MERUMUSKAN PETA JALAN KEILMUAN PARA MAHASISWA

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dewandakwahjatim.com, Depok – Hari Ahad (28/11/2021), saya mengisi kajian keislaman yang diselenggarakan oleh para mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang. Nama acaranya: ”Undip Muslim Festival 2021.” Saya diminta membahas tema: ”Islam sebagai Jawaban Tantangan Setiap Zaman.”
Kepada para peserta, saya menyampaikan, bahwa Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Beliau diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia (QS 34:28). Ajarannya bersifat menyeluruh, abadi, dan sudah sempurna sejak awal. Islam bukan agama sejarah yang dibesarkan oleh sejarah, diasuh oleh sejarah, dan berkembang dalam sejarah. Tetapi, ajaran-ajaran Islam melintasi sejarah. Ajarannya tetap dan tidak berubah (tsawabit), meskipun ada aspek-aspek yang berubah (mutaghayyirat).
Karena itu, saya mengajak para mahasiswa itu untuk memahami ajaran-ajaran Islam dalam aspek normatif dan historisnya sekaligus. Islam memiliki seperangkat ajaran yang bersifat normatif. Tetapi, konsep-konsep ideal Islam itu bukanlah konsep yang utopis, yang hanya indah di atas kertas.
Konsep-konsep ideal Islam dalam berbagai bidang itu telah terbukti bisa diterapkan dalam sejarah, menjelma menjadi sebuah peradaban unggul selama ratusan tahun. Prof. Wan Mohd Nor dalam beberapa kali kuliahnya, menekankan pentingnya kita memahami sejarah peradaban Islam di berbagai pelosok dunia. Itu untuk memahami bagaimana ajaran-ajaran Islam itu diterapkan dalam kehidupan nyata beserta berbagai tantangan dan dinamikanya.
Dalam kesempatan itu, saya juga menekankan, pentingnya para mahasiswa merumuskan Peta Jalan Keilmuan; bukan hanya Peta Jalan Pekerjaan. Masalah keilmuan perlu dipahami dengan sangat serius oleh para mahasiswa muslim. Sebab, akar masalah umat adalah masalah ilmu. Krisis yang melanda umat Islam juga diawali dengan kekacauan ilmu.
Karena itu, para mahasiswa muslim perlu merumuskan Peta Jalan Keilmuan untuk 20 tahun mendatang. Tujuannya agar mereka menyiapkan diri menjadi ilmuwan-ilmuwan muslim yang akan memimpin masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Peta jalan pekerjaan dan karir perlu ditempatkan secara proporsional.
Jangan sampai para mahasiswa yang super cerdas keliru dalam merumuskan Peta Jalan Keilmuannya, sehingga potensinya yang besar, tidak bisa dikembangkan secara optimal. Akhirnya, ia tidak bisa menjadi pemimpin umat yang hebat, karena terjebak dengan rutinitas pekerjaan teknis yang kurang mengembangkan aspek intelektual dan keilmuannya.
Saya menyarankan para para mahasiswa yang super cerdas mengikuti Peta Jalan Keilmuan yang pernah ditempuh oleh para ulama dan tokoh-tokoh hebat seperti Buya Hamka, Mohammad Natsir, Jenderal Sudirman, dan sebagainya. Profesi-profesi sebagai guru, dosen, wartawan, aktivis LSM, dan sejenisnya, cukup memberikan peluang berkembangnya potensi intelektual dan keilmuan para sarjana.
Tentu hal itu dengan syarat, ia tidak menempatkan dirinya sebagai pekerja bayaran yang mekanistik. Banyak guru, dosen, atau wartawan yang akhirnya terjebak dengan rutinisme dan formalisme pekerjaan teknis dan administratif yang membuat keilmuan mereka tidak berkembang. Puluhan tahun bekerja sebagai guru, misalnya, tetapi keilmuannya tidak berkembang, karena terjebak dengan aktivisme yang terus berulang sepanjang tahun.


Inilah pentingnya para mahasiswa memahami benar soal konsep ilmu dalam Islam. Soal ”ilmu” adalah persoalan yang sangat mendasar dan sentral dalam ajaran Islam. Yang diajarkan pertama kali kepada Nabi Adam a.s. adalah ilmu tentang nama-nama benda (QS 2:31). Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw berkaitan dengan perintah membaca (Iqra’) dan menulis yang disimbolkan dengan ”pena” (qalam). Wahyu ini pun sudah berbicara tentang proses penciptaan manusia yang berasal dari ”al-alaq” (sesuatu yang melekat). Tetapi, sejak awal, sudah diingatkan, bahwa proses membaca dan belajar tidak boleh dipisahkan dari dasar keimanan.
Semua harus dilakukan dengan nama Allah (Iqra’ bismi rabbikalladzii khalaq). Karena itulah, tradisi ilmu dalam Islam sejak awal sudah bersifat ”tauhidiy”, tidak sekuler, tidak mendikotomikan antara unsur dunia dan unsur akhirat; antara ilmu-ilmu dunia dan ilmu akhirat; semua ilmu itu bermuara pada satu tujuan: yaitu untuk mengenal (ma’rifah) kepada Allah SWT dan mencintai ibadah kepada-Nya. Maka, Allah berfirman yang artinya: ”Ketahuilah, sesungguhnya tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah.” (QS 47:19).
Al-Quran memuat banyak sekali ayat-ayat yang mendorong kaum Muslimin untuk senantiasa meningkatkan keilmuannya. Bahkan, aktivitas sehari-hari, haruslah ditandai dengan aktivitas keilmuan atau yang terkait dengan ilmu. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Katakanlah, wahai Tuhanku, tambahkanlah ilmuku.” (QS 20:114).
Karena itu, al-Quran sangat menekankan, bahwa ada perbedaan antara orang yang berilmu dan yang tidak berilmu. Orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya. “Katakanlah, tidaklah sama, orang yang tahu dan orang yang tidak tahu.” (QS 39:9). “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu, beberapa derajat.” (QS 58:11).
Dan Allah pun mengecam keras orang-orang yang tidak menggunakan segala potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu, sehingga dengan ilmu itu mereka meraih hidayah. Orang-orang seperti ini, dalam al- Quran, disamakan derajatnya dengan binatang ternak. ”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai qalb tapi tidak untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7:179).
Jadi, begitulah pentingnya kedudukan ilmu dalam Islam. Hanya saja, patut dicatat, bahwa yang wajib dicari adalah ilmu yang bermanfaat. Yakni, ilmu yang membuat manusia semakin dekat dan semakin taat kepada Sang Pencipta. Bukan ilmu yang mudharat. Yakni, ilmu yang semakin menjauhkan dirinya dari Allah; ilmu yang merusak diri dan masyarakat. Untuk meraih ilmu yang bermanfaat, disyaratkan dua hal : niat ikhlas dan beradab dalam mencari lmu. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 28 November 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *