Oleh: Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dewandakwahjatim.com,Depok – Imam al-Ghazali (w. 1111 M) pernah mengingatkan bahaya ulama jahat bagi masyarakat. Jika ulama rusak, maka penguasa dan rakyat pun akan rusak. Karena itu,
salah satu materi wajib dalam dunia pendidikan adalah materi ajar tentang hakikat ilmu dan ulama.
Begitu banyak kitab tentang ilmu dan ulama yang ditulis oleh para ulama kita, seperti kitab Ta’limul Muta’allim karya az-Zarnuji, Adabul Alim wal-Muta’allim karya imam Nawawi, atau kitab al-Alim wal-Muta’allim karya Imam Abu Hanifah, dan sebagainya.
Sayangnya, kitab-kitab itu jarang sekali diajarkan kepada para pelajar dan
mahasiswa kita. Pentingnya tentang ilmu dan ulama itu bisa dimaklumi. Sebab, Rasulullah saw sudah mengabarkan: ”Ulama adalah pewaris para nabi” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah). Jika pewaris Nabi itu sudah rusak maka akan rusak pula masyarakat.
Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Maka, betapa bahayanya ketika bintang-bintang itu
tidak lagi mampu memberikan arah kepada umat manusia. Kerusakan ulama adalah
kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau
ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Dalam Ihya’ Ulumuddin, al-
Ghazali memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ’ulama dunia’.
Rasulullah saw bersabda: ”Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat.” (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebagai pewaris Nabi, mereka harus memiliki kemampuan ilmu dalam masalah risalah kenabian dan sekaligus menjadi
panutan dalam ibadah.
Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang
salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah
kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi – atau memposisikan diri — sebagai
ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang
memprihatinkan.
Imam al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, dengan makna “Menghidupkan
kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama
sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan aspek
niat dalam mencari ilmu, keutamaan ilmu, keutamaan ulama yang baik, dan bahaya
ulama yang jahat bagi umat.
Padahal, ketika itu, problema politik umat merupakan masalah yang sangat serius.
Tetapi, problematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar,
sehingga solusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama
2
ketika berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta
mengutamakan pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi
ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber
kerusakan bagi Islam dan umatnya.
Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama
ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga ilmu pengetahuan Islam dengan
baik. Bahkan Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh
dengan fitnah dan banyak orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah
saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan dibuat dengan sekaligus dari manusia.
Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Jika sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Jika pemimpin yang dibodohi itu ditanyai, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).
Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan
konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari
perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang
keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan selalu mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah.
Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, kita sedang memasuki era kekacauan ilmu (confusion of knowledge). Kekacauan ilmu inilah yang memunculkan
fenomena hilang adab (loss of adab) dan berikutnya memicu munculnya para pemimpin
palsu (false leaders). Untuk menanggulanginya, tentu saja, perlu memperbaiki ”ilmu”
yang sudah rusak, akibat proses.
Efitor: Sudono Syueb