PENTING UNTUK MENJAGA IMAN, KENALI PEMIKIRAN TOKOH PERENIALISME

Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania
(Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Dewandakwahjatim.com, Jakarta – Tokoh filsafat perenial adalah René Guénon. Ia merupakan tokoh yang dianggap telah melahirkan kembali filsafat perenial di abad 20. Menurut Schmitt, penggagas filsafat ini adalah Agostino Steuco, seorang Neo-Platonis yang menulis buku berjudul De Perenni Philosophia. Guénon dilahirkan pada tahun 1886 di Blois, Perancis dan dibesarkan di lingkungan Katolik yang ketat. Ia disekolahkan oleh Serikat Yesus (Jesuits), sebuah ordo dari Katolik Roma yang mengabdikan dirinya untuk menyebarkan agama Katolik dan melayani Paus.


Guénon pernah mengenyam pendidikan di College Rollin, Paris, jurusan Matematika. Namun pada tahun 1905, ia memutuskan untuk meninggalkan pendidikan formal dan mendalami okultisme, yaitu kepercayaan terhadap hal-hal supranatural seperti ilmu sihir. Dalam biografi singkatnya yang ditulis Harry Oldmeadow juga disebutkan Guénon terlibat dalam beberapa organisasi rahasia seperti Teosofi, Spiritualis, Freemason dan perkumpulan Gnostik.

Tak lama setelah kematian istrinya, Guénon memutuskan untuk menetap di Kairo sampai kematiannya pada tahun 1957. Guénon pun bergabung dengan tarekat Shadhiliyyah dan berganti nama menjadi Abdul Wahid Yahya. Pemikiran Guénon dianggap sebuah protes terhadap modernitas dan menekankan pentingnya menghidupkan kembali tradisi primordial yang telah hilang dari peradaban Barat modern. Di antara tulisan Guénon yang terkenal adalah The Crisis of The Modern World (1927) dan The Reign of Quantity and the Sign of the Times (1945).

Filsafat Perenial kemudian mulai bersinar di tangan Frithjof Schuon. Bahkan, Schuon dinobatkan sebagai Messanger of The Perennial Philosophy. Ia telah menulis lebih dari dua puluh buku mengenai agama dan spiritualitas. Buku pertamanya berjudul The Transcendent Unity of Religions merupakan “masterpiece” di antara karya-karyanya dan telah diterbitkan di Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia. Buku inilah yang kemudian banyak dipakai sebagai rujukan untuk melegitimasi Pluralisme Agama dan pendidikan multikulturalisme yang kini marak dikampanyekan di dunia Islam, seperti di Indonesia.

Schuon dilahirkan di Basel, Swiss, pada tanggal 18 Juni 1907 dan ia meninggal pada tahun 1998. Ayahnya, seorang keturunan Jerman sedangkan ibunya berasal dari ras Alsatia, Perancis. Menurut Aymard, Schuon kecil hidup dalam budaya puitis dan mistis yang secara khusus diekspresikan melalui dongeng dan musik tradisional.
Schuon dikabarkan pada usia dini telah membaca buku-buku Goethe, Schiller, Heine dan juga Bhagavad Gita, Weda, serta buku Seribu Satu Malam yang didapatnya dari koleksi pribadi sang ayah. Ayah Schuon bukan seorang Katolik taat, namun ia dikirim untuk belajar di evangelical catechism. Di sana Schuon terkesan dengan guru pertamanya yang telah menanamkan prinsip-prinsip dasar Bible pada dirinya. Schuon kemudian dipabtis dan memeluk Katolik pada usia 14 tahun, setahun setelah kematian sang ayah.

Masa kecil Schuon, tulis Aymard, telah membimbingnya kepada tradisi Romantis Jerman, sehingga setelah dewasa, ia memiliki perilaku jaman pertengahan yang sopan dan menawan hati serta menyukai hal-hal mistis. Hossen Nasr mendukung pandangan Aymard akan kecenderungan Schuon terhadap hal-hal yang berbau ketimuran. Oleh karena itu, setelah menjalani wajib militer sebagai tentara Perancis selama satu setengah tahun, Schuon datang ke Paris dan bekerja sebagai designer sambil belajar bahasa Arab di masjid. Ia juga mulai memfokuskan diri untuk mempelajari metafisika dan tradisi mistis Timur.

Schuon sempat menyempatkan diri mengunjungi Guénon yang pada saat itu telah menetap di Kairo. Ia juga melakukan perjalanan ke Amerika pada tahun 1959 dan 1963. Disana Schuon berkesempatan melihat secara langsung kehidupan suku Indian di penampungan suku Sioux dan Grow di South Dakota dan Montana dalam upaya mempelajari kehidupan spiritual suku Indian tersebut.
Hampir seluruh hidup Schuon digunakan untuk pengembaraan spiritual walaupun ia tidak cendrung kepada salah satu agama atau kepercayaan. Menurut Stoddart, Schuon telah membaca karya-karya Guénon sejak berusia 17 tahun dan mulai berkorespondensi dengannya. Meskipun Schuon sendiri telah memiliki visi metafisik Platonis tentang Tuhan dan manusia, namun tulisan Guénon telah memfasilitasi Schuon dengan kosakata dan terminologi yang kemudian diekspresikannya melalui tulisan, puisi dan karya seni lainnya. Sebagaimana Guénon, Schuon dikabarkan telah masuk Islam dan memiliki dikenal dengan nama Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami dan menggagas lahirnya tarekat al-Maryamiyyah. Namun tidak banyak diketahui kapan tepatnya ia bersyahadat dan bagaimana sesungguhnya kehidupan keislamannya.

Inti dari pemikiran Schuon berkaitan dengan adanya kebenaran metafisis yang mampu mengungkap simbol-simbol agama. Doktrin Schuon membagi agama menjadi aspek eksoteris dan esoteris, atau aspek lahiriah dan batiniah. Eksoteris suatu agama merupakan bagian dari kehendak Tuhan dan diperlukan untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Namun tuntutan mutlak untuk mempercayai agama tertentu dan tidak kepada agama lainnya, tidak mungkin lagi dipertahankan. Hal itu disebabkan, kebenaran yang terdapat pada dogma agama bersifat terbatas dan merupakan pandangan yang didasarkan pada kepentingan pribadi.
Sedangkan esoteris, merupakan aspek metafisis dan dimensi internal agama yang bersifat universal. Tanpa esoterisme agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik.

Menurut Schuon, pandangan teologis yang bersumber dari wahyu pasti mengacaukan simbol, atau bentuk, dengan kebenaran sejati. Sehingga pengetahuan metafisis diperlukan untuk menyelami hakikat pada setiap doktrin dan simbol-simbol agama. Schuon berpendapat bahwa kebenaran metafisis yang didapat melalui “intelek” atau mata batin manusia, lebih tinggi kedudukannya dari pada sudut pandang teologis (wahyu). Metafisika dianggap memenuhi kebutuhan bakat intelektualitas manusia walaupun kemampuan ini hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Melalui pandangan metafisis, Schuon berkeyakinan bahwa semua agama pada dasarnya sama pada level esoteris karena menuju satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Konsep ini dikenal dengan the transcendent unity of religions atau konsep kesatuan transenden agama-agama.

Meskipun pandangan ini sekilas tampak menawarkan jawaban atas permasalahan manusia modern yang tidak berdaya dihadapan aturan-aturan sains dan kekuatan relativisme, namun pemikiran mereka sesungguhnya merupakan upaya sinkretisme agama yang membahayakan ajaran dan prinsip-pirinsip Islam yang murni.

Ajaran spiritual Perenialis bertentangan dengan akidah Islam karena menganggap semua agama dapat memberikan jalan keselamatan bagi manusia. Schuon berkeyakinan semua agama dan kepercayaan mistis pada dasarnya bersumber dari wahyu Tuhan dan memiliki tingkat kebenaran yang sama. Konsep spiritual semacam ini juga tidak dapat diterima dalam paradigma keilmuan Islam, karena merupakan hasil spekulasi filosofis semata berdasarkan pengalaman “mistis” segelintir orang yang tidak jelas komitmen keislamannya.

Interaksi Guénon dan Schuon dengan ajaran Islam pun sangat terbatas, bukan berdasarkan pengkajian komprehensif terhadap sumber primer Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits dan karya-karya ulama yang mu’tabar yang diakui otoritas keilmuwan serta keluhuran akhlaknya. Sayangnya, gagasan spekulatif semacam ini ada saja yang mengikuti bahkan mengembangkannya. (23 Januari 2022).(Sudono Syueb/Humas DDII Jatim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *