Oleh: Dr. Budi Handrianto
Dunia pada abad sekarang ini –paling tidak dimulai dari abad 20, didominasi oleh peradaban Barat yang menganut paham Scientific Worldview atau Cara Pandang Ilmiah. Terjemahan ini sebenarnya kurang pas sebab scientific tidak sama dengan ilmiah dan sains tidak sama dengan ilmu.
Scientific Worldview merupakan cara pandang manusia yang lahir dari pandangan ilmu pengetahuan Barat modern. Segalah sesuatu di dunia ini harus saintifik. Jika tidak saintifik, tidak nyata dan tidak masuk akal maka ditolak. Cara pandang ini menyebar di segala sendi kehidupan termasuk di dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sesuatu dianggap scientific (saintifik) apabila memenuhi dua hal yaitu empiris (dapat diindra) dan rasio (bisa diterima akal). Di luar kedua hal tersebut maka tidak dianggap ilmiah. Tidak ilmiah sama dengan mitos, klenik, khayalan, ilusi, delusi, dan semisalnya. Maka, kita sering menyaksikan orang gerah jika menampilkan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah (sementara ini kata ilmiah kita samakan dulu dengan saintifik untuk memudahkan penjelasan). Kemudian berusaha menyampaikan sisi-sisi ilmiah yang dia kemukakan.
Misalkan seseorang menawarkan suatu obat herbal kepada temannya. Dijelaskannya khasiat dan manfaat obat tersebut. Namun karena tidak ada daftar komposisi kandungannya (ingredients), tidak ada takarannya, tidak ada label industrinya, dia pun kemudian secara lisan mengatakan, ”Ini ada penjelasan ilmiahnya kok.” Maka, mulailah dia memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata ilmiah dalam dunia farmasi maupun ilmu kimia. Rasa-rasanya kalau tidak menjelaskan keilmiahan suatu produk maka kurang afdhal atau tidak bisa diterima.
Dalam sebuah jeda rapat direksi yang terdiri dari bapak-bapak yang usianya sudah mendekati 50 tahun terjadi pembicaraan khusus. Mereka bicara sangat antusias. Ternyata mereka tengah membicarakan satu obat kapsul yang berfungsi sebagai ”obat kuat” yang diberikan oleh salah seorang direksi di antara mereka. Dia pun menanyakan bagaimana hasilnya semalam. Teman-temannya pun menjawab, ”It works!” Lalu bapak yang memberikan kapsul tersebut merasa puas dan berkata, ”Itu ada penjelasan ilmiahnya lho!” Sepertinya segala sesuatu harus ilmiah dan tafsir ilmiah dalam pengertian mereka adalah dapat dibuktikan dan ”masuk akal”.
Inilah abad di mana segala sesuatu harus bisa diukur, diindra, diulang kembali dan diterima oleh akal. Sesuatu yang berbau metafisik atau supranatural, tidak diterima. Bahkan pada taraf tertentu dianggap sebagai tahayul. Pendapat seperti ini memang bukan tak bersumber. Paham ini berkembang pesat di dunia Barat. Bahkan merekapun memasukkan agama pada ranah yang tidak ilmiah, dogmatis, tidak bisa didebat dan didiskusikan. Nilainya jauh di bawah bahasan ilmiah atau abstrak.
Paham ini muncul dari teori yang dikemukakan oleh August Comte yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi dan yang pertama memperkenalkan istilah positivisme. Comte menerangkan perkembangan masyarakat dari fase (state) teologi atau fiktif, lalu berkembang menjadi fase metafisik atau abstrak dan terakhir, masyarakat akan menuju pada fase saintifik atau positif (the theological or fictitious state, metaphysical or abstract state, scientific or positive state). Karakteristik pada setiap state tersebut bertentangan satu dengan yang lain.
Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib (supernatural), sedangkan pada fase metafisik akal manusia menganggap fenomena alam dihasilkan oleh kekuatan abstrak atau entitas-entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib. Maka, dalam fase positif akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Dengan demikian mereka menggunakan akal dan panca indra (reasoning and observation) untuk menangkan fenomena yang ada. Paham positivisme yang menjadi dasar bagi scientific worldview, yang sekarang tengah melanda di seluruh dunia, tidak saja mengetepikan peran Tuhan (agama), tapi menganggap itu adalah fase yang sudah lama ditinggalkan. Dan karena –menurut mereka, adalah fase ketiga, yaitu fase saintifik yang menjadi tolok ukur dalam menilai kebenaran.
Jadi, kemajuan sains Barat moden di negeri-negeri Barat disertai dengan paham positivisme, yang menjadikan segala sesuatu fenomena dalam kehidupan diukur dengan rasio dan panca indra atau empiris dan logis. Paham tersebut merasuk hampir ke seluruh belahan dunia, termasuk dunia Islam, di mana seorang muslim bisa saja berpandangan bahwa segala sesuatu harus bisa dibuktikan oleh akal dan panca indra, meskipun dia rajin ibadah (ritual). Inilah tantangan terbesar bagi seorang muslim untuk melakukan Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan, karena dasar filosofinya berbeda di sini. Dasar-dasar Islam adalah tauhid yang menuntut seorang muslim untuk percaya pada hal-hal yang ghaib dalam segala hal. Itulah rukun iman yang jika seorang muslim tidak mempercayainya maka dirinya termasuk kafir. Tantangan ini pulalah yang harus diketahui bagi seorang muslim mengingat ’serangan’ paham ilmiah saintifik ini sudah merambah ke dunia Islam, terutama di kalangan ilmuwan muslim.
Terminologi ilmiah dalam peradaban Islam tidak melulu empiris dan rasional. Tapi juga menyertakan wahyu atau otoritas. Jika badan terjilat air liur anjing, maka dibersihkan tujuh kali dengan air salah satunya dengan tanah. Ini ilmiah. Bukan karena sudah ada sabun atau disinfektan lalu cara membersihkan najis mughaladhah (berat) ini ditinggalkan. Membuat hujan dengan cara melakukan shalat istisqa, ini juga ilmiah karena sumbernya adalah wahyu (hadits Nabi saw). Dan banyak contoh lainnya.
Maka, kita sebagai muslim jangan ikut-ikutan cara pandangan saintifik ini. Yaitu dengan mengesampingkan wahyu dalam dunia sains. Mungkin ilmu manusia belum sampai. Tapi suatu ketika kebenaran waktu akan terbukti secara empiris dan rasio juga. Seorang muslim harus berpandangan bahwa dunia ini terdiri dari sesuatu yang tampak dan tidak tampak. Sesuatu yang tidak tampak bukan berarti tidak ada. Keyakinan itu adalah ilmu. Bahkan dalam Islam keyakinan itulah ilmu tertinggi. Wallahu a’lam.
Editor: Dudy S.Takdir