Generasi pasca Sahabat Nabi adalah generasi Tabiin, mereka ini yang secara langsung mengetahui praktek keagamaan para sahabat Nabi dan pola pemahaman keagamaan mereka. Sebagai generasi yang datang kemudian, mereka merupakan mata ratai (sanad) ke-dua setelah para Sahabat Nabi saw. dalam memberikan informasi keagamaan. Tanpa mereka mustahil informasi dan autentisitas keagamaan sampai kepada generasi sekarang[26]. Praktek aktual keagamaan mereka adalah teks hidup yang penting untuk diketahui oleh generasi sekrang, sebelum teks hidup tersebut menjadi korpus mati dalam tulisan kertas dan rekaman sejarah. Maka posisi mereka sangat organ dan menduduki peringkat kedua pasca sahabat Nabisaw. dalam memberikan informasi keagamaan untuk dijadikan rujukan dalam menyimpulkan ajaran keagamaan.
Ibn Taimiyah tidak menyebutkan kelompok Tabiut Tabiin–yaitu generasi yang hidup pasca Tabiin, namun mereka tidak pernah menyaksikan atau bertemu dengan generasi Sahabat Nabi yang masih hidup–sebagai bahan rujukan utama dalam beristidlal. Namun Ibn Taimiyah menyebutkan dengan Aimmah al-Muslimin (pemimpin orang-orang Islam) yang dimasud adalah para pemuka agama, ulama dan para cerdik pandai pasca Tabiin. Mungkin karena pada zaman tersebut pendapat pribadi yang diinformasikan sudah banyak tersebar luas bahkan banyak dicetak (sesuai teknologi percetakan waktu itu) sehingga perlu adanya sikap hati-hati dan selektif dalam memilih dan memilah pendapat yang akan dijadikan rujukan argument dalam memutuskan suatu ajaran agama. Oleh sebab itu Ibn Taimiyah tidak menjadikan generasi Tabiut Tabiin sebagai pijakan utama dalam memutuskan suatu pendapat.
Kenapa pendapat para Sahabat, Tabiin dan para Imam atau pemikir-pemikir muslim dijadikan rujukan? menurut Ibn Taimiyah, agar suatau pemikiran jangan sampai kesimpulan yang dibuat itu hanya dalam kerangka untuk memenuhi selera pribadi dan kepentingan kelompoknya, yang diharapkan dari kesimpulan-kesimpulan itu, memang benar-benar ditarik dari nilai-nilai yang dikandung dalam nuktah- nuktah keagamaan yang benar. Kata Ibn Taimiyah:
“وكثير من اهل الكلام وكثير مما ينصره لا يكون عارفا بتحقيق دين الاسلام في ذالك, ولا ما جاءت به السنة ولا ما كان عليه السلف. فينصر ما ظهر من قولهم بغير الماخذهم اللتي كانت ماخذهم في الحقيقة. بل ماخذ اخر قد تلقاها عن غيرهم من اهل البدع. فيقع في كلام هؤلاء من التناقض والاضطرار والخطء”
”Banyak Teolog [juga lainya] di dalam berbagai pendapat yang mereka dukung itu, mereka tidak memahami hakekat agama Islam, dalam masalah yang dikaji itu, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun yang bersumber dari Sunnah Nabi. Juga tidak memahami pendapat generasi Salaf, mereka hanya mendukung produk pemikiran kelompok yang mereka dukung tanpa mengetahui dari mana asal pengambilan kesimpulan dan metodologi yang dipakai untuk sampai pada hakekat permasalahan itu. Bahkan mereka mengambil pendapat yang mereka terima dari para ahli bid’ah (heterodoks) sehingga kesimupulan-kesimpulan mereka banyak yang kontraditif, ambigu atau bahkan keliru.”[27]
C. Non Madzhab dan Menolak Taklid.
Konsisten dengan seruannya mengajak kembali kepada semangat al-Qur’an dan al-Sunnah. Ibn Taimiyah menolak untuk terikat pada salah satu madzhab yang dominan dan popular dalam Islam, baik madzhab Fiqih, Teologi, Falsafah, Tafsir, Tasawuf dan sebagainya. Dalam fiqih misalnya, ia tidak mengikatkan diri pada Madzhab Zhahiri, al-Thabari, Sufyan al-Tsauri, al-Auza’i, Maliki, Hanifi, Syafi’i, atau Hanbali. Ibn Taimiyah termasuk mujtahid yang berusaha untuk berfikir mandiri dan bebas. Sehingga dia disebut sebagai Mujtahid Mustaqil, sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Amien[28]. Karena dia telah memenuhi kualifikasi sebagai seorang Mujtahid Mustaqil. Adanya kesamaan atau kemiripan metodologi, tak seorang pun pemikir yang bisa terbebas dari pengaruh pemikiran sebelumnya. Yang terpenting dari semua itu adalah adanya produk ijtihad dan pembaharuan metodologi dan paradigma yang dia ciptakan. Sebagai misal, al-Syafi’i banyak terpengaruh oleh metode pemikiran Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dalam ber-istidlal. Tetapi orang sepakat bahwa al-Syafi’i adalah Mujtahid Mustaqil, karena banyak melakukan pembaharuan metodologi dan gagasan baru dalam bidang pemikiran. Penetapan seseorang sebagai Mujtahid mutlak, yang selama ini lebih banyak mempertimbangkan aspek banyaknya pengikut daripada paradigma atau ijtihad yang dikemukakannya. Dan itu sangat subyektif dan tendensius.
Memang dalam Kitab Al-Iman Ibn Taimiyah lebih banya menyebut nama Imam Ahmad dari pada Imam yang lain,. Tetapi penyebutan itu lebih banyak disebabkan karena Imam Ahmad banyak bersentuhan secara langsung dengan pemikiran kalam (teologi) bukan kajian fiqih. Sedangkan Imam yang lain, kecuali Abu Hanifah jarang bersentuhan secara langsung dengan persoalan-persoalan Teologi. Ibn Taimiyah dalam mengutip konsep Imam Ahmaad Ibn Hanbal pun tidak serta merta menerima atau menolak pendapat tersebut. Penyebutan itu adalah dalam kerangka: 1) Perbandingan (al-muqaranah), 2. Analisis (al-tahlil), 3. Kritik (al-naqd), 4. Kajian (al-dirasah) dan sebagainya. Sebagai misal, Ibn Taimiyah secara panjang lebar membahas masalah Itstitsna’ fi al-Iman, (pengecualian dalam Iman) banyak menerangkan pendapat Iman Ahmad, melalui penuturan murid dan pengikutnya. Tetapi Ibn Taimiyah juga mengkritik Imam Ahmad, karena pendapatnya itu mirip dengan pendapat kaum Jahamiyah[29]. Sedangkan pendapat para Imam yang lain jarang dibahas secara mendetail. Kemungkinan besar adalah disebabkan: 1. Kurang akrab dengan pemikiran madzhab selain Hanbali. 2. Karena Imam Ahmad-lah yang getol berbicara masalah Teologi dengan pendekatan skripturalistik, sedangkan Imam yang lain tidak membahasnya, karena mereka lebih fokus kepada masalah fiqhiyah dan bukan masalah Teologi.[30]
D. Pendekatan Rasional-Empirik.
Di dalam bidang Teologi-pun Ibn Taimiyah punya typikal sendiri, yang berbeda dengan jumhur ulama Kalam waktu itu, yang mayoritas ber-aliran Asy’ariyah. Dalam masalah hubungan antara akal dan wahyu misalnya, Ibn Taimiyah sangat rasional, karena sangat menghargai peranan akal dalam proses penyimpulan pemikiran keagamaam. Dia memposisikan akal sejajar dengan posisi wahyu.[31] Sedang dalam masalah perbuatan (al-kasb) manusia, dia sangat qadari (free will), karena memberikan peran besar terhadap ikhtiar manusia di dalam menciptakan perbuatannya sendiri. Oleh sebab itu, Ibn Taimiyah mengkritik konsep kasb Asy’ari yang cenderung jabariah (fatalis, predestination ). Di mana manusia tidak memiliki kekuasaan (majbur) untuk berbuat sesuatu karena semuanya sudah ditentukan oleh Yang Kuasa. Manusia hanya tinggal menjalankan taqdir yang ditetapkan oleh Tuhan kepadanya. Ini sebagaimana tergambar dari syair berikut:
ولا مخرج للعبد عن ما قضى
ولكنه مختار حسن و سوء
فليس بمجبور عدم الارادة
ولكنه شاء بخلق الارادة
”Wa la mahraja li al-’abdi ’an ma qadla
Wa lakinnahu mukhtar husn wa suah
Fa laisa bi majbur ’adam al-’iradah
Wa lakinnahu sya’a bi khalq al-iradah”
(Tidak ada jalan keluar bagi manusia dari ketentuan-Nya
Namun manusia tetap mampu memilih yang baik dan yang buruk.
Jadi bukanya dia itu terpaksa tanpa kemauan
Melainkan berkehendak dengan terciptanya kemauan dalan dirinya)[32]
Ibn Taimiyah mengkritik pendapat yang sangat jabari (fatalis) terebut, padahal sebenarnya manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk melaksanakan kasb-nya sendiri. Dalam masalah konsep perbuatan manusia, Ibn Taimiyah lebih dekat dengan konsep aliran Qadariah (aliran yang memberikan porsi kemampuan manusia dalam menciptakan perbuatannya sendiri; bebas, tidak ditentukan, free wiil). Kecenderungan ini bukan karena dia beraliran Qadariah, tetapi pendapat tersebut merupakan murni kesimpulan bebas yang berasal dari hasil telaahannya sendiri terhadap teks-teks ajaran Islam.
Dalam hal epistemologi, Ibn Taimiyah cenderung pada aliran empiris, karena menganggap realitas itu ada pada alam nyata, dan bukan pada ide di alam fikiran atau rasio. Ini sebagaimana pernyataanya berikut:
الحقيقة في الاعيان
لا في الاذهان
“al-Haqiqah fi al-a’yan
La fi al-adzhan”
(Kebenaran itu terletak pada wilayah empirik,
bukan pada wilayah idealitas)[33].
Dalam kajian keimanan pun Ibn Taimiyah banyak menggunakan pendekatan empirik ini, daripada pendekatan idealistik. Ia banyak melakukan kritikan terhadap konsep kaum Jahamiah, Murjiah dan Jabariah; yang menilai keimanan manusia hanya pada aspek formalitas verbal, angan-angan dan fikiran belaka. Tidak menilai iman dari sudut pandang realitas amaliah seseorang. Di sinilah nilai penting konsep Ibn Taimiyah tetang iman, bahwa keimanan seseorang harus dibuktikan secara riel, dalam bentuk amaliah yang nyata dan bukan pada angan-angan belaka. Sehingga bisa dirasakan manfaat pada alam kenyataan dan tidak hanya sebatas angan-angan, tanpa kenyataan dan makna.
Ajakanya untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, juga melahirkan fikiran bebas tanpa harus terikat dengan mazhab manapun, karena yang memiliki otoritas dan nilai kebenaran mutlak hanyalah teks-teks suci itu, yang lain merupakan tafsiran yang sifatnya nisbi, relative dan bisa berubah. Seseorang boleh menyetujui suatu ide atau menolaknya tergantung sejauh mana pemahaman seseoranga terhadap teks-teks keagamaan yang dapat dia simpulkan. Karena itu, dari prespektif ini, Ibn Taimiyah layak untuk disebut sebagai Mujtahid Mustaqil (mutlak), karena hasil penemuan ijtihad-nya yang banyak dan dia, di samping pengaruh pemikiranya sampai sekarang bisa kita rasakan begitu juga pengikutnya sangat banyak.
Implikasi dari ajakannya untuk berfikir secara bebas adalah: pintu ijtihad tetap dan terus terbuka bagi siapa saja. Ibn Taimiyah dengan keras menolak anjuran untuk bersikap sikap taklid terhadap hasil pemikiran siapa saja. Ia mengecam terhadap orang yang hanya mengikuti pendapat orang lain tanpa dia kaji terlebih dahulu, atau bersikap pasif dan pasrah terhadap hasil pemikiran ulama’ masa lalu, atau hanya menerima pendapat orang-orang yang terdahulu tanpa sikap kritis. Menurut Ibn Taimiyah, sikap seperti inilah yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran bangunan peradaban dan pemikiran Islam. Kata Ibn Taimiyah:
“و كثير من اهل الكلام وكثير مما ينصره لا يكون عارفا بتحقيق دين الاسلام في ذالك, ولا ما جاءت به السنة ولا ما كان عليه السلف. فينصر ما ظهر من قولهم بغير الماخذهم اللتي كانت ماخذهم في الحقيقة. بل ماخذ اخر قد تلقاها عن غيرهم من اهل البدع. فيقع في كلام هؤلاء من التناقض والاضطرار والخطء”
)Banyak dari para Teolog [juga lainya] tidak memahami berbagai pendapat yang mereka dukung itu, tidak memahami hakekat agama Islam dalam masalah yang dikaji itu, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun yang bersumber dari Sunnah Nabi saw.; juga tidak memahami pendapat generasi Salaf, mereka hanya mendukung produk pemikiran kelompok yang mereaka dukung tanpa mengetahui dari mana pengambilan kesimpulan dan metodologi yang dipakai untuk sampai pada hakekat permasalahan itu. bahkan mereka mengambil pendapat dari kalangan ahli bid’ah (heterodoks), sehingga kesimupulannya banyak yang kontraditif, ambigu dan bahkan keliru).[34]
E. Pendekatan Analitis.
- Pendekatan Semantik
Semantik didefinisikan sebagai: “Bagian dari Ilmu Bahasa yang mengkaji tentang makna.” Toshihiko Izutzu misalnya, mendefinisikan Semantik, sebagai ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna.[35] Analisis Semantik digunakan dalam kerangka untuk menganalisa istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan (paradigma), yang akhirnya sampai kepada pengetian konseptual.[36] Istilah–istilah kunci tersebut dikaji dengan teliti makna dasarnya terlebih dahulu, agar diketahi relasi makna dasar dengan kata kunci suatu konsep yang dikaji itu.
Istilah Kata Kunci dimaksudkan sebagai konsep pokok yang tampaknya memainkan peran menentukan dalam peruntukan suatu pandangan (vision).[37] Sebagaimana diketahui bahwa kata-kata atau konsep di dalam al-Qur’an itu tidak sederhana, kedudukannya saling terpisah, tetapi saling bergantung dan menghasilkan makna kongkret, yang justru dari seluruh system hubungan yang bervariasi itu, pada akhirnya menghasilkan keteraturan yang sistematik.[38] Kata-kata kunci itu semacam kristalisasi dari berbagai macam sisi sehingga membentuk suatu visi konsep atau pandangan yang menyeluruh.
Sedang Makna Dasar (basic meaning) adalah makna yang melekat pada kata itu di manapun ia diletakan dan bagaimana pun ia digunakan. Ia tidak pernah mengalami perubahan makna dalam system apapun ketika itu digunakan.[39] Suatu makna dapat berubah baik kepada makna yang lebih sempit atau kepada makna lebih luas karana adanya hubungan dengan kata yang mengiringinya; atau dalam konteks tertentu makna suatu kata bisa berubah karena berhubugam dengan kata yang lain tanpa harus kehilangan makna dasarnya. Inilah yang disebut dengan makna relational .
Dari mana memperoleh makna dasar suatu kata kunci dalam suatu konsep ? Toshihiko Izutsu dalam bukunya yang lain memperjelas cara kerja (operasional) pendekatan semantik dalam mengkaji teks- teks keagamaan, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Definisi Kontekstual.
Defenisi Kontekstual yaitu defenisi yang menjelaskan suatu kata kunci secara langasung dalam konteks ayat tersebut secara verbal.[40]
Sebagai contoh adalah firman Allah berikut:“Bukanlah suatu kebajikan menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat, tetapi sesungguhnya kebajikan (birr) adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat, Kitab, dan kepada para Nabi dan menginfakkan harta yang dicintainya.” (QS. 2: 177)
Kata birr (kebajikan), pada ayat tersebut, dijelaskan secara langsung oleh kalimat berikutnya, sehingga definisi kontekstual dalam ayat tersebut. Kata birr di situ tidak dimaknakan sebagai kebaikan formal yang bersifat lahiriah, tapi yang dimaksud dengan birr pada ayat tersebut adalah ibadah yang ikhlas karena Allah yang memiliki nilai intrintik dalam jiwa manusia sekaligus dapat dibuktikan dalam realitas. Inilah yang dimaksud dengan penjelasan secara langsung dalam suatu ayat.
b. Sinonim. (Persamaan makna kata).
Suatu kata kunci, dapat diketahui dan dimengerti artinya melalui penelitian kata-kata yang mempunyai arti yang sama. Yang oleh para ahli bahasa disebut sinonim.[41]
Suatu sinonim tidak berarti memiliki arti yang sama persis dan maksud yang sama pula pada kata padanannya. Ini sebagaimana dikatakan Muhammad Syahrur, bahwa sinonim (muradif) itu tidak ada, setiap kata mempunyai makna tersendiri yang berbeda dengan kata lainnya, yang sifatnya independen dengan sifat, karakter, maksud, nilai, muatan ekspresi dan sebagainya, yang berbeda-beda dalam setiap lafadnya. Yang dianggap oleh sebagian orang sebagai sinonim, hanyalah kemiripan saja. Namun esensinya tidak sama persis, tapi berbeda-beda maksud dan penekanannya. Memang kemiripan tersebut dapat memperjelas kata-kata penting dalam suatu konsep tapi tida sama persis maksud yang dikehendaki oelh suatu lafad (kata).[42]
Penggunaan sinonim dalam al-Qur’an misalnya adalah firman Allah QS. Al-A’raf: 94-95:
“Kami tidaklah mengutus seorang Nabi pun pada suatu negeri (lalu penduduknya mendustakan Nabi itu) malainkan kami timpakan kepada penduduknya kesulitan ekonomi (al-ba’sa’) dan penderitaan (al-dlarra’), supaya mereka tunduk dan merendahkan diri. Kemudian kami ganti kesusahan (al-sayyiah) itu dengan kebaikan (al-hasanah) hingga keturunan dan harta bertambah banyak dan mereka berkata, “Sesunggunya nenek moyang kami pun telah merasakan pederitaan (al-dlarra’) dan kesenangan (al-sarra’).
Izutsu memberi komentar bahwa kata al-ba’sa’ dan al-dlarra’ digantikan pada kalimat berikutnya dengan kata al-sayyiah. Ini menunjukan bahwa kata al-sayyiah merupakan kata padanan (sinonim) dari kata al-dlarra’; yang sama-sama memilki arti jahat atau buruk. Dalam konteks tertentu dapat diberi arti sesuatu yang menunjukan makna seperti yang menyerupai kesulitan, kesengsaraan dan kesedihan[43]. Dengan demikian, suatu makna boleh jadi serupa, tapi tidak sama maksud dan isinya, tentu ada perbedaan penekanan dan muatan yang berbeda pula. Ibn Taimiyah sendiri berkomentar:
“كل اسم يدل على معنى من صفاته, ليس هو المعنى الذي دل عليه الاسم الاخر… كل عبارة تدل على صفة من الصفات اللتي يعبر بها المعتبرون وليس هو التكرير في شيئ”
“Setiap kata memiliki arti yang ditunjukkan oleh kata itu sendiri, yang memiliki sifat spesifik, di mana arti tersebut tidak bisa ditunjukan oleh kata yang lain … Begitu juga setiap ungkapan mempunyai karakter masing-masing dari berbagai karakter yang ada. Sebagaimana yang ingin diungkapkan oleh pembicaranya. Dan itu bukan sekedar pengungkapan (takrir) belaka.[44]
c. Antonim (lawan kata).
Suatu kata kunci dapat diketahui meksudnya melalui penelitian terhadap lawan kata (muqabalah, tadladud, antonim), dari kata yang dimaksud. Misalnya perbedaan antara kata al-khair dan al-hasanah, yang di dalam bahasa Indonesiamempunyai makna baik. Pada umumnya kata al-khair di-lawan-kan dengan kata syarr. Sedang kata al-hasanah di-lawan-kan dengan kata al-sayyiah. Apabila sudah dapat ditentukan makna yang tepat dari salah satu dari kata tersebut, maka makna yang lain dari kata tersebut akan lebih pasti dan lebih jelas, baik aspek arti maupun penggunaanya.
d. Penyertaan kata negatif: ”tidak”, لا
Suatu kata dapat diperjelas maksud, isi dan cakupanya, dapat diketahui dengan bentuk penyertaan kata negatif (al-nafy) pada suatu kata tersebut.[45] Misalnya konsep kata istakbara atau istikbar (sombong) dan derivasinya. Di dalam al-Qur’an kata istakbara mempunyai beberapa arti antara lain: sombong, angkuh, meremehkan, melakukan penindasan dan sebagainya. Lebih jauh, konsep istakbara bisa lebih diperjelas maksud, isi dan cakupannya dengan penyertaan kata “tidak” (laa) pada kata tersebut, sehingga menjadi kata la yastakbiru (tidak sombong). dalam ayat atau teks tertentu, dengan disertai kata negatif, dapat memperjelas konsep kata yang positif (yang tidak disertai kata laa dan yang sejenisnya).
Itulah Metodologi operasional Semantik modern yang dikemukakan oleh Toshihiku Izutsu, untuk mengetahui sutu konsep tertentu di dalam al-Qur’an melalui penjelasan sendiri, oleh ayat-ayat di dalam al-Qur’an dengan meneliti kata-kata kunci yang terdapat dalam teks-teks ayat al-Qur’an.
Ternyata dalam tradisi intelektual Islam pun telah diletakan dasar-dasar atau landasan teoritik pendekatan Semantik untuk mengeksplorasi suatu konsep dari teks keagamaan, baik di dalam al-Qur’an maupun di dalam Hadits Nabi saw. Izutsu pun dalan kajiannya tentang Islam menggunakan pendekatan Semantik ini, banyak dipengaruhi oleh konsep yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah. Sebagai misal adalah konsep utu al-kitab. Dalam konsep Izutsu, yang termasuk dalam konsep utu al-kitab adalah mancakup Agama Islam, Yahudi, Nasrani, Shabiin, dan agama-agama lain yang memiliki kitab suci.[46] Kesimulanya sama persis seperti yuang dikemukakan Ibn Taimiyah dalam bukunya Al- Iman.[47]
Ibn Taimiyah banyak menggunakan pendekatan Semantik ini untuk menemukan konsep Iman berdasarkan teks-teks al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. Misalnya Dia menggunakan analisa persamaan makna kata (muradif, sinonim) dan lawan kata (muqabalah, tadladlud, antonim) dalam menguji makna dasar suatu kata kunci dalam sebuah konsep. Ibn Taimiyah memberi contoh: 1). Benarkah makna kata al-iman adalah al-tashdiq (membenarkan). Ibn Taimiyah dalam meguji kebenaran makna tersebut, menggunakan makna muradif (sinonim) dari kata iman tersebut. Mengutip pendapat jumhur (mayorits) ulama’ dan Ahl al-Sunnah, bahwa kata al-iman sinonimnya bukan tashdiq, tetapi al-iqrar (pengakuan).[48]
2). Apabila ada orang yang membawa berita, kita mengungkapkanya menggunakan kata shadaqtu hu (aku membenarkanya). Dan bukan amantu hu wa amana hu (aku mempercayainya, dan percaya kepadanya).
3). Kata tashdiq digunakan untuk berita yang riel, kongkrit dan nyata (musyahadah) maupun yang tidak konkrit, immateral, supranatural, atau gaib. Sedangkan kata iman hanya digunakan untuk hal-hal yang gaib. Contoh: Thala’at al-syams aw gharabat (matahari terbit atau matahari terbenam), maka jawabannya, ”shadaq tu (aku membenarkan) atau kadzab tu (aku tidak membenarkannya). Tak ada ungkapan jawaban, aman tu. Oleh sebab itu, firman Allah, yu’minuna billah wa al-yaum al-Akhir, (beriman kepada Allah dan Hari Akhir). Di situ menggunaan kata yu’minu, karena kata tersebut digunakan dalam hal yang ghaib.
4). lawan kata (antonim) al-tashdiq adalah al-takdzib. Sedang lawan kata al-iman adalah al-kufr.
5). Menurut asal, makna kata al-iman adalah berakar dari kata al-amn (aman), lawan dari kata al-khauf (takut).[49]
Karena itu Ibn Taimiyah–seperti yang akan dikaji di belakang–menolak konsep Iman yang hanya cukup dengan pengertian al-tashdiq, sebagai unsur pokoknya, tanpa unsur yang lain, seperti unsur amal shalih dan sebagainya.
- Majaz
Ibn Taimiyah tidak membatasi hanya menggunakan perangkat persamaan makna kata (al-muradif) dan lawan kata (al-muqabalah) saja, tetapi piranti yang lain pun digunakan. Seperti makna umum (ma’na al-’am), makna khusus (ma’na al-khash), makna tak terbatas (ma’na al-muthlaq), makna kondisional/terbatas (ma’na al-muqayyad) dan mana lainnya, dalan mengkaji teks-teks atau konsep-konsep keagamaan. Di samping itu juga, dia mengkaji apakah suatu kata masuk katagori lafazh (kata) yang mempunyai makna yang sederhana atau denotatif (al-haqiqah) ataukah makna yang tak sebenaranya, konotatif (majaz). Bagi Ibn Taimiyah, persoalan ini sangat esensial untuk dikritisi, karena kelompok Murjiah misalnya berpendapat, bahwa Iman esensinya adalah pembenaran (al-tashdiq) dan bukan amaliah nyata, sebagai unsur pokok Iman. karena kelompok ini mempunyai teori bahwa, Iman yang berarti al-tashdiq, sebagai inti Iman. Sedang amal perbuatan (al-amal al-jawarih) bukan sebagai unsur hakiki Iman tetapi sebagai sebagai unsur mazaji (bukan pokok)-nya. Sehingga amal perbuatan lahiriah, bukan merupakan unsur inheren Iman seseorang. Perberbuatan yang baik, tidak akan memberi berpengaruh signifikan terhadap kwalitas Iman seseorang, baik dalam hal peningkatan atau penurunan Iman seseorang. Begitu juga perbuatan buruk, pelanggaran, amal perbuatan maksiat, dan lainnya, tidak akan berpengaruh negative terhadap penurunan Iman seseorang. Artinya Iman semua orang haikatnya sama, tidak ada bedanya antara iman-nya orang yang shalih dan orang yang jahat, imannya sama saja. Karena yang terpenting dari Iman adalah tashdiq.
Di atas disebutkan bahwa kelomopok Murjiah berpendapat bahwa amal perbuatan lahiriah itu majaz bukan hakikat. Apa pengertian makna hakiki dan kakna majazi itu?
a. Sejarah perkembangan majaz
Menurut Ibn Taimiyah munculnya istilah Majaz itu pertama kali muncul pada akhir abad ke-2 H atau awal abad ke-3 H, dan mulai terkenal pada abad ke-4 H.[50]
Orang yang pertama kali membicarakan masalah Majaz adalaha Abu Ubaidah Ma’mur Ibn al-Mutsanna.[51] Tetapi dia menggunakan istilah majaz bukan dalam pengertian majaz sebagai lawan dari istilah hakikat, tetapi sebagai majaz, dalam pengertian yang dikemuaan oleh Abu Ubaidah yaitu: Ma yu’abbiru bihi ‘an al-ayah (pengertian yang dimaksud oleh suatu ayat).[52]
Orang ke-dua yang menggunakan kata Majaz adalah Imam Ahmad, dalam karyanya al-Radd ‘ala al-Jahamiyah, (Penolakan Terhadap Faham Jamaniyah). Imam Ahmad menggunakan kata-kata inna dan nahnu. Tetapi majaz yang dimaksud Imam Ahmad adalah Majaz lughawi [53] yang digunakan Imam Ahmad sebagai rasa penghormatan (al-ta’zhim) kepada seseorang.
Para Ahli Tafsir, Ushul Fiqh, dan Ahli fiqh, serta Ahli Hadits, tidak menggunkan istilah majaz dan hakikat dalam karya-karya mereka. Begitu pula pada Salaf tidak menggunakan istilah tersebut. Asysyafi’i orang yang pertama kali mengarang kitab Ushul Fiqh yaitu kitab Ar-Risalah. Dalam kitab tersebut, Asy-Syafi’i tidak membahas masalah makna majaz dan makna hakiki.[54] Yang mempopulerkan istilah majaz adalah para teolog, terutama para teolog Mu’ tazilah[55] dan para teolog lainnya.
b. Apakah ada makna hakiki dan makna majazi itu ?
Abu Ishak al-Isfaraini berpendapat bahwa dalam bahasa apapun, termasuk di dalam al-Qur’an itu tidak ada majaz-nya.[56] Argumen yang diginakan adalah bahwa bahasa Arab, secara garis besar, setiap kata (al-lafzh) memiliki makna lebih dari satu, atau memiliki banyak arti, yang disebut dengan lafazh musytarak, di mana seseorang memungkinkan untuk menggunakan salah satu dari makna salah satu arti dari lafad tersebut.[57]
Sedang yang lain berpendapat, bahwa sebuah makna kata itu tidak bisa dikatagorikan sebagai makna hakiki (denotasi) atau makna majazi (konotasi) sebelum kata itu digunakan dalam suatu kalimat atau lainya. Bila kata tersebut tidak menggunakan makna yang sebenarnya (konotasi), berarti masuk kategori Majaz.[58]
Sementara yang lain berpendapat bahwa makna hakiki dan makna majazi itu ada, mereka berpandapat bahwa apabila ada makna suatu kata berubah dari makna semula karena ada indicator yang mangharuskan menggunakan makna yang lain, itulah yang disebut dengan makna majazi. Sedang apabila makna yang digunakan adalah makna yang sebenarnya maka disebut makna hakiki.[59]
c. Pendapat Ibn Taimiyah tentang makna majazi.
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa pembagian makna kata kepada makna hakiki dan makna majazi itu tidak riel, tidak permanen dan tidak ada kenyataanya (la haqiqata lahu). Pembagian terebaut tidak memiliki batasan (al-hadd) yang jelas, sebagai sesuatu yang distingtif (yumayyizu baina hadza wa hadza) dan definitif. Karena itu pembagian tersebut palsu dan tidak ada gunanya (al-bathil).[60]
Suatu makna menurut Ibn Taimiyah, baik itu hakiki atau majazi, bukan hasil dari suatu kesepakatan. Untuk menetapkan ini makna hakiki atau majazi, adalah berasal dari suatu ungkapan yang digunakan dalam pembicaraan antar perorangan (individu), kemudian suatu makna kata digunakan oleh yang lain sehingga tersebar luas dan banyak digunakan orang. Akhirnya makna tersebut dianggap oleh masyarakat sebagai makna yang sebenarnya dan sebagai makna mutlak bagi suatu kata.[61]
Alasan ke-2. Bahwa “pembeda” atau “distingsi” (al-fashl) yang pasti sebagai qarinah (petanda) pada suatu kata yang dianggap sebagai makna hakiki dan majazi, merupakan hasil rasionalisasi. Misalnya, “suatau perintah” itu bermakna wajib, sunnah atau lainya, apakah termasuk katagori hakikat atau majaz? belum ada suatu kesepakatan, bahwa perintah itu bermakna wajib, sunah atau lainya. Termasuk masalah katagori hakikat atau majaz.[62] Lafazh umun yang telah di-takhsis apakah termasuk hakiat ataukah majaz? juga tidak ada kesepakatan. Karena tidak ada batasan yang pasti. Inilah yang menyebabkan timbulnya perselisihan dalam menetapkan makna suatu kata, apakah termasuk makna hakiki atau makna majazi. Sehingga suatu kelompok menetapkan sebagai makna hakiki, tetapi yang lain menolaknya begitu seerusnya.
Argumen ke 3, sikap semaunya sendiri dalam memberi makna terhadap kata-kata kunci suatu konsep tanpa memperhatikan makna etimologis (al-lughawi), dan makna konseptual yang berlaku di masyarakat (al-urf) dan juga makna menurut Syara’. Yang dijadikan rujukan oleh para heterodoks adalah konsep-konsep baru yang datang dari luar tanpa memperhatikan tiga unsur makna di atas.
Dalam memberi suatu makna, Ibn Taimiyah sangat memperhatikan kata yang popular yang digunakan oleh masyarakat. Kapan suatu kata itu muncul? Digunakan untuk apa? Bagaimana situasi dan kondisi masyarakat waktu kata itu dipopulerkan? dan seterusnya. Sehingga penggunaanya tidak tercabut dari akar budayanya di mana kata itu digunakan. Kata Ibn Taimiyah.
“…فان العرب الذي يفهم كلام العرب يسبق الى ذهنه من اللفظ ما لا يسبق الى ذهن النبطى الذي صار يستعمل الالفاظ في غيري معانيها. ومن هنا غلط كثير من الناس, فانهم قد تعودوا ما اعتدوا. واما من خطاب عماتهم واما من خطاب علمائهم باستعمال اللفظ في معنى. فاذا سمعوه في القران والحديث ظنوا انه مستعمل في ذالك المعنى, فيحملون كلام الله ورسوله على لغتهم النبطية وعاداتهم الحديثة. وهذا مما دخل به الغلط على الطوائف. بل الواجب ان يعرف اللغة والعادة والعرف اللذي نزل به القران والسنة, وما كان الصحابة يفهمون من الرسول عند سماع تلك الالفاظ. فبتلك اللغة والعادة والعرف خاطبهم الله ورسوله, لا بما حدث بعد ذلك”
“…Sesungguhnya orang Arab merupakan orang yang faham terhadap ucapan yang mereka ungkapkan. Makna dari kata tersebut lansung merasuk ke dalam perasaan mereka, di mana hal tersebut tidak terjadi bila ada kata-kata “serapan“ [yang datang dari luar], di mana kata-kata tersebut tidak biasa digunakan. Dari sinilah munculnya kekeliruan, banyak orang yang memberlakukan kebiasaan yang bukan adat-kebiasaan yang selama ini mereka fahami. Kebiasaan itu kadang-kadang biasa diucapkan oleh para pengikut atau diucapkan sendiri oleh ulama-ulama mereka. Lalu mereka menggunakan suatu kata dengan makna menurut konsep mereka sendiri, sehingga para pengikut dan ulamanya itu menganggap bahwa makna tersebut yang digunakan pada kata itu. Lalu mereka menafsirkan firman-firman Allah dan sabda Nabi Saw berdasar konsep resapan tersebut dan berdasar budaya atau tradisi yang baru itu. Inilah yang menyebabkan kesalahan yang terjadi pada kelompok tertentu. Padahal dalam persoalan ini, memahami suatu kata-kata, wajib berdasarkan kepada pengetahuan suatu bahasa, kebiasaan atau tradisi di mana al-Qur’an diturunkan; dan sunah Nabi Saw disabdakan. Begitu suatu makna juga harus didasarkan pada bagaimana para sahabat Nabi memahami kata-kata Rasulullah saat diucapkan, ketika mereka menyimak kata-kata tersebut; juga adat serta tradisi di mana Allah dan Rasul-Nya menggunakannya, bukan berdasarkan dengan peristiwa yang baru.“[63]
Inilah makna dasar dari wahyu Ilahi, bahwa “setiap Rasul diutus dengan menggunakan bahasa kaumnya,” bertujuan agar mereka memahami dan tidak salah pengertian terhadap ajaran yang dibawa oleh para Rasul tersebut. Karena suatu ungkapan yang rasional, atau suatu ajaran yang benar, bila diungkapkan dengan bahasa yang tidak difahami oleh yang diajak bicara, tentu tidak komunikatif dan dapat menimbulkan kesalah-fahaman, sehingga maksud suatu pembicaraan tidak tercapai.
Faham baru yang muncul pasti ada, tetapi konsep-konsep yang baru tersebut, tidak serta merta diambil dan dijadikan sebagai paradigma baru sebagai suatu pendekatan yang diangap sebagai kebenaran mutlak, menggantikan konsep-konsep dan paradigma lama. Yang dikecam oleh Ibn Taimiyah, bahwa paradigma yang dikemukakan tersebut akan diterapkan secara serampangan, tanpa memperhatikan paradigma lama yang biasa difahami oleh orang, sehingga menghasilkan suatu konsep yang janggal (ghalath) karena tidak sejurus dan koheran, sehingga banyak kekeliruanya. Semestinya paradigma lama yang baik dari aspek etimologis, urfiyah masyarakat dan paradigma syar’iyah, harus dijadikan rujukan. Bukan dengan secara serampangan membuang yang lama dan menggunakan sesuatu yang baru, tanpa ada relevansinya sama sekali. Inilah yang dikecam oleh Ibn Taimiyah. Ia berkomentar demikian;
فانه اذا عرف المتكلم فهم معنى كلامه ما لا يفهم اذا لم يعرف, لانه بذلك يعرف عادته في خطابه. واللفظ انما يدل اذا عرف لغة المتكلم اللتى بها يتكلم وهي عادته وعرفه اللتى يعتادها فى خطابه ودلالة اللفظ على المعنى دلالة قصدية ارادية اختيارية. فالمتكلم يريد دلالة اللفظ على المعنى. فاذا اعتاد ان يعبر باللفظ عن المعنى كانت تلك اللغة. ولهذا كل من كان له عناية بالفاظ الرسول ومراده بها عرف عادته في خطابه وتبين له مراده مالا يتبين لغيره”
“Sesungguhnya orang yang bicara yang mengerti bahasa yang digunakannya, tentu dia akan memahami makna ungkapan yang diucapkanya. Hal tersebut tentu berbeda dengan orang yang tidak memahami ungkapan yang diucapannya, tentu tidak akan memahami maksud ungkapan tersebut. Karena tidak mengerti adat istiadat dan tradisi bahasa yang digunakan waktu bicara itu. Dengan posisi seperti ini, seseorang wajib mengetahui kebiasaan ungkapan yang digunakan waktu berbicara. Suatu kata (al-lafzh) hanya bisa dimengerti manakala dia mengerti makna bahasa yang digunakan oleh si pembicara, dia mengerti maksud, adat istiadat dan tradisi di mana kata itu diungkapkan serta makna (al-dilalah), tujuan (al-qashdiyah) penekanan (al-iradiyah) dan pilihan (al-ihtiyariyah) maksudnya. Karena setiap pembicara memiliki maksud dan arti tertentu saat bicara, dan di saat dia menggunakan bahasa tersebut; sesuai dengan kebisaan pengungkapannya. Oleh sebab itu setiap tokoh yang mempunyai perhatian terhadap penggunaan kata-kata (al-alfazh) Rasulullah saw dan maksudnya, harus mengetahui kebiasaan (‘adah) waktu Rasul mengungkapkanya, serta penjelasan yang dimaksud. Di mana maknanya tidak jelas manakala [merujuk] pada yang lain.”[64]
Ibn Taimiyah sangat memperhatikan aspek historisitas (al-tarikhiyah) perkembangan makna kata. Karena dari situlah Kalam Allah dan sabda Nabi saw dan sunnah Rasul dapat dimengerti. Karena ungkapan yang digunakan Nabi saw, bukan ungkapan bahasa yang berbeda dengan ungkapan yang digunakan orang-orang Arab waktu itu. Yang ditransformasi hanyalah maksud- dan muatan konsep-konsep-nya, yaitu dari paradigma paganistik ke paradigma tauhid. Olah sebab itu, Ibn Taimiyah mangharuskan bagi orang yang hendak mengetahui apa yang dimaksud dan dikehendaki Nabi saw harus memahami adat istiadat masyarakat Arab waktu itu.[65]
Dalam kajian Semantik modern, perkembangan sebuah bahasa memang mendapat perhatian serius. Karena dengan pendekatan Semanti Historis tersebut perkembangan konsep dan pandangan hidup masyarakat dapat diketahui. Izutsu membagi Semantik Historis menjadi dua macam: 1. Semantik Diakronik; 2. Semantik Sinkronik.
Semantik Diakronik adalah sekumpulan kata yang masing-masingnya tumbuh dan berubah secara bebas sengan caranya sendiri yang khas. Karena tidak setiap kata, bertahan pemakaianya dalam setiap generasi, ada kata-kata yang penggunaanya berhenti pada waktu tertentu, ada juga yang digunakan dalam jangka waktu yang lama. Akan muncul juga kata-kata baru yang sangat popular dan memulai debutnya dalam gelanggang sejarah dan seterusnya.[66]
Sedang Semantik Sinkronik adalah suatu kata yang telah melalui garis-garis batas historis dan masih tetap bertahan eksistensinya.[67] Tujuan Semantik historis adalah untuk melacak secara historis kata-kata tertentu yang berubah maknanya, karena perjalanan waktu.[68] Dalam sastra Arab, sastranya dibagi menjadi 3 (tiga) periode, yaitu : 1). Periode Pra Islam yaitu sebelum turunnya al-Qur’an yang terkenal dengan sebutan masa Jahilliyah; 2). Periode Turunnya al-Qur’an, yaitu masa turunnya al-Qur’an; 3. Periode pasca turunnya al-Qur’an. Setiap periode memiliki ciri tersendiri sesuai dengan pandangan hidup masyarakat periode tersebut. Misalnya kata-kata Pra Islam, memiliki ciri-ciri antara lain: 1). Semangat nomaden, yang diwakili oleh keolompok masyarakat badui (al-A’rab), masyarakat pedesaan; 2). Kosa kata urban, yang diwakili oleh kelompok pedagang yang sering berinteraksi dengan budaya “lain“, sehingga kosa katanya lebih kaya dan berfariasi; 3). Kosa kata relegius, yaitu kosa kata yang digunakan oleh orang yang telah mengenal agama; seperti masyarakat yang beragama Yahudi, Nasrani atau Sabiin.[69]
Pada periode turunnya wahyu, di mana pen-tasyri’-an masih berlangsung. Secara garis besar dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1). Periode Makkah (Makkiyah) dan (2). Periode Madinah (Madaniyyah). Di mana setiap periode memiliki ciri dan typikalnya masing-masing, karena nuansa dan tuntutan zaman yang berbeda, begitu juga tujuan dan sasarannya berbeda.
Sedangkan pasca formulasi syariah atau setelah selesainya wahyu al-Qur’an diturunkan, ditandai dengan munculnya pembebasan (al-fath) daerah-daerah baru, dengan budaya dan adat kebiasaan yang baru pula. Ketika bersentuhan dengan budaya lain. Dan perkembangan politik internal Islam, dengan munculnya intrik, dan friksi politik antara Kekompok (Syiah) Umayyah, Khawarij dan lain sebagainya, mempengarui perkembangan makna dan konsep kata. Begitu juga munculnya kelompok pemikiran yang berasal dari para ahli teologi, fikih, tasawuf, Filsafat dan lainnya, mempengarihi perkembangan makna dan per-istilahan baru dalam khazanah bahasa Islam.
d. Pengertian makna majazi dan makna hakiki.
Ada beberapa pengertian tentang makna hakiki dan makna majazi antara lain sebagai berikut :
“الحقيقة هو اللفظ المستعمل فيما وضع له.
والمجاز هو اللفظ المستعمل في غير ما وضع له.”[70]
”Hakikat adalah suatu kata yang maknanya menggunakan mana yang sebenarnya; sedang Majaz adalah suatu kata yang maknanya tidak menggunakan mana yang sebenarnya”.
Penggunaan makna majazi (makna yang tidak sebenarnya) adalah karena adanya penghalang (al-mani’ah) yang mengharuskan mengggunakan makna yang tidak sebenarnya. Penghalang itu ada kalanya berbentuk kata (al-lafzh) secara langsung dalam suatu susunan kalimat secara leterlek; tetapi secara hissiyah (parasaan), suatu kata bila diartikan dengan makna yang sebenarnya (al-haqiqiyah) tidak memungkinkan, sehingga kata tersebut harus diartikan dengan makna yang lain. Contoh lafad majaz adalah kata al-asad (macan, harimau). Dalam konteks tertentu, kata al-asad digunakan untuk menyatakan sebagai seorang pemberani. Kata al-himar (keledai, kuda), makna konotatifnya digunakan sebagai lambang orang yang bodoh. Oleh sebab itu ada yang berpendapat bahwa kalau seseorang berbicara atau menulis dalam bentuk teks tertentu misalnya, tandanya (al-qarinah) harus jelas, bahwa yang dimaksud adalah ini dan petanda tersebut tidak boleh ditinggalkan, atau diakhirkan dari susunan kalimatnya. Ada juga yang berpendapat bahwa penjelasan (al-bayan) apa yang dimaksudkan dalam kata tertentu, boleh ditinggalkan atau diakhirkan. Contohnya adalah firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 67:
øÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù’t br& (#qçtr2õs? Zots)t/
” Sesungguhnya Allah memerintah kamu agar menyembelih sapi betina”
kelompok ini berpendapat, bahwa perintah itu harus jelas dan langsung pada hal tertentu (al-muayyanah) dan aplikatif. Tetapi di situ Allah tidak menjelaskanya. Bagi kelompok yang tidak setuju, mereka berpendapat bahwa ayat tersebut memberi perintah bersifat muthlak yaitu artinya, obyek yang dimaksud, tidak terbatas pada sapi tertentu, tetapi bebas, sehingga sapi apa saja jika disembelih, maka perbuatan tersebut telah memenuhi perintah Allah. Sehingga tidak perlu lagi adanya penjelasan tentang ciri, tipe dan kwalifikasi tertentu yang sangat memberatkan itu.[71] Oleh sebab itu, suatu kata bila dimaksudkan sebagai kata yang bermakna majazi, harus dijelaskan dalam ungkapan tersebut melalui kata tertentu sebagai qarinah-nya.
e. Apakah di dalam al–Qur’an terdapat majaz?
Apakah di dalam al-Qur’an terdapat lafad majaz? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, secara garis besarnya ada dua pendapat, yaitu:
1). Bahwa di dalam al-Qur’an tidak terdapat lafad majaz. Kalau di dalam al-Qur’an terdapat lafad majaz, berarti di dalam al-Qur’an ada sesuatu yang tidak jelas (al-mubham), dan disembunyikan (al-khafiyy), sehingga tidak bisa difahami dengan benar. Padahal Allah dan Rasul-Nya menjelaskan, bahwa Allah tidak meninggalan persoalan sekecil apapun, baik di dalam Al-Qur’an atau Hadits Nabi saw, kecuali semuanya telah diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya.[72]
2). Di dalam al-Qur’an terdapat lafad majaz. Ini sebagaimana kdiketahui bahwa hakekata dan majaz terbatas seperti difinisi di atas, ada yang mendefinisikan sebagai berikut:
الحقيقة ما يفيد المعنى مجردا عن القرائن,
والمجاز مالا يفيد ذلك المعنى الا مع القرائن”[73]
”Hakikat adalah suatu kata yang maknanya bisa difahami maksudnya tanpa adanya qarinah, sedangkan Majaz adalah suatu kata yang tidak dapat difahami secara langsung, kecuali disertai ”qarinah”.
Dari definisi tersebut dapat difahami, bahwa ada kata yang yang secara esensial, tidak dapat difahami dan dimengerti maksudnya, kecuali dengan tanda atau dengan pemahaman yang mendalam terhadap makna yang dimaksud. Al-Qur’an sebagai bahasa Arab berarti di dalam terdapat ungkapan yang tidak jelas dan tidak dimengeti maksudnya oleh manusia, sehingga perlu adanya penjelasan yang menerangkan maksud dalam kata-kata tertentu di dalam al-Qur’an tersebut. Ada beberapa contoh di dalam al-Qur’an yang terdapat lafad majaz-nya, antara lain:
“sesungguhnya Kami menurunkan-nya pada malam Lailatul Qadar”
Dlamir (kata ganti) ”hu” di situ, termasuk lafad majaz, karena qarinah-nya tidak jelas, karena diletakkan secara terpisah (al-munfashilah).[74]
خذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها
”Ambillah dari sebagian harta mereka sebagai sadaqah, yang dapat membersihan dan mensucikan jiwa mereka” (Qs. Al-Taubah: 67)
Kata shadaqah disebut majaz karena perlu penjelasan (al-bayan) tetang berapa jumlah, ukuran, tata cara pelaksanaannya dan lain sebagainya.[75]
”…Dinding itu akan roboh…” (Qs. Al-Kahfi: 77)
Kata jidar (dinding) dianggap majaz, karena kata tersebut tidak punya iradah. Yang punya iradah hanyalah hayawan.[76]
Ibn Taimiyah sendiri dalam menanggapi persoalan majaz dan haqiqah ini, tidak berada dalam posisi ektrem, yaitu menolak sama sekali, tetapi dia menerima dengan syarat tertentu. Seperti kritikan yang dipaparkan di atas. Jikap pun diterima, dia tidak menggunakan istilah majaz, tetapi menggunakan istilah lain, seperti lafazh muthlaq (bebas, tak bersyarat) muqayyad (terbatas, bersyarat) mujmal (perlu penjelasan, batasan) bayan (penjelas) dan sebagainya.
Menaggapi contoh pada item 1 (pertama), Ibn Taimiyah menyatakan bahwa seseorang harus mengetahui situasi dan kondisi pada saat seseorang bicara, sehingga dia memahami maksud yang dikehendaki, dan tidak salah faham. Oleh sebab itu seseorang yang berbicara menggunakan kata-kata majaz, dia harus menjelaskannya pada saat bicara, tentang apa yang dimaksud dengan kata-kata yang dia anggap majaz itu.[77]
Pada contoh ke-2, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa jika suatu kata dianggap majaz, maka itu hanya boleh menggunakan lafazh mujmal, yaitu suatu kata yang memerlukan pada kata penjelas. Di mana penjelasanya (al-bayan) menggunakan kalimat sempurna atau dijelaskan dengan praktek-praktek yang dilaksanakan oleh Nabi Saw, atau kalimat lain yang sifatnya bediri sendiri.[78]
Sedang pada contoh ke-3, bahwa kata iradah (kemauan), hanya digunakan untuk hayawan (binatang). Ibn Taimiyah menyatakan bahwa kata tersebut: Iradah, banyak digunakan untuk menunjukkkan suatu kehendak tau kemauaan yang dilakukan oleh selain binatang. Contoh :
(Atapnya hendak jatuh)”السقف يريد ان يقع”,
(Tanah ini akan ditanami)هذه الارض تريد ان تحرث,”
(Baju ini akan dicuci)”هذا الثوب يريد ان يغسل,”
Dalam bahasa Arab, banyak kata yang memiliki arti ganda, bahkan lebih dari dua makna,yang disebut dengan lafazh musytarak. Makna yang membedakan hanyalah dalam hal penggunaan kata tersebut dalam konteks tertentu.[79]
f. Lafad mutlak (al-lafzh al-muthlaq) dan lafad muqayyad (al-lafzh al-muqayyad).
“المطلق ما دل على الماهية بلا قيد من القيود,
والمقيد ما دل على الماهية بقيد من القيود”
Lafazh Muthlaq adalah: Suatu kata yang menunjuk pada arti sesuatu yang tak terbatas. Sedang lafazh Muqayyad adalah: Suatu kata yang menujuk pada arti sesuatu yang sifarnya terbatas.[80]
Ibn Taimiyah banyak menggunakan konsep ini, dalam menilai cakupan muatan suatu konsep. Misalnya konsep Iman Islam. Ihsan, Birr (kebaikan) Taqwa, Dzanb (dosa) dan sebagainya. Konsep ”A” misalnya kita anggap sebagai lafazh muthlaq yang mencakup B, C, D, E, F. Maka kata tersebut sifatnya umum dan tidak terbatas, dan mencakup semua yang masuk ke katagori wilayah batasannya. Dalam semantik modern, konsep ini mirip dengan istilah Medan Semantik, yaitu sebuah pola hubungan antar kata-kata kunci dalam suatu konsep. Di mana satu kata kunci tidak benar-benar bebas, tetapi memiliki kaitan satu sama lainnya, dengan kata kunci yang lain. Sehingga secara keseluruhan tampak sebagai suatu system unsur yang saling tergantung dan sangat teratur.[81]
Menurut Ibn Taimiyah, suatu kata apabila menunjukan arti mutlak, maka semua unsur yang menjadi cakupan muatannya, harus masuk dalam konsep mutlak tersebut. Begitu juga sebaliknya, apabila suatu kata menunjuk pada arti terbatas (al-muqayyad), maka yang tidak masuk dalam batasan tersebut, tidak bisa masuk ke dalam kategori konsep tersebut.[82]
Ini seperti Qaidah Ushul Fiqh bahwa lafazh muthlaq tetap pada kemutlakannya dan Lafazh Muqayyad tetap pada kemuqayyadannya, bila terdapat perbedaan sebab dan ketentuan yang lain.
Namun bila lafazh mutlak dan lafazh muqayyad terdapat kesamaan sebab dan ketentuan hukumnya, maka lafazh yang mutlak harus diartikan dengan lafazh muqayyad, namun bila tidak sama dalam sebab dan ketentuan hukumnya maka tidak diartikan ke dalam lafazh muqayyad.
Ada satu catatan, yaitu perbedaan antara lafazh umum dan lafazh muthlaq. Kalau lafazh umum, itu mencakup semua unsur yang ada; tetapi bila lafazh muthlaq, hanya mencakup unsur-unsur yang terkenal saja.
g. Lafad mufrad (al-lafazh al-mufrad) dan lafad mujarrad (al- lafazh al-mujarrad).
Lafad mufrad (al-lafazh al-mufrad) dan lafad mujarrad (al- lafazh al-mujarrad) di sini, bukan sebagai lawan dari isim jama’, (al-ism al-jam’u), makna plural, banyak, lebih dari satu. Tetapi lafad mufrad, yang bermakna sebagai kata tunggal, sebagai lawan dari lafad murakkab (al-lafzh al-murakkab), yaitu kata majmuk.
Lafad mufrad (al-lafazh al-mufrad) adalah kata yang disebut sendirian, yang tidak menunjuk pada bagian tertentu sebagai maksud atau arti-nya. Bila suatu kata disebut sendirian (al-lafzh al-mufrad), maka muatannya mencakup semua katagori yang masuk ke dalam kata tersebut, karena tidak dibatasi oleh sesuatu batasan. Sebagai contoh, kata ”manusia” (al-insan, al-basyar), maka semua manusia, dari jenis bangsa, warna kulit, agama dan lain sebagainya, masuk dalam jenis manusia.
Sedangkan lafzh murakkab (kata majmuk), adalah suatu kata yang tersusun dari 2 (dua) kata atau lebih, yang memiliki makna tertentu, menurut batasan yang jelas.[83] Contoh: Kata Pejuang Kemerdekaan memiliki arti: ”Siapa saja yang berjuang untuk merebut kemerdekaan. Seorang dokter (tabib) yang mengobati pejuang kemerdekaan, dia masuk katagori pejuang kemerdekaan, karena dia ikt berjuang dalam kemerdekaan. Tetapi seorang petani, misalnya, dia tidak ikut berjuang dalam kemerdekaan, maka dia tidak masuk katagori tersebut, karena dia tidak pernah ikut dalam perjuangan kemerdekaan.
Ibn Taimiyah konsis dengan konsep di atas, bahwa setiap kata kunci yang ada di dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw, bila disebut sendirian maka semua katagori yang masuk dalam cakupan (scupe) konsep kata tersebut, maka semua katagori harus dimasukan dalam konsep kata tersebut, bila memang tergolong dalam cakupan konsep tersebut. Contoh kata al-shalih di dalam al-Qur’an, bila disebut sendirian (mufrad), maka para Nabi yang diutus Allah Swt. kepada seluruh umat manusia, masuk ke dalam katagori kata tersebut. Ini seperti do’a Nabi Ibrahim As, yang disebutkan di dalam al-Qur’an:
Éb>u ó=yd Í< $VJò6ãm ÓÍ_ø)Åsø9r&ur úüÅsÎ=»¢Á9$$Î/
(Wahai Tuhan-ku, berilah aku hikmah! dan pertemukan aku dengan orang-orang yang salih) (Qs. Al-Syu’ara’:83)
Terkadang Ibn Taimiyah menyebut lafazh mufrad ini dengan lafazh Mujarrad. Yang menunjukkan pada arti muthlaq, lawan dari lafazh muqayyad (makna terbatas).[84] Lafazh Mujarrad adalah kata yang disebut sendirian tanpa diiringi dengan kata yang lain (iqtiran) sehingga cakupannya luas, karena tidal dibatasi oleh batasan tertentu.
h. Dilalah (al-Dilalah).
Dilalah atau dalalah secara etimologis adalah: arti, maksud, atau tujuan. Sedangkan secara terminologis, dilalah adalah fahmu amr min amr, (memahami sesuatu berdasarkan sesuatu yang lain).[85]
Dilalah yang digunakan Ibn Taimiyah dalam kajian konsep Iman ini antara lain:
- Dilalah al-Talazumiyah
Dilalah al-Talazumiyah adalah sesuatu yang karena adanya sesuatu itu, yang lain wajib ada, dan meniadakan yang sebaliknya.[86] Teori Ibn Taimiyah ini adalah semacam teori ”sebab- akibat”, yaitu: Sebab adanya A maka B menjadi ada. Atau dalam istilah Ushul Fiqh didefinisikan sebagai berikut:
السبب هو ما يلزم من وجوده وجود الحكم ومن عدمه عدم الحكم”“
)Yang dinamakna dengan hukum “sebab“ adalah: Sesuatu yang karena wujudnya sesuatu, maka hukumnya ada, dan karena tidak adanya sesuatu maka hukumnya tidak ada). [87]
Contoh: Seseorang yang mencuri, akan dijatuhi hukuman potong tangan. ”Hukum potong” ada, karena adanya sebab ”pencurian”; sebaliknya, bila tidak ada pencurian, maka hukum potong tangan tidak ada. Atau dalam contoh yang diberikan Ibn Taimiyah: Karena adanya Iman pada diri seseorang, maka semua kewajiban dijalankan oleh orang tersebut, dan semua larangan ditinggalkannya.[88]
- Dilalah al-Muthabaqiyah.
Dilalah al-muthabaqiyah adalah: Sesuatu yang dengan adanya sesuatu itu, harus sesuai (muthabaqah) dengan realitasnya. Antara kata, pernyataan, atau konsep dengan realitas atau kenyataan harus sama. Contoh: