Oleh Bahrul Ulum,
Sekretaris Bidang Pemikiran Islam DDII Jatim
Bismillah, berfirman Allah:
إِنَّآ أَخْلَصْنَٰهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى ٱلدَّارِ
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat” (QS Shad [38]: 46).
Sebagian kalangan saat ini memiliki pandangan bahwa terjadinya konflik antaragama disebabkan para pemeluknya terlalu fanatik pada ajaran agamanya masing-masing. Padahal, menurut mereka, seharusnya setiap pemeluk agama mendahulukan sikap toleran sebagai perwujudan moral. Tidak ada gunanya beragama kalau tidak bermoral. Karenanya, menurut mereka, setiap orang sebaiknya mendahulukan moral daripada agama.
Masih menurut mereka, bahwa manusia merupakan pusat agama yang sekaligus menjadi sumber moralitas dan bukan Tuhan. Sebab tujuan dari segala tindakan moral diarahkan demi kemanusiaan. Yang menyatukan agama-agama bukanlah doktrin tentang ketuhanan atau kewahyuan dan kitab suci, tetapi kemanusiaan yang luhur dan alamiah. Karena itu menurut mereka, moralitas tidak perlu lagi didasarkan pada paham ketuhanan.
Tentu saja pemikiran seperti ini tidak tepat dan sangat keliru. Dalam Islam, sudah ditegaaskan, Allah sangat memuliakan hamba-Nya yang bermoral.
Ruang lingkup Islam terdiri dari tiga komponen, yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Ketiganya saling mendukung dan memiliki keterkaitan erat. Aqidah merupakan keyakinan seseorang kepada yang gaib. Syariah merupakan jalan mendekatkan diri dengan Sang Khaliq. Sedangkan akhlak merupakan sikap yang dilakukan demi kesempurnaan aqidah dan syariah. Seseorang dikatakan belum sempurna iman dan ibadahnya jika tidak memiliki akhlak yang baik.
Dalam Surah as-Shad [38]: 46 di atas ditegaskan bahwa Allah telah menyucikan mereka (manusia) dengan akhlak yang tinggi, yang agung dan dengan keunggulan yang besar karena selalu mengingatkan kepada negeri akhirat. Allah menjadikan hati mereka selalu ingat kepada negeri akhirat dan beramal untuknya dalam banyak waktu. Ikhlas dan selalu merasa diawasi Allah menjadi ciri mereka yang abadi. Allah juga menjadikan mereka sebagai peringatan akan negeri akhirat. Karena itu kondisi dan perihal mereka dapat diambil pelajarannya oleh orang yang mau mengambil pelajaran. Mereka dapat dijadikan sebagai ibrah (suri teladan) oleh orang-orang yang mau meneladani (Tafsir as-Sa’di, 840).
Berdasar ayat tersebut jelaslah bahwa ajaran Islam menekankan pentingnya akhlak yang baik karena ada hubungannya dengan akhirat. Kehidupan yang baik bisa tercapai setelah manusia melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Pada faktanya, keberadaan agama mendahului prinsip moral dan hukum suatu masyarakat. Memberi pahala kepada mereka yang bertindak secara moral. Artinya, menjadi penjamin kuat bagi hidup bermoral.
Para pakar moral dunia mengakui bahwa saat ini terjadi kerusakan dan penyimpangan moral, baik di Barat maupun di masyarakat Muslim. Kerusakan moral di Barat akibat kemajuan dan modernisasi yang mendorong mereka meninggalkan ajaran agama mereka. Kerusakan moral mereka akibat mempraktekkan prinsip-prinsip positivisme dan materialisme yang diyakininya. Sementara, pada masyarakat Muslim, kerusakan moral disebabkan adanya penyimpangan dari aturan-aturan dan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. (Wahīduddīn Khan, Women between Islām and Western Society, 111).
Kaum Muslimin harus sadar bahwa Allah menyanjung akhlak sebagai dasar ketaatan dan menjadi sebab ketaatan. Allah Ta’ala telah memuji Nabi Muhammad yang berakhlak mulia, sebagaimana firman-Nya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS Al-Qalam [68]: 4). Ibnu Abas radhiallahu anhuma menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah Islam. Beliau berkata, “Yakni sesungguhnya engkau (Muhammad) dalam agama yang agung yaitu Islam” (Riwayat Thabari dalam tafsirnya, 12/179).
Akhlak merupakan bagian dari agama, bahkan ia adalah agama itu sendiri. Fairuzabadi mengatakan, agama seluruhnya adalah akhlak. Siapa yang bertambah akhlaknya, maka bertambahlah agama pada dirinya (Bashair Dzawi At-Tamyiz, 2/568).
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa makhluk yang paling dicintai adalah orang mukmin. Kalau dia paling sempurna imannya, maka paling baik akhlaknya. Maka yang paling besar dicintai Allah adalah yang paling bagus akhlaknya. Akhlak adalah agama (Al-Istiqamah, 442).
Para ulama sepakat, Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang terbaik akhlaknya. Kesempurnaan iman mengharuskan berbudi pekerti baik dan berbuat baik kepada seluruh orang (Al-Mubarokfuri, Tuhfatul Ahwadzi, 4/273).
Berdasar penjelasan di atas, membuktikan bahwa akhlak sangat terkait dengan ketuhanan. Salah besar jika memisahkan akhlak dengan agama.
(dewandakwahjatim.com).