Ketika Nabi Dituduh Korupsi dan Rusaknya Tatanan Sosial

Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pengurus DDII Bidang Pemikiran lslam, Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Ketika nabi distigma melakukan pengkhianatan (korupsi), maka bukan hanya pribadi nabi yang hancur, tetapi tatanan syariat yang dirancang Allah akan runtuh. Nabi bisa diibaratkan sebagai elite utama yang menjadi pusat kepercayaan atas ajaran yang akan disampaikan kepada umatnya. Oleh karena itu, ketika sosok nabi dituduh berkhianat, maka ajaran yang disampaikan tidak layak untuk dipercaya sebagai sumber kebenaran. Tidak layak dipercaya karena sosok nabi yang diyakini telah berbuat khianat. Ketika umat tidak percaya penuh atas ajaran agama yang dibawa oleh seorang nabi, maka hancurlah seluruh bangunan nilai ilahiyah yang telah tersusun secara rapi dan kokoh.

Korupsi Elite dan Daya Rusaknya

Tuduhan khianat yang disorotkan pada nabi jelas akan merusak gagasan besar yang ingin disampaikan kepada umatnya. Khianat yang dilakukan oleh nabi, sama saja akan mengubur misinya sendiri. Tuduhan pengkhianatan terhadap nabi tidak lain karena untuk menolak apa yang ingin disampaikan nabi.

Islam sendiri melihat bahwa tersebarnya pengkhianatan atau korupsi berakar dari ketidakpercayaan manusia tentang adanya hari kebangkitan. Penolakan terhadap hari kebangkitan itulah yang membuat manusia begitu mudah untuk melakukan kejahatan, termasuk berkhianat.

Al-Qur’an memaparkan bahwa Allah akan meminta pertanggung jawaban manusia atas segala perbuatannya di dunia. Demikian pula bagi mereka yang menyalahgunakan wewenang ketika menganbil barang yang bukan menjadi hanya. Korupsi merupakan penghianatan karena mengambil barang secara illegal. Korupsi umumnya dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan keluarganya. Dengan kata lain, korupsi merupakan pengkhianatan atas amanah (kepercayaan) yang diberikan kepada seseorang.

Nabi merupakan sosok utusan Allah yang terpercaya. dan tidak mungkin melakukan perbuatan yang nista itu. Namun nabi pernah mengalami tuduhan sebagai orang yang berkhianat. Hal itu termaktub sebagaimana firman-Nya :

وَمَا كَا نَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّ ۗ وَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizalimi.” (QS. Ali ‘Imran : 161)

Sebagai seorang yang memberi peringatan akan datangnya hari kiamat, maka nabi mengingatkan datangnya hari pertanggungjawaban atas perilaku khianat (korupsi). Maka tidak mungkin bagi nabi untuk melakukan korupsi

Dalam konteks ghonimah (harta rampasan perang), Nabi Muhammad merupakan satu-satunya rasul yang mendapatkan ghanimah. Kalau umat terdahulu, ketika nabi menang dalam peperangan maka ghanimah itu langsung dimakan api. Sementara ketika era Nabi Muhammad, ghanimah diberikan dan dibagi kepada para pihak yang telah ikut andil dalam peperangan.

Apa yang dilakukan Nabi merupakan representasi bagi seorang pemimpin untuk berlaku jujur, dan tidak melakukan perbuatan korupsi. Korupsi memiliki implikasi kerusakan yang luas sehingga hukumannya sangat berat. Kalau perbuatan judi, minum minuman keras, atau berzina dampaknya terbatas. Korupsi berdampak luas karena harta yang diambil seharusnya untuk kepentingan umum, namun dimanfaatkan oleh sekelompok kecil orang.

Nabi sungguh ingin kaumnya berpegang teguh pada nilai-nilai yang agung, termasuk dalam menjaga integritas dengan tidak melakukan perbuatan korupsi. Seorang pemimpin ketika bebas korupsi, maka dia bukan hanya menjaga diri dari perbuatan nista, tetapi dia telah menjadi agama ini. Menjaga agama ini tidak mungkin dilakukan tanpa didasarkan ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan yang sebenarnya inilah yang ditekan Allah sebagaimana firman-Nya :

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَ نْـتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali ‘Imran : 102)

Sebaliknya, ketika korupsi dipandang sebagai budaya dan sulit memberantasnya, maka disana tersebarlah kemaksiatan-kemaksiatan yang lain. Betapa tidak, ketika korupsi menjadi sebuah kebiasaan, maka pemimpin itu akan mudah untuk melakukan penggelapan-penggelapan lain yang jauh lebih massif. Ketika pemimpin sudah menganggap penyimpangan sebagai hal yang biasa, maka rakyat pun akan melakukan hal yang sama.

Ketika korupsi dilakukan oleh elite dan dipraktekkan oleh rakyatnya secara meluas, maka kerusakan telah tersebar secara meluas. Salah satu di antara kerusakan itu, akan muncul penindasan-penindasan yang dilakukan elite kepada bawahannya. Sementara bawahannya akan melakukan hal yang pada masyarakat secara luas. Ketika praktek penindasan ini berlaku, maka muncullah petaka-petaka yang jauh lebih besar dan akan menghancurkan masyarakat itu sendiri.

Surabaya, 7 Mei 2022

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *