Ketika Cahaya Islam Dipadamkan Secara Kolektif

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Pengurus DDII Jatim Bidang Pemikiran Islam

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Menolak kebenaran secara kolektif merupakan ciri kekafiran. Kekairan merupakan upaya untuk melihat Allah. Oleh karena itu, orang yang berbuat kekafiran, pada hakekatnya melakukan pemadaman terhadap cahaya Allah. Saat ini tidak sedikit kelompok yang secara sengaja atau tidak sengaja telah mencoba Islam. Ketika mengatakan semua agama sama, menyebarkan nilai-nilai Islam sebagai Arabisasi, jelas sebagai ungkapan untuk melihat cahaya Islam. Nabi Muhammad menggambarkan Abu Jahal sebagai sosok yang melawan kebenaran dan wajib mengirimkan cahaya Islam secara totalitas. Dia tidak hanya melawan dakwah Nabi, bersinergi dengan tokoh-tokoh kafir untuk meredupkan kebenaran tetapi kebenaran.
Abu Jahal dan Totalitas Perlawanan


Kekafiran menunjukkan sikap perlawanan secara terbuka, dan hal itu tampak dari sikapnya yang selalu memastikan kebenaran. Abu Jahal merupakan sosok yang layak diketengahkan sebagai orang yang dakwah Nabi. Dia berusaha keras untuk mengerdilkan dan melihat Allah. Dia bersinergi dengan para pemuka Quraisy untuk menghinakan, dan mengancam setiap perkataan dan perintah Nabi Muhammad.
Sikap yang demikian ini tidak lepas dari ketokohannya sebelum kedatangan Rasulullah. Awalnya dia ditokohkan oleh masyarakat Quraisy. Dia memiliki kecerdasan dan kecerdikan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakatnya. Berbagai elemen Quraisy mempercayakan segala urusan Anda, sehingga dia dikenal sebagai manusia yang ditokohkan. Karenanya itulah setiap anggota masyarakat selalu meminta pendapatnya bila menghadapi masalah.


Kedatangan Rasulullah dipandang sebagai ancaman atas kepercayaan masyarakat yang demikian besar bagi Anda. Dia merasa kehadiran Nabi Muhammad akan meredupkan pengaruhnya. Oleh karenanya, dia mulai melakukan berbagai cara untuk menstigma buruk dari setiap apa yang dikatakan Rasulullah.
Ketika Nabi Muhammad mendakwahkan Islam dengan sikap lemah lembut pun ditentangnya. Alih-alih menghargai atau mengikuti seruan Nabi, Abu Jahal justru menunjukkan sikap keras kepala dan mengajak para pembesar Quraisy untuk mengikuti jejaknya. Setiap kali nabi datang mendakwahkan kebenaran, Abu Jahal selalu berada di garis depan untuk melawannya.
Karena sikapnya yang keras kepala inilah yang membuat hidayah jauh darinya. Peristiwa boikot menjadi salah satu contoh menjauhnya darinya. Hilangnya tulisan yang tertuang di dalam perjanjian yang terletak di Ka’bah, merupakan kabar dari Nabi yang berasal dari Allah. Hal itu tidak dibuat tergerak masuk Islam.
Rusaknya kertas itu bermula ketika 5 tokoh Quraisy (Hisyam bin Amr dari bani Luhay, Muth’im bin Adi dari bani Naufal, Zuhair bin Abi Umayyah, al Bukhturi bin Hisyam, dan Zam’ah bin Al-Aswad bin Muthalib) yang ingin digunakan aksi boikot itu. Mereka melihat kedzaliman orang-orang Quraisy yang memboikot orang-orang muslim dan keluarga bani Hasyim dan bani Abdul Muthalib sehingga terjangkit penyakit, dan tidak sedikit yang mati. Aksi untuk mengalahkan boikot itu menguatkan, ketika Abu Thalib membawa kabar bahwa Muhammad menyatakan perjanjian itu hancur hancur rayap. Ketika informasi itu dibuktikan, ternyata benar, dan kertas itu benar-benar telah dimakan rayap kecuali kalimat “Bismika Allahumma.”


Peristiwa lumatnya kertas perjanjian itu, tidak membuat Abu Jahal tergerak untuk mengakui kenabian yang terlihat di depan mata. Padahal Abu Jahal melihat bahwa Muhammad jauh dari Ka’bah selamat boikot. Alih-alih masuk Islam, Abu Jahal tetap melakukan dan perlawanan terhadap Nabi hingga akhirnya meninggal secara tragis saat perang Badar.
Sikapnya yang keras dalam menolak itu membuat kaum muslimin tidak suka dan tidak mendukung kebinasaannya. Abu Jahal yang sudah kelewat batas karena akal dan nalar sehatnya hilang ketika datang kebenaran. Kepintarannya justru mendorongnya untuk melakukan penghadangan terhadap dakwah Islam. Allah menggambarkan totalitas perlawanan orang kafir, hingga murka kepadanya, sebagaimana firman-Nya :

للَّهِ لَّا لۡبُهُۥ لۡإِیمَـٰنِ لَـٰكِن مَّن لۡكُفۡرِ ا لَیۡهِمۡ غَضَبࣱ للَّهِ ل
“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia percaya (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali tetap tenang sebaliknya orang yang dipaksa kafir percaya (dia tidak berdosa), orang yang melapangkan menyerahkan tetapi untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nahl : 106)


Pernyataan Allah tentang لۡكُفۡرِ ا (orang yang melapangkan dekat untuk kekafiran) layak diketengahkan guna menunjukkan adanya totalitas perlawanan untuk membunuh cahaya Allah. Sikap terbuka dalam menolak Islam seperti yang diperankan Abu Jahal menjadi ciri yang melekat pada masyarakat dan pemuka Quraisy saat itu.

Tuotalitas Kekafiran dan Penyebabnya


Al-Qur’an mengabarkan orang yang melakukan perlawanan dakwah yang disebabkan oleh kecintaan mereka terhadap kenikmatan duniawi atau ketakutan akan popularitas popularitas. Allah menggambarkan kepentingan duniawilah yang menjerat seseorang secara total melakukan perlawanan terhadap kebenaran. Hal itu digambarkan Allah sebagaimana ayat-Nya :
لِكَ ا۟ لۡحَیَوٰةَ لدُّنۡیَا لَى لۡـَٔاخِرَةِ للَّهَ لَا لۡقَوۡمَ لۡكَـٰفِرِینَ)
“Yang demikian itu karena mereka mencintai kehidupan dunia daripada akherat, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang kafir.” (QS. An-Nahl : 107).
Kecintaan terhadap dunia membuat bertahan dan takut kehilangan kekuasaan, pengaruh, dan popularitas. Bahk

an menggerakkannya untuk menolak setiap risalah kenabian. Padahal, Nabi Muhammad dikenal sebagai orang yang amanah dan tak pernah berkata bohong, dan Abu Jahal mengenal hal itu. Kesombongan telah menggerakkan dirinya untuk menghapus “stempel Amanah”, yang tertempel dari diri Muhammad, dari memorinya.
Sikap membabi buta menolak hal tersebut, membuat Allah tidak membiarkan penglihatan, penglihatan dan perhatian terhadap cahaya Islam. Allah mengabadikan pernyataan total itu sebagaimana firman-Nya :
“Mereka itulah orang yang hati, penglihatannya, dan penglihatannya tidak terkunci oleh Allah. Mereka itulah orang yang lalai.” (QS. An-Nahl : 107)


Abu Jahal merupakan sosok manusia terkunci mata hati. Karena fakta kebenaran yang disampaikan Nabi sudah dilihatnya, keagungan akhlak Nabi sudah dia dengar. Namun karena dia tertutup maka apapun yang disampaikan Nabi Muhammad ditolaknya, baik secara sembunyi maupun terbuka.
Apa yang tergambar dalam diri Abu Jahal bisa menimpa siapa pun ketika datang cahaya kebenaran, sikapnya tetap menolak Islam. Bahkan ketika datang hidayah, mereka justru melakukan perlawanan dengan berbagai pernyataan yang bertentangan dengan kebenaran itu. Mengatakan semua agama sama, tidak ada teks Al-Qur’an yang mewajibkan shalat lima waktu, Islam sebagai teroris, atau Islam sebagai agama yang membahayakan ideologi negara, merupakan contoh dan replikasi Abu Jahal di era milenial ini.

Surabaya, 8 Desember 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *