KETIKA PEREMPUAN BARAT BALAS DENDAM MENUNTUT KEBEBASAN

Oleh: Dr. Adian Husaini(www.adianhusaini.id)

Dewandakwahjatim.com. Depok – Gerakan kebebasan di dunia Barat salah satunya dipicu oleh aktivitas penindasan yang
sistemik terhadap perempuan. Perempuan dipaksa harus tinggal di rumah untuk sekedar
”melahirkan” dan mengasuk anak. Sebagai respon, maka kaum perempuan melakukan berbagai
tuntutan yang merugikan anak-anak. Maka lahirlah gerakan feminisme dan gender equality.
Padahal, cara pandang ‘gender equality’ di Barat tidak terlepas dari latar belakang sejarah
peradaban Barat yang di masa lalu berlaku sangat kejam terhadap wanita. Belakangan, mereka
kemudian bergerak dari satu kutub ekstrim ke kutub ekstrim lain dalam memperlakukan wanita.
Philip J. Adler, dari East Carolina University, dalam bukunya World Civilizations (2000),
menggambarkan bagaimana kekejaman Barat dalam memandang dan memperlakukan wanita.
Sampai abad ke-17, di Eropa, wanita masih dianggap sebagai jelmaan setan atau alat bagi setan
untuk menggoda manusia. Bahkan, kata perempuan dalam bahasa Latin disebut Lembaran baru
yang kurang menjanjikan aspek duniawi. Karena itu, kata penulis Jerman abad ke-17 itu:
Therefore, the female is evil by nature. (Karena itu, wanita memang secara alami merupakan
makhluk jahat).

Memang, di zaman Yunani Kuno – cikal bakal peradaban Barat — wanita terhormat
justru tidak keluar rumah, kecuali karena alasan yang sangat penting. Nikolaos A. Vrissimtzis,
dalam bukunya, Love, Sex, and Marriage in Ancient Greece, menulis: “Sebuah kehormatan jika
wanita selalu berada di dalam rumah. Berada di jalan adalah sesuatu yang tidak berguna.” Pada
abad ke-6 SM, perkawinan dianggap sah jika memenuhi sejumlah syarat: engyesis (mahar),
perjanjian antara calon suami dengan ayah mempelai wanita, serta ekdosis (penyerahan
mempelai wanita kepada keluarga mempelai laki-laki).
Hanya saja, dalam masyarakat Yunani Kuno, fungsi istri hanyalah untuk melahirkan
anak. Para suami mencari kesenangan bukan dengan istri-istri mereka, melainkan dengan para
pelacur yang keberadaannya memang legal di tengah masyarakat, sebagaimana diungkapkan
oleh Demosthenes: ”Kami memiliki hetairae (pelacur) untuk bersenang-senang, para selir untuk
pelayanan pribadi sehari-hari, dan istri resmi untuk melahirkan anak-anak dan mengurusi
rumah.”

Pandangan negatif masyarakat Barat terhadap wanita itu tidak lepas dari para tokoh
Gereja pada abad-abad pertama Kristen, seperti Augustinus, Origen, dan Tertullianus. Dalam
buku Law, Sex, and Christian Society in Medieval Europe (1987), karya James A. Bruddage,
dikutip kata-kata Augustinus: “Saya tidak bisa mengetahui apa manfaat wanita bagi pria… bila
orang mengesampingkan fungsi melahirkan anak.”
Bibel memang memuat sejumlah ayat yang menempatkan wanita sebagai subordinat bagi
laki-laki. “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap laki-laki ialah
Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah… sebab laki-
laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki.” (1Kor 11:3,8).
“Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak
mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki;
hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa.
Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke
dalam dosa.” (1Tim 2:11-14).


Masyarakat Barat seperti terjebak dalam berbagai titik ekstrim dan lingkaran setan yang
tiada ujung pangkal dalam soal nilai. Mereka berangkat dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim
lainnya. Mereka tidak berpegang pada wahyu dalam merumuskan sistem kehidupan
masyarakatnya.

Dalam kasus homoseksual, dulu mereka memperlakukan mereka dengan sangat kejam
dan sadis. Kisah-kisah “Inquisition” di Zaman Pertengahan menunjukkan, bagaimana kaum
homoseksual dan lesbian harus menjalani hukuman dengan digergaji hidup-hidup. Kini, di
zaman modern, kaum hooseksual diberikan kebebasan nyaris tanpa batas lagi. Dalam kasus
gerakan feminisme, Barat juga terjebak ke dalam titik-titik ekstrim. Jika dulu mereka menindas
wanita habis-habisan, maka kemudian mereka memberikan kebebasan tanpa batas kepada
wanita.

Kaum feminis juga berusaha keras bagaimana agar gerakan mereka mendapatkan
legitimasi dari Bibel. Dalam buku “Feminist Aproaches to The Bible”, seorang aktivis
perempuan, Tivka Frymer-Kensky, menulis makalah dengan judul: “Goddesses: Biblical
Echoes”. Aktivis lain, Pamela J. Milne, mencatat, bahwa dalam tradisi Barat, Bibel manjadi
sumber terpenting bagi penindasan terhadap perempuan.

Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku The Women’s Bible, dimana ia
mengkaji seluruh teks Bibel yang berkaitan dengan perempuan. Kesimpulannya, Bible
mengandung ajaran yang menghinakan perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar
pandangan Kristen terhadap perempuan. Berikutnya, Stanton berusaha meyakinkan, bahwa Bibel
bukanlah kata-kata Tuhan, tetapi sekedar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang ditulis oleh
kaum laki-laki. Sebab itu, perempuan tidak memiliki kewajiban moral untuk mengikuti ajaran
Bibel. Para tokoh agama Kristen kemudian memandang karya Stanton sebagai karya setan.
Dengan berbagai pengalaman sejarahnya, maka perempuan di Barat kemudian
melakukan berbagai tindakan pembebasan, atau liberalisasi, dalam seluruh aspek kehidupan.
Itulah pengalaman lokal perempuan dalam sejarah masyarakat Barat. Maka, konsep “kesetaraan
gender” yang banyak diusung oleh perempuan di Barat, sepatutnya tidak dipaksakan untuk
dianut oleh masyarakat belahan dunia lainnya.

Yang lebih lucu, banyak perempuan muslim di Indonesia menjadikan paham feminisme
ala Barat sebagai acuan kemajuan yang harus dicapai. Sepatutnya, kaum muslim bersyukur,
bahwa dalam sejarahnya, Islam telah mendudukkan perempuan ada pada tempatnya yang adil
dan mulia. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 19 November 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *