KITA BUKAN BANGSA MUNAFIK

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum DDII Pusat

Dewandakwahjatim.com, Depok – Tahun 1951, Buya Hamka, menulis dalam sebuah risalah kecil berjudul “Urat Tunggang Pancasila”. Hamka menyebutkan, bahwa suatu bangsa, menurut kaum yang memperjuangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan mencapai derajat yang setinggi-tingginya, selama mereka masih memegang tiga perkara pokok dari Kemerdekaan, yaitu (1) Merdeka iradah, (2) merdeka pikiran, dan (3) merdeka jiwa.
“Kepercayaan inilah yang menyebabkan tidak ada ketakutan. Tidak takut miskin, dan tidak sombong lantaran kaya. Tahan seketika dapat sengsara, dan tahan pula seketika dapat ni’mat. Dan tidak pula canggung seketika jatuh dari ni’mat. Karena yang dikerjakan dalam hidup ini adalah bakti dan ibadah belaka. Dan kalau pokok ini yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah permulaan hilang kemerdekaan. Walaupun serdadu asing tidak ada di dalamnya lagi. Bahkan, pemerintahannya itulah yang akan asing baginya.” (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Media Dakwah, 1985, hlm. 28-29).

Para pendiri bangsa kita telah menegaskan, bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Para ulama NU yang bermusyawarah nasional di Situbondo tahun 1983 menegaskan, bahwa bagi umat Islam, sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu bermakna Tauhid dalam ajaran Islam.
Tentu, kita memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak bermakna sekedar mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi, pada saat yang sama, manusia hidup tanpa mempedulikan Tuhan. Apalagi, sampai berani melawan Tuhan. Lebih parah lagi, jika berani mengubah-ubah ajaran Tuhan, dengan tujuan untuk menyesatkan manusia.
Sikap hanya mau mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa – tetapi menolak untuk diatur oleh-Nya — seperti itu pernah dilakukan oleh makhluk durjana bernama Iblis yang telah dilaknat oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena membangkang atas perintah-Nya.
Berulang kali al-Quran mengingatkan agar umat Islam jangan sekali-kali mengikuti langkah Iblis dan setan atau terjebak dalam godaan setan, sehingga tersesat dari jalan lurus. Setiap muslim telah berjanji dan berikrar: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!”


Maknanya jelas, seorang Muslim hanya mengakui Tuhan yang Esa, yaitu Allah SWT. Ia menolak tuhan-tuhan lain. Ia berjanji untuk hanya menyembah dan taat kepada Allah, bukan taat kepada Tuyul atau makhluk apa pun juga! Ia pun mengakui, berikrar, bersaksi, bahwa Allah sudah mengirimkan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia, yaitu Muhammad saw, yang ajaran-ajarannya pasti menjadi rahmat bagi seluruh alam.


Betulkah ciri utama manusia Indonesia – seperti dikatakan budayawan Mokhtar Lubis – adalah munafik? Yakni, lain yang dikata, lain pula yang dibuat? Kita jawab,”Tidak!” Bangsa Indonesia adalah manusia-manusia jujur, dan bukan bangsa munafik! Setidaknya, itulah doa kita, agar kita semua terhindar dari sifat munafik.
Yang jelas, al-Quran begitu banyak menjelaskan ciri-ciri orang-orang munafik. Diantaranya, jika bertemu orang mukmin, mereka mengaku-aku beriman; dan jika bertemu sesama munafik, mereka pun mengaku bagian dari golongan munafik juga. Mereka hanya melakukan pelecehan dan penghinaan kepada orang-orang beriman. (QS 2:14).


Sikap dan perilaku jahat kaum munafik – yang secara lahir mengaku beriman, tetapi batinnya mencintai kekufuran – bahkan diabadikan dalam satu surat khusus, yaitu Surat al-Munafiqun (63). Mereka dikenal sebagai pendusta, mengaku-aku beriman padahal selalu memusuhi kaum Muslimin.


Kadang, mereka tak segan bersumpah-sumpah agar bisa dipercaya. Padahal, mereka selalu berusaha menghalagi manusia untuk mendekat kepada Allah. Juga, tak jarang penampilan lahiriah kaum munafik itu sangat memukau; ucapan-ucapan mereka pun banyak didengar orang. Jika diajak beriman, mereka bersikap angkuh, membuang muka, enggan menerima kebenaran. (QS 63:1-5).


Jika kita telah berikrar menjadi muslim, apa pun posisi dan kedudukan sosial kita, maka tidak relevan lagi, kita berdiskusi, apakah Indonesia ini negara agama atau negara sekuler. Wacana bahwa Indonesia adalah “bukan negara agama dan bukan negara sekuler” tidak berlaku bagi seorang Muslim yang memiliki pandangan alam (weltanchaung/worldview) Islam. Sebab, di mana pun, dan kapan pun, seorang Muslim akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, yang cinta dan ridha untuk selalu berusaha mentaati ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepada kita melalui utusan-Nya yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad saw).
Islam tidak memaksa orang lain untuk menerima hidayah Allah. Iman dan kufur menjadi tanggung jawab diri masing-masing. Apalagi, kita semua, umat Nabi Muhammad saw, tugasnya hanya menyampaikan imbauan kebenaran kepada para pemimpin dan masyarakat. Semoga kita semua, bangsa Indonesia, berhenti melecehkan sila Ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa.
Semoga kita selamat dari sifat-sifat buruk kaum munafik yang secara sadar atau tidak telah berani melecehkan Tuhan Yang Maha Esa, dengan hanya mengaku-aku berketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dirinya membenci, melecehkan dan terus berusaha menyingkirkan ajaran-ajaran Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negaranya.


Semoga kita selamat; juga keluarga, sahabat, dan para pemimpin kita, dari sifat-sifat orang munafik itu. Sebab, di akhirat, orang-orang munafik akan ditempatkan di dasar neraka. (Depok, 28 Desember 2021).(Humas DDII Jatim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *