BISNIS DAN PEMUJAAN BERLEBIHAN TERHADAP KECANTIKAN


Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Da’wah

Dewandakwahjatim.com, Kualalumpur – Salah satu ciri dari peradaban modern adalah pemujaan yang berlebihan terhadap kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dan popularitas. Sampai-sampai, diadakanlah berbagai kontestasi dan perlombaan untuk memilih ratu-ratu kecantikan. Banyak tokoh agama dan budayawan telah memperingatkan bahaya kontes-kontes kecantikan semacam ini bagi kemajuan peradaban bangsa. Salah satunya adalah Dr. Daoed Joesoef, menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978-1982.
Dr. Daoed Joesoef menulis tentang tidak beradabnya kontes-kontes semacam itu: “… setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”

Itulah pernyataan keras Dr.Daoed Joesoef soal kontes-kontes ratu kecantikan, seperti ditulis dalam memoarnya “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran” (Jakarta: Kompas, 2006).
Daoed Joesoef tidak berlebihan. Masalah eksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan bisnis sudah banyak disorot pemerhati masyarakat. UGM Yogyakarta, tahun 2004, meluluskan sebuah Tesis S2, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku bertajuk: Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, karya Kasiyan, (Yogya: Ombak, 2008).

Deborah Lupton, dalam bukunya, Medicine as Culture: Illness, Disease and The Body in Western Societies (1994), seperti dikutip Kasiyan, mengungkapkan, bahwa tubuh perempuan dalam media massa menjadi alat yang sangat penting dalam berbagai proses social ekonomi, guna memberikan daya tarik erotis berbagai produk. “Di negeri kami, tubuh perempuan bukan milik perempuan. Dada dan paha sudah dijatahkan buat biro iklan dan wartawan,” tulis budayawan Ariel Haryanto.

Menganalisis begitu dominannya pemanfaatan tubuh perempuan dalam iklan, dalam Tesisnya itu, Kasiyan mencatat, “… maka setiap potensi micro desire yang ada pada tubuh dan diri perempuan, telah dimanipulasi serta dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga menjadi tanda-tanda, dan akhirnya menjadi objek komoditas.”
Lalu, mengutip, pendapat Piliang (1998), ia paparkan, “Di sinilah para kapitalis lewat salah satu mesin provit-itas terefektifnya, berupa iklan di media massa, akhirnya mengejawantahkan dirinya menjadi seperti sesosok ‘mucikari’, yakni menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan setiap rangsangan libido publik, demi mendapatkan nilai tambah yang sebesar-besarnya secara ekonomis.” (Kasiyan, hlm. 247-248).
Era industrialisasi kapitalistik yang menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi berusaha mengakitkan segala objek kecantikan dengan konotasi seksual. Lihatlah, begitu banyak perempuan cantik dan seksi dijadikan sebagai simbol produk-produk yang sama sekali tidak ada terkait dengan tubuh perempuan. Iklan ban mobil, cat pembersih mobil, ban mobil, cat dinding, dan sebagainya dipaksakan dibintangi iklannya oleh perempuan seksi. Artinya, segala sesuatu harus diseksualkan dan dikaitkan dengan libido.

Dalam perspektif inilah kita bisa melihat kegairahan para pebisnis terlibat dalam kontes-kontes kecantikan seperti Miss World. Kata panitia, Miss World menjadi ajang promosi budaya Indonesia, seperti sarung Bali dan karya-karya desainer Indonesia. Panitia itu benar, jika dilihat dalam perspektif upaya seksualisasi atau libidonisasi sasaran penjualan produk. Supaya calon pembeli produk terangsang syahwatnya untuk membeli, maka secara estetis-syahwati, produk-produk itu ditempelkan di tubuh perempuan yang sudah terseleksi kecantikannya melalui berbagai ajang kontes kecantikan.

Komodisikasi nafsu libido dalam bentuk pengendalian organ-organ tubuh perempuan untuk kepentingan pasar, telah mengakibatkan keberadaan perempuan sebagai sesosok insan – dalam istilah Michel Foucault dalam buku The History of Sexuality (1990) – yang mengalami “the death of reality”. Sebagai subjek, ia telah mati, karena dikendalikan oleh ideologi pasar. (Kasiyan, hlm. 249).
Kondisi ini mirip dengan fenomena ‘kematian akal’ manusia saat dicengkeram hawa nafsunya, sebagaimana digambarkan dalam al-Quran (QS 45:23). Orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai “tuhan”-nya, akan tersesat, tertutup mata hati dan telingnya untuk menerima kebenaran. Penglihatannya pun terhalang melihat yang benar. Dunia menjadi gelap. Yang terlihat dan dirasa hanya syahwat.
Dalam peradaban yang lebih menghargai syahwat dari pada logika kesucian jiwa dan taqwa, maka kontes Miss World menemukan bentuknya. Logikanya hanya satu: keuntungan materi dengan kemasan libido seksual. Meskipun mengusung jargon baru: beauty, brain, and behavior (3B), tetap saja, yang terpenting adalah “beauty”. Perempuan cebol, pincang, peyot – dengan prestasi intelektual dan seksual selangit – mustahil diberi peluang untuk melenggang di pentas Miss World. Sebab, secara seksual, ia tidak menarik.

Dalam perspektif inilah, media sponsor Miss World bisa dikatakan telah melakukan kejahatan kemanusiaan, karena melakukan proses “dehumanisasi” dan eksploitasi perempuan sebagai objek seksual. Dalam tesisnya, Kasiyan melukiskan fenomena ini: “… ketika perempuan cenderung distereotipkan secara sosial, bahwa nilai lebihnya itu hanya terdapat pada daya tarik seksualnya, dengan indikasinya adalah terletak pada kecantikan, kemulusan, kesegaran, serta kemontokan tubuhnya, maka tanpa disadari, akhirnya perempuan didorong dan bahkan ‘dipaksa’ untuk memenuhi tuntutan tersebut, jika ingin mendapatkan penghargaan dari masyarakat, yang didominasi oleh budaya patriarkhis. Pada sisi lain, untuk memenuhi tuntutan tubuh yang harus selalu tampak muda, segar, mulus, montok, menggairahkan, serta sederetan kualitas kesan citra artifisial lainnya tersebut, ia (perempuan) akhirnya menjadi korban stadium lanjut berikutnya, dari sistem kapitalisme… padahal dibalik semua itu, eksploitasi terhadapnya nyaris bersifat total, sehingga tubuh perempuan akhirnya terjerumus ke dalam apa yang dikatakan oleh Foucault, menjadi semacam power machinery yang harus selalu dieksplorasi, dibongkar, dan dirombak ulang. Bukankah perempuan akan selalu memeriksa dandanannya berkali-kali di setiap saat, hanya untuk sekedar melihat, misalnya, apakah alas bedak dan lipstiknya masih lengket atau mascara-nya sudah rusak. Oleh karena itu, di bawah kuasa ideologi patriarkhi yang terefleksi dalam representasi iklan di media massa tersebut, tubuh perempuan dieksploitasi secara sistemik, hanya untuk semata-mata menghadirkan dan memberikan gairah kenikmatan (jouissance).” (Kasiyan, 275-277).

Dalam perpsektif Islam, manusia adil dan beradab adalah manusia yang mampu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Sang Pencipta. Sebab, manusia itu ciptaan Tuhan. Bukan hanya pelangi saja yang merupakan ciptaan Tuhan. Manusia juga hamba Tuhan; bukan hamba hawa nafsu. Manusia tidak sama dengan binatang. Mari kita berpikir! Wallahu A’lam bish-shawab. (Kualalumpur, 16 Oktober 2022).

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *