AL-GHAZALI: BANYAK MANUSIA BINASA KARENA SENANG DIPUJI

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dalam Kitabnya, al-Arba’in fī Ushūli al-Dīn, Imam al-Ghazali menulis: “Wa-aktsaru al-khalqi ahlakahum hubbub al-madhi wa-karāhiyatu al-dzammi” (Banyak manusia binasa karena cinta pujian dan tidak suka dicela).
Ungkapan Imam al-Ghazali itu sangatlah dalam maknanya. Pada umumnya, kita sebagai manusia, tentunya senang untuk dipuji, dan tidak suka dicela atau dicaci-maki. Bahkan, seringkali kita mempertahankan diri semaksimal mungkin untuk mempertahankan diri dari cacian, agar tidak jatuh martabat di mata manusia.
Padahal, jika seorang mendapat pujian, maka ia tidak mendapatkan pahala karena pujian. Sebaliknya, jika ia dicaci maki dan difitnah, maka statusnya terzalimi, dan ia pun mendapatkan limpahan pahala dari orang yang mencacinya. Bahkan, doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah SWT.
Cara pandang semacam ini hanya lahir dari orang-orang yang berhasil mensucikan jiwanya. Karena itu, pendidikan jiwa manusia adalah prioritas utama dari proses pendidikan kita. Dalam tataran bangsa, pendidikan jiwa bangsa harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, agar masyarakat dan khususnya para pemimpin memiliki jiwa yang sehat.
Di era kebebasan informasi dan maraknya media sosial saat ini, kita menyaksikan dan membaca begitu maraknya ungkapan caci-maki dan kebencian antar sesama. Kadangkala, caci-maki itu disampaikan tanpa memperhitungkan fakta yang sebenarnya. Begitu mudah cacian dilontarkan, hanya karena membaca judul berita online atau menerima kiriman media sosial yang belum dicek kebenarannya.
Yang lebih mengerikan, caci-maki itu dilakukan oleh sesama muslim, seperti tidak ada kekhawatiran bahwa caci-maki itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Karena itulah, dalam kondisi seperti ini, kata-kata Imam al-Ghazali itu sangat patut direnungkan dengan serius: “Banyak manusia binasa karena cinta pujian.”
Jangan sampai manusia gila pujian. Apalagi kalau itu menimpa para pemimpin. Pemimpin yang hanya senang dipuji, biasanya dijuluki sebagai pemimpin “ABS” (Asal Bapak Senang). Pemimpin tipe ini akan dikelilingi orang-orang yang hanya memuji dan enggan memberikan kritik. Akibatnya, pemimpin tidak mendapatkan gambaran realitas yang sebenarnya, sehingga akan menjerumuskan dirinya sendiri kedalam kehancuran.


Pada tahun 2016, Universitas Ibn Khaldun Bogor meluluskan sebuah disertasi berjudul “Konsep Pembangunan Jiwa menurut Hamka dan Implementasinya dalam Pembangunan Jiwa Bangsa”.  Disertasi itu ditulis oleh Dr. Abdul Aziz Kahar, anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Sulawesi Selatan.   

Disertasi ini sangat penting, bagi umat Islam, dan bangsa Indonesia yang sebagiannya sedang mencoba menerapkan gagasan “revolusi mental”. Jiwa adalah inti eksistensi manusia. Dalam bukunya, Pribadi, Hamka mengutip pepatah Arab mengatakan: Aqbil ‘alan nafsi, wa-ahsin fadhāilahā, fa-innaka bil-nafsi lā bil-jismi insānun. (Perhatikan jiwamu, dan sempurnakan keutamaan-keutamaannya; sebab kamu disebut manusia karena jiwamu, bukan karena badanmu!”).
Tapi, Islam adalah agama yang adil. Islam tidak menerima sikap ekstrim terhadap diri manusia. Jiwa dan badan wajib diperlakukan dengan adil. Peradaban modern kini, misalnya, terjebat dalam sikap ekstrim pemujaan badan dan aspek materi yang berlebihan.
Buya Hamka mencitakan pembangunan jiwa insan dengan tujuan terbentuknya jiwa merdeka. Caranya, dengan membersihkan jiwa-jiwa itu dari sifat-sifat tercela dan menghiasi dengan sifat-sifat mulia.
Al-Quran menjelaskan, orang beruntung adalah orang yang bersih jiwanya dan orang celaka adalah orang yang kotor jiwanya. Karena itu, perjuangan membersihkan jiwa (tazkiyyatun nafs), untuk membentuk jiwa merdeka sepatutnya menjadi program utama kaum muslim, juga bangsa Indonesia. Bukan badan saja yang harus sehat. Jiwa juga wajib sehat, terbebas dari penyakit-penyakit jiwa.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, memaparkan dengan sangat terperinci aneka penyakit jiwa yang merusak manusia (al-muhlikāt). Penyakit-penyakit itu harus didiagnosa, dianalisis, dan diobati. Jangan dibiarkan bersemayam, apalagi merajalela dan merusak seluruh tubuh. Diantara penyakit jiwa berbahaya yang merusak itu adalah: kekufuran, kemunafikan, kemusyrikan, al-riya’, sombong, membanggakan diri (‘ujub), dengki (hasad), cinta dunia, cinta kedudukan, dan sebagainya.
Orang yang cinta kedudukan dan gila pujian sejatinya memang sakit jiwa. Ia harus menjalani pengobatan serius, melalui proses tazkiyyatun nafs atau mujahadah ‘alan nafs. Penyakit jiwa lainnya, seperti sombong dan dengki adalah penyakit turunan (Iblis).
Konon, penyakit ini banyak menghinggapi kalangan intelektual. Penyakit ini juga terus mengancam jiwa ulama dan tokoh agama. Sombong bisa muncul saat mampu mengalahkan lawan debat dari jamaah lain. Dengki, saat melihat ulama lain lebih banyak pengikut dan lebih populer. Sombong karena merasa serba cukup. Ini jelas sakit jiwa. Jika jiwanya sehat dan normal, ia sadar semua “kehebatan” yang diraihnya adalah anugerah Allah.
Al-Riya’, pun sebuah penyakit jiwa yang ganas. Tidak mudah menyembuhkan penyakit ini. Al-riya’ ini juga merusak proses ibadah. Normalnya, ibadah itu dipersembahkan untuk Allah SWT. Tapi, karena jiwanya terserang virus riya’, maka proses ibadah itu menjadi rusak. Ibadah dipersembahkan untuk mencari pujian makhluk. Ini jelas sakit jiwa. Pelakunya perlu terapi khusus.
Dan menurut Buya Hamka, jiwa yang bebas dari penyakit-penyakit itulah jiwa merdeka. Sebab, jiwa itu telah meraih tangga keyakinan dan kebahagiaan. Jiwa yang yakin dan rindu kehidupan abadi dan perjumpaan dengan Allah. Itulah jiwa merdeka. Untuk membentuk Jiwa merdeka, itulah tujuan utama pendidikan kita. (Depok, 4 Desember 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *