Oleh M. Anwar Djaelani,
Dosen: ADI Jatim serta Menulis Artikel dan Buku
Dewandakwahjatim.com, Surabaya - Di negeri ini, A. Hassan (1887-1958) adalah ulama besar. Dia guru Persatuan Islam (Persis). Dia sangat kritis dan dikenal sebagai tokoh berilmu tinggi. Dia “Tajam Menulis dan Fasih Berdebat”.
Sebagai guru, A. Hassan sukses. Sekadar menyebut, Dr. Natsir adalah salah satu muridnya. Natsir ulama dan negarawan. Kecuali itu, Natsir juga dikenal sebagai pendidik, pemikir, intelektual, penulis, dan aktivis.
Sebagai penulis, A. Hassan produktif. Karya tulisnya puluhan. Tafsir Al-Furqan salah satunya.
Sebagai pemikir, jika perlu, A. Hassan melibatkan diri dalam sebuah polemik bahkan debat. Misal, dia pernah berdebat dengan Soekarno yang mengidolakan sekularisasi ala Mustafa Kamal Attaturk. Dia pernah berdebat dengan tokoh Ahmadiyah yaitu Abubakar Ayyub, pada 1930-an.
Jalan A. Hassan
Jalan dakwah A. Hassan terbilang lengkap. Dia bisa memanfaatkan semua peluang model dakwah. Dia bisa memberi nasihat yang baik dengan cara berceramah, misalnya. Dia mampu menyodorkan hikmah sehingga terbedakan antara yang haq dengan yang bathil lewat tulisan, misalnya. Bahkan dia tak gentar berdebat untuk menyuarakan kebenaran, dengan siapapun.
Perhatikan, misalnya, debat A. Hassan dengan Soekarno. Bahwa, terkait seruan Soekarno agar Indonesia memisahkan urusan agama dan negara, A. Hassan menyatakan dengan tegas; “Tuan Soekarno tidak tahu, bahwa orang Eropa pisahkan agama Kristen dari staat (negara, pen.) itu tidak lain melainkan lantaran di dalam agama Kristen tidak ada cara mengatur pemerintahan. Dari zaman Isa sampai sekarang, belum terdengar ada satu staat menjalankan hukum agama Kristen,“ terang A. Hassan dalam tulisan yang kemudian dibukukan dengan judul “Islam dan Kebangsaan” (baca Artawijaya, di https://hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2021/10/22/218512/polemik-a-hassan-natsir-soekarno-kemal-ataturk.html).
Memang, terutama di dakwah lewat tulisan, kita tak mungkin bisa meragukan kapasitas A. Hassan. Deretan karya tulisnya adalah bukti hidup. Benar, sekali lagi, dia punya “jam terbang” yang tinggi di bidang tulis-menulis.
Dengan pengalaman menulis yang panjang dan sebagian berupa kritik kepada pihak lain yang dimuat di media, maka sangat beralasan jika kita perhatikan nasihat-nasihatnya. Adapun nasihat yang dimaksud, khususnya yang terkait dengan tata-krama menulis kritis di media.
Beruntung, pada 2020 terbit buku A. Hassan berjudul “Hai, Anak Cucuku!” Buku setebal total 346 halaman itu menarik dan bermanfaat. Perhatikan misalnya, di halaman 212 ada judul “Jadi Pengarang”.
Di bahasan itu, A. Hassan memberikan pedoman yang berharga. Dia sampaikan hal-hal fundamental di saat kita harus mengritisi pendapat atau sikap seseoarang atau lembaga lewat media.
Lima Pegangan
Berikut ini, hal-hal yang harus diperhatikan oleh umat Islam, terutama yang memosisikan diri sebagai pengarang atau penulis. Pedoman dari A. Hassan ini praktis, mudah dipraktikkan.
Pertama; Mengarang atau menulis itu satu pekerjaan yang mulia dan sangat dihormati. Syaratnya, saat menulis sang penulis bisa berlaku adil (dalam berpendapat), sopan (di kalimat-kalimatnya), jujur (dalam menyampaikan ilmu) dan punya maksud baik untuk dan memperbaiki (kondisi kemasyarakatan).
Kedua; Seorang pengarang / penulis boleh mengritik perbuatan atau sikap (calon) tokoh yang tidak baik. Langkah ini perlu sebab si (calon) tokoh potensial dijadikan ikutan masyarakat yang tidak baik. Di titik ini ada dua “jalan”. Jika sekiranya kesalahan itu tak disengaja, di tahap awal sebaiknya kritik disampaikan dengan cara mengirim surat yang khusus ditujukan kepadanya. Berikutnya, jika kritik itu tidak memberi hasil, boleh langsung terbuka disampaikan di media. Itu berbeda jika si (calon) tokoh ternyata sengaja melakukan kesalahan di depan umum. Maka, tidak mengapa kalau kritik kita sampaikan langsung di depan umum seperti dengan menulis di surat kabar.
Ketiga; Seorang pengarang / penulis boleh mengritik terbuka di depan umum kepada suatu perkumpulan atau perusahaan yang melakukan kesalahan di depan umum. Kesalahan yang dimaksud adalah sesuatu yang merusak atau merugikan.
Keempat; Seorang pengarang / penulis boleh mengritisi jika menjumpai tulisan jelek atau salah yang sudah tersiar di surat kabar atau buku. Untuk hal ini, tidak harus didahului dengan mengirim surat khusus ke pihak yang salah, tapi bisa langsung dengan menulis di media dengan skala penyebaran minimal sama dengan yang kita kritisi. Bahkan, lebih baik lagi, jika skala penyebarannya lebih luas.
Kelima; Secara umum, pengarang / penulis harus bisa membantah pikiran-pikiran atau pendapat-pendapat yang tidak benar yang sudah tersiar. Untuk hal ini, lebih baik bantahan itu disalurkan lewat surat-surat kabar, asal dengan maksud dan cara yang sebaik-baiknya.
Jaga Hati
A.Hassan tak lupa menasihati secara khusus para pengarang / penulis. Pertama; Agar pengarang / penulis benar-benar ikhlas. Dia ingatkan, bahwa apa yang terkandung dalam hati seorang pengarang / penulis sering terasa di dalam kandungan tulisannya.
Meski si pengarang / penulis mengira dia sudah menulis dengan ikhlas, tetapi bagi orang yang ahli dalam urusan tulis-menulis tetap akan terasa juga maksud yang sebenarnya. Oleh karena itu, jaga hati. Jaga sikap ikhlas. Jika ikhlas yang menjadi energi kita dalam menulis, insya Allah semua akan menjadi mudah.
Kedua; Masih terkait yang pertama di atas. Hendaknya, pengarang atau penulis jangan memuji seseorang atau pihak manapun karena mengharap akan dipuji juga atau mengharap keuntungan. Jangan pula mengritik seseorang atau pihak manapun lantaran benci, permusuhan, atau pembalasan.
Siapa Penerus
Demikianlah, A. Hassan telah memberikan panduan. Lebih dari itu, A. Hassan telah memberi teladan lewat karya-karya tulisnya. A. Hassan sudah memberi contoh melalui debat, baik secara tertulis maupun secara langsung.
Alhasil, tugas kita adalah melanjutkan perjuangan A. Hassan. Perjuangan dalam membela agama Allah, termasuk lewat tulisan-tulisan (kritis) kita. []
Editor; Sudono Syueb