Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umuk DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Mataram – Pada hari Selasa (4/1/2022), saya menghadiri acara dialog dengan para tokoh umat Islam di Gedung DPRD Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Nama acaranya: Dialog tentang Islam dan Kebangsaan. Peserta terutama para aktivis dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB-PII), dan Wanita Islam..
Dalam kesempatan yang baik tersebut saya mengajak para tokoh di NTB itu untuk menggali khazanah sejarah Islam, khususnya di NTB. Kajian tentang bagaimana Islam diterapkan dalam sejarah perlu dilakukan, untuk mengambil nilai-nilai keunggulan yang pernah diterapkan di suatu daerah. Sebab, sebagai rahmatan lil-alamin, Islam telah terbukti dalam sejarah. Islam bukan hanya konsep indah yang utopis atau sekedar angan-angan.
Islam adalah agama wahyu yang dibawa oleh Nabi yang diutus untuk seluruh umat manusia, sampai Hari Kiamat. Karena itu, ajaran Islam yang bersumber al-Quran dan Sunnah Nabi saw, memerlukan pemikiran dan kerja cerdas dan bijak untuk diterapkan di tengah masyarakat.
Semua itu memerlukan pemahaman dan keyakinan yang kuat terhadap keunggulan ajaran Islam. “Keyakinan” itulah yang selama ratusan tahun diupayakan untuk dikikis atau dilemahkan oleh para pengkaji Islam dari kalangan orientalis. Tujuannya untuk melemahkan semangat perlawanan umat Islam terhadap kaum penjajah.
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya.
Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Seorang ilmuwan Belanda, yakni P.SJ. Van Koningsveld, telah menguraikan pemikiran dan sepak terjang Snouck Hurgronje. Melalui bukunya yang berjudul Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’.
Snouck mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo. Lebih ”hebat” lagi, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Ada yang menyebutnya juga sebagai ”Syaikhul Islam di Tanah Jawa”.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.”
Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar menjadi liberal dan modern
Sejumlah pihak berusaha mencitrakan Islam sebagai ’unsur asing’ dari bangsa Indonesia. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun, unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam. Ironisnya, pelakunya kini bukan lagi ’orang Bule’ seperti Snouck, tetapi kaum intelektual pribumi yang mungkin tanpa sadar mengikuti pemikiran yang melemahkan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Dalam acara di Gedung DPRD Kota Mataram itu, saya mencontohkan pelajaran di sekolah yang mendefinisikan ”negara maju” sebagai negara yang pendapatan per-kapitanya tinggi. Sementara itu, aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia, tidak dimasukkan sebagai kriteria kemajuan bangsa. Begitu juga dalam menilai kualitas lembaga pendidikan. Aspek akhlak mulia tidak diutamakan sebagai indikator keunggulan.
Akibatnya, anak-anak muslim tidak memahami keunggulan ”Negara Madinah” yang pernah dibangun oleh Nabi Muhammad saw. Padahal, ”Negara Madinah” adalah negara terbaik dalam penanaman iman, taqwa, dan akhlak mulia. Bahkan, saat ini pun, negara-negara yang dikatakan sebagai maju itu juga sangat serius dalam menanamkan nilai-nilai akhlak mulia, seperti kejujuran, kerja keras, disiplin waktu, dan sebagainya. Mereka menyebutnya sebagai pendidikan karakter.
Seorang guru yang hadir dalam acara itu mengakui bahwa selama ini, ia pun berpikiran seperti itu. Kemajuan itu diukur hanya dari aspek-aspek materi. Ia berharap, lembaga pendidikan Islam benar-benar serius dalam menerapkan konsep kemajuan dalam Islam.
Karena terjebak dalam alam pikiran sekulerisme dan materialisme itu, maka akan muncul sikap rendah diri. Aspek akhlak mulia – yang jelas disebut dalam UUD 1945 – tidak dijadikan sebagai indikator utama keunggulan di banyak lembaga pendidikan. Pencapaian sains dan teknologi lebih diutamakan. Padahal, adab atau akhlak mulia harus menjadi pondasi pencapaian sains dan teknologi. Tanpa landasan adab atau akhlak mulia, maka akan lahir ilmuwan-ilmuwan pintar tapi tidak beradab dan merusak masyarakat..
Kita harus mengakui banyak kelemahan dan kekurangan kita. Tetapi, itu tidak perlu membuat ”minder” atau merasa rendah diri. Iman, taqwa, dan akhlak mulia adalah indikator tertinggi dalam penentuan derajat kemanusiaan. Bahkan, dengan iman, taqwa, dan akhlak mulia, maka dalam waktu singkat, insyaAllah, ketertinggalan dalam bidang teknologi akan dapat dikejar.
NTB memiliki khazanah sejarah yang gemilang untuk membangun peradaban yang mulia, berdasarkan iman, taqwa, dan akhlak mulia. Kepada para peserta diskusi di Gedung DPRD Mataram, saya menyampaikan harapan, semoga provinsi NTB bisa menjadi lokomotif dalam kebangkitan peradaban mulia di bumi Nusantara ini.
Selasa (4/1/2022) malamnya, bersama Ketua Dewan Da’wah NTB, KH Muharrar, saya bersilaturrahim dengan Gubernur NTB, Dr. Zulkieflimansyah. Alhamdulillah, ada sejumlah gagasan dan langkah-langkah terobosan penting dalam bidang pendidikan yang dilakukan Gubernur NTB untuk kemajuan masyarakat NTB. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan pertolongan dan bimbingan-Nya. (Mataram, 4 Januari 2022).
Editor: Sudono Syueb/Humas DDII Jatim