PUASA RAKYAT dan PENGUASA

Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono, Nganjuk, Jatim)

Bulan Haram

Kalimantan Selatan – Dalam konsepsi Islam, ada 4 (empat) bulan haram (mulia) di antara 12 (dua belas) bulan dalam satu tahun, yaitu bulan Rajab, Dzul Qa’idah, Dzul Hijjah dan Muharram (QS. 9: 36).

“Haram” sendiri ada 2 makna pokok, yaitu (1). “Haram”, yang bermakna “larangan”, sesuatu yang tidak boleh dikerjakan; (2). “Mulia”, “terhormat”. Untuk makna yang pertama yaitu “haram”, ada dua konsekuensi bila aspek “haram” dikerjakan: Pertama, menjadi “hina” (lawan dari “mulia”) karena “jatuh” pada hal-hal yang “terlarang”; Kedua, menjadi “mulia” karena dapat “lolos” dari hal-hal yang “terlarang”. Jadi ada dua hal yang kontradiktif dalam kata “haram”, yaitu antara “haram” itu sendiri dan “kemuliaan”, tetapi berujung pada hal yang sama, yaitu “kemuliaan”.

Dalam tradisi budaya Nusantara lama, misalnya penyebutan “Hutan Larangan”, penyebutan tersebut karena “hutan larangan” memang “terlarang” untuk “dijamah” manusia. Ada dua akibat dari konsep “larangan” tersebut: Bila seseorang tidak menjamah hutan larangan, maka dia akan “selamat” dari “petaka” kutukan dan adzab. Karena dalam “larangan” terkandung aturan: “Pelanggar larangan akan memperoleh kutukan dan adzab.”. oleh sebab itu “larangan” harus dihindari dan dijauhi, tidak boleh dilanggar. Bila tidak terperosok dalam pelanggaran, maka akan menjadi person yang “mulia”, karena terhindar dari larangan dan “kutukan”. Sebaliknya, jika melanggar “pantangan” yang ada di “hutan larangan”, maka akan terkena “hukuman” dan “malapetaka”. Konsep yang sama juga disebutkan dalam Islam, misalnya penyebutan “Masjidil Haram”, penyebutan tersebut terkait erat dengan dua sisi yang berbeda namun saling terkait, yaitu “larangan”, atau “pantangan”, dan “kemuliaan”. Bila hal terlarang dilanggar di tempat yang “haram” tersebut, maka akan terjatuh pada perbuatan dosa dan kehinaan; dan manakala mengerjakan perbuatan yang diperintahkan di tempat yang di-“haram”-kan tersebut, maka akan mendapat “kehormatan” dan “kemulian” (haram) (dari akar kata yang sama: “h”, “r”, dan “m”). Ada aspek “ma’shiyah” (معصية) dan “tha’ah” (طاعة) dalam “haram”. Yang melakukan pelanggaran (ma’shiyah) akan dikenai hukuman, sedang yang taat pada aturan, akan diberikan ganjaran.

Dalam “Bulan Haram” misalnya ada hukum “larangan” berperang (qital) (QS. 2: 217, 191), pelarangan tersebut berkaitan erat dengan waktu-waktu tertentu untuk melakukan kebaikan bagi kemanusiaan dan peribadahan kepada Allah (Haji dan Umrah) dan menghindari seluruh perbuatan yang merusak kemanusiaan dan ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, perang dilarang pada bulan-bulan Haram.

Ramadlan: Penghulu bulan

Bulan Ramadlan walaupun bukan satu di antara Bulan Haram, namun bulan Ramadlan termasuk bulan paling mulia dan istimewa, karena bulan Ramadlan disebut sebagai “Penghulu Bulan” (Sayyidus Syuhur). Seperti yang dinyatakan dalam hadits:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَيِّدُ الشُّهُورِ شَهْرُ رَمَضَانَ وَأَعْظَمُهَا حُرْمَةً ذُو الْحِجَّةِ

Dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Penghulu bulan adalah bulan Ramadhan dan bulan yang paling agung kehormatannya adalah bulan Dzul Hijjah’.” HR. Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, V:310, No. hadis 3479;

Juga sabda Rasulullah saw.: “Penghulu segala bulan adalah bulan Ramadhan dan penghulu segala hari adalah hari Jum’at” (H.R. Thabrani dan Baihaqi).

Ada yang mengkritik validitas hadits di atas, misalnya Al-Ittihad al-Islami (Persis) yang mendlaifkan hadits tersebut di atas, berikut kutipannya:

“Meski diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat dan periwayat hadis) namun semua jalur periwayatan hadis itu melalui rawi-rawi yang sama, yaitu Khalid bin Yazid, dari Yazid bin Abdul Malik, dari Shafwan bin Sulaim, dari Atha bin Yasar, dari Abu Sa’id al-Khudri.

Dengan demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar tunggal).”

Hadis di atas dhaif dengan sebab kedaifan rawi Yazid bin Abdul Malik. Nama lengkapnya Yazid bin Abdul Malik bin al-Mughirah, Abu Nawfal an-Nawfaliy. Dia didaifkan oleh para ahli hadis, antara lain Ibnu Ma’in berkata, “Dha’if al-Hadits.” Ahmad berkata, “Munkar al-Hadits.” Abu Hatim berkata, “Dha’if al-Hadits, Munkar al-Hadits jiddan.” Abu Zur’ah berkata, “Munkar al-Hadits.” Al-Bukhari berkata, “Ahaditsuhu syibh laa sya’ia.” An-Nasai berkata, “Matruk al-Hadits.” (Lihat, Al-Jarh wa at-Ta’dil, IX:279; At-Tarikh al-Kabir, VIII:348; Mizan al-I’tidal, VII:245; Tahdzib al-Kamal, XXXII:196-200)

Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas: Al-Baihaqi berkata:

فِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ

“Padanya terdapat kedhaifan.” (Lihat, Syu’ab al-Iman, V:242)

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

وفي إسناده مقال

“Sanadnya diperdebatkan.” (Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, VI:122)

Terlepas kritik shihhatul haditsnya, kemulian sebuah “nama” dalam Islam, tidak karena namanya itu sendiri, an sich, tetapi terkait dengan “subtansi” (madah) dan “esensi” (mahiyah). Termasuk dalam katagori ini adalah kemuliaan yang ada di bulan Ramadlan, terkait erat dengan subtansinya, yaitu: Adanya kewajiban puasa, turunnya al-Qur’an, turunnya Lailatul Qadar, bulan “maghfirah” (pengampunan), bulan yang penuh berkah, pahala ‘amal shalih dilipatgandakan, doa diijabahi, setan dibelenggu, malaikat turun, pintu Surga dibuka, dan pintu neraka ditutup.

Jika bulan Ramadlan sebagai bulan istimewa, antara lain, karena adanya kewajiban puasa, maka dalam Islam, setiap ibadah tidak hanya bernilai formal-ritualistik, namun ada nilai instrinsik yang bersifat fungsional dan transformatif. Tujuannya, bahwa ibadah secara formal sebagai sarana (wasilah)-nya, sedang fungsionalnya adalah untuk menanamkan nilai kemanusiaan dalam diri manusia itu sendiri, sehingga ibadahnya bukan hanya sebatas pada kerangka saja, namun ibadahnya harus memiliki makna fungsional.

Selama ini, puasa hanya puasa rakyat, namun puasanya penguasa, tidak pernah disentuh. Karena selama ini, puasa hanya ditujukan untuk memperbaiki rakyat kebanyakan, bukan kaum “khawas”, yaitu para “imarah”, para pemimpin, para penguasa. Karena yang diceramahi, dikhutbahi, dikasih Kultum (Kuliah Tujuh Menit), hanya para “mustamiin” yang rata-rata berasal dari kalangan rakyat miskin, kaum pinggiran,kaum lemah. Sementara kaum penguasa, tukang perintah dan tukang buat peraturan, tidak pernah menjadi obyek ceramah, khutbah, kultum, dan lainnya.

Puasanya rakyat

Khutbah, himbauan, mau’idlatul hasanah, biasanya hanya ditujukan kepada khalayak umum, kalangan mustadl’afin, kaum tertindas, rakyat kebanyakan, rakyat kecil, rakyat jelata, orang faqir, miskin, gelandangan, pengemis, dan kaum terlantar, agar mereka berpuasa secara lahir dan batin; bukan hanya mulut, perut, dan nafsu saja yang harus puasa, batin pun disuruh berpuasa.

Realitasnya, rakyat kecil sudah terbiasa puasa. Ada yang puasa Senin- Kamis, malah ada yang puasa Dawud. Rakyat miskin sudah terbiasa lapar dan makan seadanya, ikan asin, lauk tahu atau tempe, sudah cukup. Kaum gelandangan sudah terbiasa makan dari belas kasihan, orang terlantar sudah terbiasa tidak makan seharian.

Kaum mustadl’afin sudah terbiasa ditindas, kaum pinggiran sudah terbiasa digusur kaum kaya dan elit penguasa. Kaum marjinal sudah terbiasa disingkirkan posisinya, kelompok tertindas sudah terbiasa berpuasa batinnya dan dikungkung kebebasannya, melihat kesewenang-wenangan penguasa dan kaum borjuis. Mereka terbiasa berjuang menegakkan kebenaran, keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Rakyat sudah biasa berpuasa dan mengekang nafsu, mereka sabar distigma sebagai intoleran, radikal, anti Pancasila, anti NKRI, anti kemajemukan, disebut kadal guru (Kadrun), dan kekerasan psikis dan fisik lainnya.

Rakyat sudah terbiasa bicara jujur, apa adanya, dan tidak terbiasa bicara bohong, berbuat baik untuk pencitraan, mengobral janji palsu. Itulah pusanya rakyat.

Puasanya penguasa

Sedang kalangan penguasa, para elit, kaum mutrafun, mustakbirin, jarang dan bahkan gak pernah disinggung-singgung untuk berpuasa secara lahir maupun batin, melakukan muhasabah diri, beristigfar atas tindakan sewenang-wenang, zhalim, dan semena-mena; tidak tilawah secara mendalam terhadap ayat qauliyah dan ayat kauniyah; tidak mau mengikat para syetan yang menggoda dan menjerumuskan kepada perbuatan korup, maksiat, dan haram; tidak pernah memohon kepada Allah untuk menurunkan para malaikat agar membawa rahmat Ilahi ke bumi; pintu yang mengarah ke surga dibuka lebar-lebar, pintu yang menyebakan masyarakat masuk neraka ditutup rapat-rapat.

Dalam berpuasa, pembiasaan melatih diri untuk tidak makan berlebih dan mengekang nafsu, agar tidak “thama’ “ (serakah). Puasa melatih diri melawan keserakahan dan ketamakan. Lah, Penguasa malah serakah kekuasaan. Sudah diatur maksimal 2 periode, malah minta 3 periode dan atau pemilu diundur. 2 periode itu sudah cukup untuk membuktikan diri mampu memimpin atau tidak, 2 periode penuh dengan kegagalan, malah minta 3 periode. Sudah tidak konstitusional, malah banyak menimbulkan masalah dan mafsadah. Lucu negeri Paradoks ini, orang gak punya malu lagi atas kegagalan dalam memimpin negeri.

Dalam puasa, dilatih jujur, misalnya tidak makan walau ada makanan, tidak “jima’ “ walau kepada istri sendiri. Saatnya para penguasa untuk jujur dan tidak berbohong kepada rakyat. Janji tidak impor [segala] macam kebutuhan pokok masyarakat, malah negeri ini kebanjiran barang impor. Menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi masyarakat sendiri, malah impor pekerja negara lain. Dengan “kartu sakti” segala masalah selesai, malah masalah tambah menumpuk. Kartu ternyata bukan penyelesai masalah.

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

“Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh (terhadap puasanya) walaupun ia meninggalkan makan dan minumnya.”

Puasa juga melatih “tepo seliro” (saling menjaga perasaan) terutama yang punya dan yang papa, yang puasa dan yang tidak puasa. Now, malah ada fikiran jungkir balik, “Orang puasa harus menghormati kepada orang yang tidak puasa, tidak melarang bagi yang tidak puasa di tempat umum.” Doeloe, “Orang yang tidak berpuasa menghormati yang berpuasa, dengan tidak makan di tempat umum seperti makan di warung secara terbuka.” Orang yang “melanggar” hukum seharusnya menghormati orang yang taat kepada hukum, bukan sebaliknya. Otak jungkir balik seperti itu, sering digaungkan oleh pemikir liberal, kiri, sekular, dan islamopobis.

Puasa melatih diri diri untuk merasakan perasaan yang sama, sehingga dilatih untuk berbuat adil. Di negeri Anta Berantah, penegakan hukum pilih kasih, suka memilih-milih siapa yang akan dikasih hukuman. Sama-sama “melanggar” hukum, seharusnya dihukum sama sehingga terpenuhi rasa keadilan. Sama-sama ada kerumunan, yang satu dihukum, yang satu dibiarkan. Sama-sama dapat “angpao” yang jumlahnya milyaran, yang satu dihukum, yang dekat kekuasaan bebas tanpa hukuman.

Dalam rimba hukum negeri ini, Penguasa hobi tebang pilih, yang dipilih untuk dihukum adalah para oposan dengan segala cara untuk menjerat dan menjerujikan mereka. Sedang para pendukung kekuasaan, dibiarkan berkata kotor, menstigma, menyebarkan rasa benci, mengadu domba, menyerang oposan, tanpa tersentuh hukum. Hukum hanya tajam kepada oposan, tumpul kepada kawan kekuasaan. Itu namanya kekuasaan yang jauh dari sifat “taqwa”.

Dalam puasa dilatih berkata baik dan menjauhi permusushan. Lagi-lagi, orang awam, masyarakat kebanyakan, kaum muslimin, dideskriditkan dengan stigma tidak toleran kepada yang tidak berpuasa, tidak dianggap humanis karena tidak membiarkan bebas orang makan di bulan Ramadlan.

Rakyat disuruh untuk memusuhi rakyat lain, bukan memberi penyadaran dan kasih sayang antar sesama anak bangsa, dituduh anti kemajemukan, anti kebhinekaan, anti agama lain, anti Pancasila, dan bahasa-bahasa lainnya yang tidak bersahabat, mengajak membenci, memusuhi, dan menghabisi. Lagi-lagi jauh dari nilai puasa yang tidak boleh menebar permusuhan.

Dalam puasa, kadang penguasa dan orang kaya, mengundang orang-orang fakir, miskin, dan anak yatim untuk buka bersama, alhamdulillah bila ikhlas, tapi terkadang hanya untuk framing dan pencitraan, agar kaum dlu’afa’ bisa menyaksikan kemegahan rumahnya yang mewah, kekayaannya yang melimpah, mobil mahal yang berderet,

Puasa identik dengan menahan nafsu makan, minum, dan nafsu bilogis. Sedikit makan, banyak berbagi, begitulah contoh Nabi saw.. Dalam kehidupan, yang banyak makan asam garam kehidupan adalah kekuasaan, bukan rakyat. Para penguasa, karena takut miskin, harta yang ditimbun tidak habis dimakan 7 (tujuh) turunan, bahkan kekayaan negara yang seharusnya diperuntukkan rakyat, dikorupsi, dimakan secara haram, baik melalui klaim kekuasaan maupun legalisasi hukum yang tidak benar dan tidak sah. Bahkan bumi dan seisinya, kalau bisa dimiliki oleh keluarga, klan, dan kelompoknya saja. Nafsu serakah rela menganeksasi hak-hak yang lain secara zhalim. Tidak salah sindiran K.H. Zainuddin MZ., “Bahwa para penguasa, bukan hanya makan nasi dan lauk pauk yang enak dan lezat, namun aspal pun diembat.” Di republik ini, “dana” untuk mencetak Kitab Suci al-Qur’an pun dikorupsi demi memenuhi nafsu tamaknya.

Ada nuansa yang tidak sedap dan bau busuk, kenapa tokoh pemegang kekuasaan takut berbicara, bertindak, dan bersikap benar? Kalau bicara “bahasanya tertata”, sopan, santun, tidak menyinggung sipa pun? Karena para tokoh kunci di negeri paradoks ini, “saling mengunci” rapat-rapat kelemahan, kesalahan, dan “aib” masing-masing. Sudah jamak di negeri ini, “negosiasi” perkara untuk kompromi. “Jika tidak, maka…” atau “Jika ya, maka …” Tiap tokoh saling menutupi rapat-rapat aib masing-masing selama masih bisa dikompromikan untuk memperoleh kekuasaan. Maka dalam kekuasaan tidak ada yang absolut, kecuali kepentingan itu sendiri. Jika “kepentingan”-nya bertemu, maka “jadilah barang” itu, ujar orang Medan.

Puasa melatih diri untuk memikirkan nasib manusia lainnya, terutama kesejahteraan yang lain. Apakah yang difikirkan penguasa kesejahteraan masyarakat? “Jauh api dari panggang”, masih jauh dari harapan. Kesejahteraan masih menjadi barang mahal di negeri ini, kebijakan dan peraturan perundang-undangan lebih membela kepentingan kekuasaan dan pemilik modal, daripada memihak kepentingan masyarakat banyak. Atau untuk membela kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk seluruh rakyat.

Membuat jalan pun, bukan jalan gratis rakyat yang diperpanjang, diperlebar, dan diperbaiki, malah Jalan tol yang jadi prioritas. Kalau jalan rakyat, gratis tidak berbayar, rakyat lancar melakukan transaksi ekonominya, sehingga rakyat sejahtera. Kalau jalan tol, berbayar dan hanya dipakai orang yang punya duit. Rakyat hanya jadi penonton saja. Membangun tanpa konsep ternyata tidak menyelesaikan masalah.

Dalam puasa pun dilatih untuk menebar kasih sayang kepada kaum papa dan lemah. Penguasa memandang kaum buruh, tani, dan sektor informal lainnya lebih dipandang sebagai masalah daripada sebagai bagian dari “kekuatan modal” atau “sumber daya” itu sendiri. Mekanisasi dari industri dikonsepsikan sebagai efisiensi, bukan sebagai “penolong” untuk menaikkan produksi demi kesejahteraan.

Dengan puasa, saatnya Nalar Sehat menjadi pondasi membangun diri dan negeri. Membangun tanpa didasari konsep nalar sehat untuk kesejahteraan rakyat, hanya akan membangun infrastrukur tanpa mensejahterkan kaum melarat. Shumu tashihhu!

Saatnya penguasa memberi contoh berpuasa, sehingga rakyat sehat dan sejahtera

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *