Filosofi Santri dari Pak Kyai

Oleh: Fatih Madini (Alumni Pesantren At-Taqwa Depok dan Mahasiswa Jurnalistik STID Mohammad Natsir)

Dewandakwahjatim.com, Depok – Pernah suatu hari, saya dan kawan-kawan santri PRISTAC angkatan 1 berkumpul di Mushalla bersama Ustadz Adian Husaini dan Ustadz Muhammad Ardiansyah, atau yang akrab kami panggil Ustadz Ardi.

Tujuan perkumpulan itu ialah hendak memberikan motivasi untuk lebih baik lagi ke depannya. Ustadz Adian lebih menitik beratkan kalamnya seputar hadits Nabi supaya menjadi Muslim yang kuat dan tidak merasa lemah. Juga membahas ayat “In tanshuru Allah yanshurkum” yang dikaitkan dengan tujuan berdakwah dalam belajar, bukan bekerja untuk cari makan

Sementara Ustadz Ardi, menambahkan satu hal yang sangat menarik, yakni definisi santri itu sendiri. Definisi yang dibangunnya, bukan melalui ejaan huruf Latin, melainkan dalam khazanah Arab, atau yang dikenal dengan huruf hijaiyah.

Melalui huruf-huruf Arab yang bersatu membentuk kata santri, yakni sin (س), nun (ن), ta’ (ت), ra’ (ر), ya’ (ي). Dengan pemikirannya yang cemerlang, beliau mampu membuat satu formulasi baru dalam menciptakan satu filosofi baru dari kata “santri”

Pertama, huruf sin (س). Yaitu salikun ila tharaqi al-haq (berjalan di jalan yang benar). Santri harus berada atau berjalan di jalan yang benar, bukan yaang salah (bathil). Karena itu ia harus tahu mana yang benar dan mana yang salah. Itulah ilmu.

Saat ilmunya sudah benar, maka pasti ia akan yakin dan berjalan sesuai dengan apa yang diyakininya itu. dengan begitu ketiga aspek yang ditempuhnya itu telah mampu memosisikannya untuk berada atau bahkan istiqomah di jalan kebenaran.

Maka hal yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah masalah keilmuannya. Jangan sampai rusaknya ilmu pengetahuan menjadikannya salah berkeyakinan dan berjalan. Lalu menjadikannya menciptakan satu kondisi loss of adab. Yaitu penempatan dirinya pada jalan yang tidak semestinya, jalan yang bukan ketentuan dari sang pencipta. Itulah titik kebiadabannya.

Sulit memang memposisikan diri di jalan yang benar. Namun, yang lebih sulit ialah istiqomah supaya terus berada di sana. Untuk itulah kalimat “ihdina ash-shiratha al-mustaqim” tidak boleh lupa diucapkan, minimal 17 kali dalam shalat fardhu.

Kedua, huruf nun (ن), atau nafi’un li an-nas (bermanfaat untuk manusia). Sebagaimana yang Rasul sabdakan, “khairu an-nas anfa’uhum li an-nas,” bahwa sebaik-baik manusia itu ialah yang bisa memberikan manfaat kepada manusia lainnya.

Maka dalam Islam, kriteria baik itu ditentukan dari manfaat yang diberikan, dan tingkatan baiknya, diukur dari seberapa besar seseorang itu mampu memberikan satu hal yang bermanfaat kepada orang lain.

Santri identik dengan keilmuannya, terutama ilmu agamanya. Maka sudah sepatutnya dengan keilmuan yang dimiliknya, ia harus menebarkan manfaat. Salah satunya dengan mengajarkannya.

Jangan sempit mengartikan kata mengajar dengan gambaran seorang guru yang berbicara di kelas. Mengajar bisa dengan menulis, memberi nasihat dimana saja, juga menunjukkan akhlaq yang baik. Dengan begitu manfaat akan tersebar luas.

Ingatlah ketika Imam Zarkasyi pernah mengatakan, “Sampai kapan pun saya akan tetap mengajar. Seandainya sudah tidak ada lagi santri yang hendak belajar, maka saya akan mengajar dunia dengan pena.”

Konon, ada sejumlah alumni pesantrennya, Gontor, mendatanginya untuk silaturahim. Lantas, salah satu dari trimurti itu bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Apakah kamu sudah mengajar?” Ketika sang alumni menjawab, “belum”, dengan nada yang tinggi beliau berkata, “MATI KAMU!”.

Ketiga, huruf ta’ (ت). Yaitu tazkiyatun nafs wal badan (mensucikan hati dan badan). Jadi jangan sampai seorang santri itu mempunyai penyakit dalam hatinya.

Jangan sampai yang dipelajari membuatnya berkeinginan untuk bersifat ujub, riya, hingga akhirnya hasad, dimana ia tidak mau ada seorangpun yang mengunggulinya. Karena keselamatan fisik itu tergantung pada hatinya. Allah juga sudah berfirman, “Qad aflaha man zakkaha, wa qad khaba man dassaha.”

Dan inilah yang menjadi indikator dari ketaqwaan. Dimana ketaqwaan tidak akan mampu diraih selama masih ada penyakit-penyakit seperti tadi.

Serta ingatlah, bahwa sepanjang sejarah, umat muslim bukan kalah karena penyakit jiwa yang kebanyakan para psikologi fahami. Untuk itulah perlu yang namanya mujahadah ‘alan nafs atau tazkiyatun nafs

Terkait hal ini, Imam Ghazali sudah lama mengingatkan dalam Bidayatul Hidayah:

“Jika kamu menuntut ilmu dengan bertujuan bersaing-saingan, berbangga diri, menjadi yang paling unggul atas teman sejawatmu, mencari perhatian orang lain, dan untuk mengumpulkan segala materi dunia, maka saat itu secara tidak langusung kamu telah berjalan untuk menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, serta menjual akhiratmu dengan duniamu.”

Begitu juga dengan badan. Jangan sampai imej umat ini terus terhinakan dihadapan mereka, orang-orang Jepang, Eropa, “dan kawan-Kawannya”.

Jangan sampai masalah yang “sepele” soal kebersihan harus terus-menerus diingatkan. Kalau begitu terus, dimana kesadarannya? Jangan sampai ada lagi kalimat, “Di Barat saya menemukan Islam, tapi tidak dengan disini (negara muslim).”

Kita punya suri tauladan yang telah lama menekankan masalah ini, tapi kenapa masih saja kalah dengan mereka yang sama sekali tidak memilikinya?

Jawabannya ialah karena itulah fitrah manusia, senang dengan kebersihan. Permasalahannya ialah mereka mau, rajin, dan tidak malas untuk berbuat, sehingga membentuk satu kesadaran baru. Sementara masih banyak dari kita yang berbuat sebaliknya dari apa yang telah lama mereka perbuat.

Jangan sampai keindahan Islam tertutup karena perilaku umatnya sendiri. Maka benarlah yang dikatakan dalam lagu Indonesia Raya, “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya.”

Keempat, huruf ra’ (ر), yakni rahmatan lil ‘alamin (rahmat untuk alam semesta). Ini adalah soal keteladanan. Bagaimana seorang santri mampu memberi contoh yang baik kepada yang lainnya.

Sebagai santri, sudah sepatutnya ia bisa menempatkan dirinya pada posisi yang benar juga tepat. Dengan begitu mampu membuat manusia lainnya tersadarkan serta berubah menjadi lebih baik.

Sebagian besar keberhasilan pendidikan Rasul bukan karena ucapan-ucapannya, melainkan karena perbuatan yang berhasil beliau kemas menjadi satu keteladanan. Beliau baik dalam segala hal, dari aspek duniawinya, sampai ukhrawinya. Semua hal dari beliau, dapat dicontoh.

Beliau adalah figur terbaik dalam berhubungan dengan sesama manusia juga penciptanya. Semua ucapan, perbuatan, bahkan diamnya mampu menjadi inspirasi bagi umatnya. Bahkan beliau yang terbaik dalam semua hal.

Dari mulai makan, mandi, berkeluarga, berdagang, sampai menjadi kepada negara. Maka dari itu dalam Qur’an Allah tidak memuji keilmuan nabi, bukan karena nabi tidak berilmu, tapi karena ada satu aspek yang lebih urgen untuk mendapatkan pujianNya, yakni akhlaqnya. “Wa innaka la‘ala khuluqin adzim”

Sebagai umatnya tidak mungkin untuk menjadi seperti beliau yang perfect dalam seluruh aspek. Tapi setidaknya, ketika kita sudah baik dalam satu aspek saja, itu sudah sangat baik.

Dan itulah yang Prof. al-Attas inginkan, dimana satu institusi pendidikan harus melahirkan yang namanya good man, bukan sekedar orang yang pintar, namun juga beradab.

Ketika sudah menjadi good man, maka dia bisa menjadi teladan bagi yang lain. Dan ketika itulah ia mampu menjadi rahmat bagi alam ini, meskipun tidak seperti yang Nabi Muhammad perbuat

Kelima, huruf ya’ (ي), atau yazdaad ‘ilman wa hudan kulla yaum (bertambah ilmu dan hidayah setiap harinya). Jangan sampai santri menjadi orang yang malas. Malas atau malu bertanya, mengambil manfaat, belajar, dan sebagainya.

Ketika hari bertambah, seharusnya ada ilmu yang setidaknya menjadi tambahan baginya. Karena ketika dia melewatkan satu hari saja tanpa ada sedikitpun ilmu yang didapat, pastilah pada akhirnya ia akan menyesal.

Maka sebagai santri sudah semestinya tradisi ilmu dihidupkan secara giat. Dari mulai belajar, berdiskusi, bertukar argumentasi, berdebat, berfikir kritis, sampai selalu bertanya.

Dalam bukunya, 10 Kuliah Agama Islam, Ustadz Adian Husaini megidentikkan aktivitas keilmuan dengan manusia yang beradab. Beliau mengatakan:

“Masyarakat yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan terlalu diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya”

Ilmu saja tidak cukup. Harus diiringi dengan hidayah. Sebagaimana yang nabi sabdakan, “Man izdaada ‘ilman walam yazdad hudan lam yazdad mina Allah illa bu’dan.”

Terkait hal ini, Ustadz Ardi mengatakan bahwa jikalau dibuat grafik, seharusnya semakin banyak ilmu yang didapat, semakin dekat dia dengan Allah, bukannya semakin jauh, dalam arti dia semakin jahat.

Dan seandainya seorang yang berilmu dan terus menambah ilmunya itu tidak bertambah baik maka pastilah ia akan menjadi penjahat yang berilmu.

Perlu diingat bahwa penjahat yang berilmu tidak mencuri sendal melainkan uang-uang rakyat. Maka sebagai santri, seharusnya semakin hari ia mesti menjadi orang yang bertambah kebaikannya, melalui aspek keilmuannya juga akhlaq dan adabnya. Itulah perlunya menjadi santri yang beradab dan berilmu.

Tulisan ini dimuat juga di https://mediadakwah.id/filosofi-santri-dari-pak-kyai/

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=760170398185132&id=692411441627695

Ed. Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *