Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII
Pada 18 Januari 2022, laman tempo.co menampilkan satu berita berjudul: “Kampus Merdeka Padatkan Kuliah 5 Semester, Nadiem Pahami Kesulitan Administratif.” Disebutkan, bahwa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengaku paham soal program Merdeka Belajar Kampus Merdeka sulit dilakukan secara administratif.
Tapi, dengan perubahan besar itu dia meyakini akan membuat perguruan tinggi akan jauh lebih relevan untuk dunia kerja. “Ini kenapa Kemendikbudristek merepotkan seluruh ketua program studi se-Indonesia,” kata Nadiem lewat siaran pers Kemendikbudristek, Senin, 17 Januari 2022 usai bertandang ke kampus Universitas Padjadjaran di Bandung.
Menurut Nadiem, kampus-kampus mendukung dengan berpikir secara cepat bagaimana dapat memadatkan mata kuliah dalam lima semester, karena pada tiga semester lainnya mahasiswa perlu belajar di luar program studi. “Alasannya karena tidak ada satu pekerjaan pun yang hanya membutuhkan satu disiplin, semua multidisplin,” ujarnya.
Nadiem mengatakan, dari riset diketahui bahwa selama ini hanya 15 persen lulusan yang masuk ke dunia kerja sesuai program studi kuliahnya. Karena itu dia menekankan pentingnya mengasah jiwa sosial yang dikembangkan pada program S1. Tujuannya agar setelah lulus, mahasiswa sudah setengah matang mencicipi budaya, agama, dan suku yang berbeda. “Dan saya optimistis, perguruan tinggi bisa melakukannya dalam 2,5 tahun,” katanya.
Esensi dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka menurut Nadiem, dapat dilihat dari delapan indikator kinerja utama yang diberikan kepada semua universitas di Indonesia. Terkait standar, indikator yang perlu dilihat adalah berapa jumlah mahasiswa yang belajar di luar kampus, baik di bidang profesional maupun di dunia akademi. Kemudian berapa jumlah dosen yang keluar dari kampus untuk mencari pengalaman.
Indikator kinerja utama lainnya adalah berapa banyak praktisi yang dibawa ke kampus untuk mengajar, berapa riset terapan yang benar-benar menghasilkan dampak nyata, berapa program studi yang melakukan kemitraan dengan pihak luar. Selain itu, berapa akreditasi internasional yang diperoleh, dan berapa persen mata kuliah yang penilaiannya berdasarkan proyek atau seminar case.
Nadiem juga mengajak mahasiswa untuk memahami bahwa angka bukan lagi menjadi hal penting, melainkan kemampuan berpikir efektif, mampu bekerja sama dengan orang lain, dan bernegosiasi. Kemampuan itu dinilai dapat membantu dalam menyelesaikan masalah. “Karena ketika anda keluar dari kampus, sudah tidak ada lagi pelampung, penyelamat, adanya itu hiu-hiu, ombak besar, dan cuaca tidak stabil,” kata Nadiem. (https://tekno.tempo.co/read/1551128/kampus-merdeka-padatkan-kuliah-5-semester-nadiem-pahami-kesulitan-administratif)
Pernyataan dan kebijakan Mendikbudristek ini penting kita cermati. Sebab, tampak, ini masih merupakan kelanjutan pandangan dan kebijakannya tentang pendidikan tinggi di Indonesia. Nadiem memang dikenal sebagai sosok yang berhasil mengembangkan potensi diri dan usahanya. Kesuksesan diri dalam bidang usaha itulah yang ingin ia terapkan dalam kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia.
Ingatlah kembali kata-kata Nadiem Makarim saat baru beberapa bulan diangkat jadi menteri. Saat hadir dalam acara pelantikan Rektor Universitas Indonesia (4/12/2019), ia menyatakan: “Lembaga perguruan tinggi merdeka dari berbagai macam regulasi dan birokratisasi dan birokrasi para pendidik dan dosen juga dimerdekakan dari birokrasi. Dan yang terpenting mahasiswa diberikan kemerdekaan untuk belajar sesuai kemauannya sesuai kemampuannya, sesuai interest dia. Lima tahun ke depan nggak akan nyaman sama sekali untuk berbagai macam institusi pendidikan. Tapi kalau mau perguruan tinggi kita makin relevan kita harus lakukan perubahan ini.”
(https://news.detik.com/berita/d-4810777/pidato-inspiratif-lengkap-mendikbud-nadiem-yang-buang-naskah-di-ui).
Kata-kata itu diucapkan Nadiem Makarim sudah lebih dari dua tahun lalu. Kalimah terakhir itu patut kita catat! “Tapi kalau mau perguruan tinggi kita makin relevan kita harus lakukan perubahan ini.”
Kebijakan kuliah S1 hanya 5 semester di kelas merupakan terobosan yang antisipatif terhadap tantangan zaman baru. Namun, yang tampak belum didiberikan oleh pemerintah adalah pemberian otonomi yang lebih luas terhadap dosen dan mahasiswa untuk merumuskan sendiri kurikulum pendidikannya.
Meskipun sudah memberikan kebebasan yang lebih luas, tetapi pemerintah masih belum memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada kampus untuk menjalankan pendidikan, sesuai dengan kreativitasnya sendiri. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah penekanan pada “kompetensi lulusan program studinya”; bukan pada standar proses, sarana, dan berbagai aspek formalisme yang terlalu membelenggu.
Dalam satu forum APTISI (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia), di Jakarta, saya sampaikan, bahwa sebagai wartawan dan dosen jurnalistik, menurut saya, untuk menjadi wartawan, tidak harus kuliah selama empat tahun. Untuk jadi wartawan, kompetensi yang diperlukan saat ini adalah: bisa menulis dengan baik, bisa berbahasa Inggris, dan punya mental yang baik.
Untuk menjadi wartawan profesional bahkan cukup kuliah selama dua tahun. Tetapi, untuk menjadi dokter, misalnya, mungkin perlu kuliah dan praktik selama 8 semester. Standarisasi memang diperlukan, tetapi sepatutnya diterapkan secara fleksibel. Jika seorang mahasiswa bisa menguasai komptensi kesarjanaannya selama dua tahun, maka ia bisa diberikan kesempatan untuk lulus lebih cepat.
Yang penting bukan berapa lama ia kuliah dan berapa banyak SKS yang sudah diambilnya, tetapi kompetensi apa yang sudah diraihnya. Menurut pakar manajemen pendidikan dari UPI Bandung, Prof. Nanang Fattah, dalam pendidikan yang penting adalah pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Proses pembelajarannya bisa fleksibel. Yang penting, SKL-nya tercapai. Yang penting bukan belajar berapa lama dan belajar apa saja. Tapi, lebih penting adalah lulusannya bisanya apa. “Pendidikan itu based on result, bukan based on process,” tegas Prof. Nanang Fattah, saat saya berbincang di kediamannya (28/1/2019).
Jadi, kebijakan kuliah 5 semester di kelas, patut disambut baik. Karena memberi peluang kreativitas yang lebih besar kepada Perguruan Tinggi. Tetapi, kita tunggu kebijakan berikutnya yang lebih berani, lebih rasional, lebih aplikatif, dan lebih prospektif.
Bagi kita umat Islam, maka kita wajib tetap menerapkan konsep pendidikan tinggi yang benar dan tepat untuk melahirkan para sarjana muslim yang profesional dan sekaligus berakhlak mulia. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 20 Januari 2022).