CATATAN SANTRI, AGAR ANAK HORMAT KEPADA GURU

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah

Dewandakwahjatim.com, Depok ,-  Tiga santri Pesantren At-Taqwa Depok -- Abdurahmaan Gymnastiar, Muhammad Ayaz Malik Asytar, dan Yusuf Sholih – membuat catatan menarik tentang pengamatan mereka terhadap jalannya ujian “micro teaching” di Pesantren At-Taqwa Depok.  Ujian akhir ini diperuntukkan bagi santri tingkat SMP. 
Menariknya, dari catatan para santri itu ditemukan satu konsep pendidikan yang unik. Bahwa, agar anak hormat kepada guru, maka mereka perlu mengalami langsung bagaimana susahnya menjadi guru. Ini konsep atau teori penting yang didapatkan oleh para santri di lapangan. 

Ketiga santri itu masih berumur rata-rata 15 tahun dan sedang menempuh jenjang pendidikan pesantren tingkat SMA (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization/PRISTAC), Pesantren At-Taqwa Depok. Berikut ini catatan mereka:


Pesantren at-Taqwa Depok memiliki tiga jenjang; yang pertama adalah jenjang Shoul-Lin al-Islami (setingkat SMP); lalu dilanjutkan dengan PRISTAC (setingkat SMA); dan yang terakhir adalah At-Taqwa College/ATCO (setingkat perguruan tinggi). Tiga jenjang ini bisa dibilang unik. Setiap jenjangnya itu hanya membutuhkan waktu 2 tahun.


Jadi ketika lulus dari Pesantren at-Taqwa atau belajar dari Shoul Lin al-Islami lalu lulus sampai jenjang ATCO, lulusan at-Taqwa sudah seusia murid tingkat SMA. Tetapi yang menjadi lain adalah kurikulum yang dipelajari. Di tingkat Shoul Lin, santri dipersiapkan kedewasaannya, di tingkat PRISTAC santri mencapai kemandirian sikap dan berfikir, dan di tingkat ATCO santri berupaya mencapai keunggulan.


Oleh karenanya, keunikan dari Pesantren at-Taqwa ini adalah bahwa untuk setiap kenaikan jenjang itu diadakan ujian, salah satunya dengan menyajikan paper atau mengajar. Pada jenjang Shoul-Lin itu ada istilahnya Ujian Komprehensif (UK) yang dilakukan dengan model Micro Teaching; sedangkan pada PRISTAC itu ada Presentasi makalah; dan terakhir yaitu jenjang ATCO itu ada presentasi skripsi di depan para Doktor.


Pada tanggal 4-5 Juli 2022 Pesantren at-Taqwa Depok mengadakan ujian untuk santri Shoul-Lin. Inilah yang disebut Ujian Komprehensif dengan model Micro Teaching. Ujian ini diikuti oleh para santri dari jenjang Shoul-Lin 1 sampai PRISTAC 2. Yang diuji adalah santri Shoul-lin 2 (kelas terakhir di Shoul Lin). Ujian ini dimulai dari jam 07.30 sampai 11.30 dalam tiga sesi. Satu pemateri diberikan waktu mempresentasikan artikel mereka selama 30 menit.


Micro Teaching sendiri adalah ujian untuk “memberi rasa” bukan sekedar “pengetahuan” kepada santri yang diuji. Agar, para santri “menenamakan rasa” menjadi seorang guru dalam diri sendiri. Pada ujian ini, santri diuji apakah mereka sudah bisa mengajar dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari dengan baik. Pada ujian ini bukan hanya dalam mengajarnya saja yang diuji, tapi metode dalam mengajar, sampai interaksi dengan para murid, dan juga bagaimana kemampuan mereka dalam menjawab pertanyaan yang beragam.
Micro Teaching ini adalah salah satu syarat para santri Shoul Lin bisa melanjutkan studi mereka ke jenjang PRISTAC. Micro Teaching ini bukan hanya memberi pengalaman sebagai guru tapi juga memberi pandangan baru: bagaimana sebenarnya sulitnya menjadi seorang guru. Saya sebagai santri PRISTAC pernah mengalami ujian yang satu ini. Pengalaman berharga itu mengajarkan saya untuk menghormati seorang guru. Sebab, ternyata mengajar itu tidak semudah yang selama ini dibayangkan oleh banyak orang.


Dalam mengajar itu yang harus dipikirkan bukan hanya materi yang disampaikan, tapi juga membutuhkan keikhlasan dalam mengajarkan ilmu. Metode juga suatu hal yang penting jika ingin mengajar, dengan metode atau cara mengajar inilah seorang guru itu bisa menyampaikan ilmu yang ingin ia amalkan.


Tetapi yang tertinggi adalah jiwa guru. Di zaman android, bahkan robot-pun “bisa mengajari manusia”. Yang tak dimilikinya tentu adalah jiwa guru itu sendiri. Maka mengajar sebetulnya adalah “sikap hidup yang komprehensif”. Dalam jiwa guru harus tertanam nilai-nilai keikhlasan, kemajuan, penghayatan terhadap ilmu yang disampaikan, dan ishlah. Semua nilai-nilai jiwa itu akan memancar dan berpengaruh bagi murid.
Dengan adanya ujian ini, kita berharap para santri bisa memahami dan memiliki pandangan juga pengalaman baru terhadap guru. Janganlah kita mengabaikan jika seorang guru itu sedang menjelaskan. Janganlah kita bertindak dengan kasar kepada guru kita. Guru sepatutnyalah memiliki jiwa yang besar, tanggung-jawab peradaban, dan masa depan bangsa yang dipikirkannya.


Pada tahun ini saya menjadi “murid” dan saya menyaksikan bahwa metode Micro Teaching bagi Santri setingkat SMP ini sangatlah bermanfaat. Selain melatih cara berbicara didepan umum, Micro Teaching ini juga memberikan pengalaman serta pengetahuan sebagai seorang guru: apa saja tantangannya dan apa saja nikmatnya. Saya memahami betul, bagaimana kedewasaan kami sebagai seorang santri sedang diuji.
Tentu menjadi hal yang tidak mudah bagi kita para santri untuk melakukan Micro Teaching ini. Bagaimana tidak. Setingkat SMP sudah disuruh untuk mengajar di hadapan santri yang sudah beda tingkat darinya. Inilah menjadi suatu latihan bagi santri Shoul-lin bagaimana sibuknya menyiapkan suatu hal yang penting untuk membuat hal ini menjadi luar biasa agar dapat ditampilkan di hadapan para santri.
Ustadz Ahda al-Ghifari, guru sejarah kami di pesantren dan salah seorang penguji, tidak hanya mengkritik, memberi saran, dan juga nilai kepada para santri. Ia juga menjelaskan, “… mengajar itu butuh yang namanya jam terbang (pengalaman). Pengalaman sebagai seorang guru akan terkumpul dan tertampil saat ia mengajar di kelas. Maka jika sejak santri sudah belajar untuk mengajar, dan istiqomah, maka kelak, insyaa Allah, akan menjadi guru hebat.”


Mengapa para santri perlu dilatih menjadi guru? Bukan hanya teknis mengajar, tetapi juga menjadi guru yang menjiwai aktivitasnya. Sebab, inti perbaikan pendidikan memang terletak pada perbaikan jiwa guru. Jiwa guru tidak mungkin akan baik, jika paham sekularisme dan materialisme masih mempengaruhi pemikiran para guru. Mereka masih menjadikan kehidupan dunia sebagai orientasi dan tujuan utama hidupnya. 
Banyak lembaga pendidikan Islam yang kini memerlukan guru-guru yang baik. Intinya, guru yang baik adalah akhlaknya baik dan menguasai ilmu yang diajarkannya. Pengalaman para santri ini bisa menjadi bahan masukan penting bagi pemerintah dalam meningkatkan kualitas para guru di Indonesia.  Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 8 Juli 2022).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *