PENDIDIKAN TAUHID ITULAH PENDIDIKAN ADAB KEPADA ALLAH

(Artikel ke 1.300)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusani.id)

Dewandakwahjatim.com, Depok - D alam acara Kajian Dakwah yang dilakukan secara daring oleh Masjid Salman ITB Bandung, Kamis (22/9/2022), seorang peserta bertanya, mengapa ada yang mengatakan, bahwa yang paling diutamakan dalam pendidikan adalah pendidikan Tauhid atau Pendidikan Aqidah. Bagaimana dengan gagasan untuk mendahulukan pendidikan adab. Apakah kedua pendapat itu bertentangan?

Saya menjawab, kedua pemikiran itu tidaklah bertentangan. Sebab, perintah untuk mentauhidkan Allah, dan tidak menyekutukan Allah, maka itu juga merupakan adab kepada Allah SWT. Justru hal itulah yang harus diutamakan sejak dini. Sebab, tauhid adalah pondasi bagi amal ibadah. 

Allah mengharuskan seorang manusia tidak menserikatkan Allah dengan apa pun. Tindakan menyamakan al-Khaliq dengan makhluk merupakan tindakan yang tidak beradab (QS 31:13). Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan manusia beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat beradab haruslah meletakkan al-Khaliq pada tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan disamakan dengan makhluq. 

Itulah adab kepada Allah SWT. Yakni, mentauhidkan Allah dan tidak melakukan tindakan syirik. Iblis merupakan contoh makhluk yang tidak beradab kepada Allah, karena Iblis tahu yang benar dan salah, tetapi justru membandel untuk mentaati perintah Allah SWT. Nabi Ibrahim a.s. pun turut terjun langsung menghancurkan patung-patung yang disembah oleh kaumnya.     Allah mengutus para nabinya dengan misi utama mengajak umat manusia untuk hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan thaghut. 
Ada berikutnya yang wajib dimiliki umat Islam adalah beradab kepada Nabi Muhammad saw yang juga merupakan manusia. Tetapi, beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia saja tidak diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus, diberikan gaji yang lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun kadangkala keliru. Orang berebut untuk menjadi Presiden  karena dianggap jika menjadi Presiden akan menjadi orang terhormat atau memiliki kekuasaan besar sehingga  dapat melakukan perubahan. 

Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya,  tentu saja adalah dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri tauladan kehidupan (uswah hasanah). Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw, maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama. 

Ulama adalah pewaris nabi. Maka, kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang benar-benar menjalankan amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su’). Ulama jahat harus dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati sebagai ulama.
Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan untuk para pengambil kebijakan lagi. Maka, sangatlah keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan penguasa. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan martabatnya. Manusia beradab dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa ulama yang palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat rujukan.


Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar seseorang mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syekh Wan Ahmad menyatakan : “Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis) perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau daripada segala adab dan hikmah.”
Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.


Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga merupakan jalan untuk meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama.


Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika manusia yang tidak beradab itu kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu.
Dengan adab inilah, seorang Muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya? Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab. Jadi, setiap Muslim harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia beradab. Seharusnya, program mencetak manusia yang berkarakter dan beradab ini masuk dalam program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan amanah sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.


Dalam pendidikan adab, pembangunan jiwa dan raga perlu lebih diprioritaskan. Sebab, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Karena itu, proses pendidikan jiwa bisa juga disebut “tazkiyatun nafs” (pensucian jiwa). Al-Quran surat asy-Syams menjelaskan, bahwa sungguh beruntung orang mensucikan jiwanya dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya. Karena itu, jika mau menjadi bangsa yang sehat dan kuat, bangsa Indoensia harus memprioritaskan program pembangunan jiwa bangsa ini. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 22 September 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *