Beginilah Hakikat Jiwa Manusia Menurut Ibn Jauzi

Oleh: Dr. Ahmad Alim (Peserta Program Kaderisasi Ulama DDII)

Ibn Jauzi (510-597 H) adalah seorang ulama yang berjasa besar dalam merumuskan konsep pendidikan jiwa manusia. Berbagai karya besar tentang jiwa (nafs) telah dihasilkannya, diantaranya: Al-Tabshirah, Al-Mudhis, Al-Muntakhab, Al-Jalis Al-Shalih Al-Khafi, Al-Adzkiya’, Al-Thibb Al-Ruhani, Shifat Al-Shaffah, Bahr Al-Dumu’, Al-khis ‘Ala Talab Al-Ilm, A’mar Al-A’yan, Shaid Al-Khathir. (Ibn Jauzi, Al-Khis ‘Ala Thalab Al-Ilm, Iskandariyyah : Muassasah Syabab Al-Jami’ah : 1993).

Pandangan Ibn Jauzi tentang manusia tidak beda jauh dengan pandangan para ulama  dan para filosof  yang lainnya. Menurutnya manusia  terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang terdiri dari jasad dan ruh, sehingga manusia merupakan makhluk  jasadiyah dan ruhiyah sekaligus. Hubungan keduanya bagaikan hubungan antara seorang nahkoda dengan sebuah perahu, dimana nakhoda berfungsi sebagai pengatur dan pengarah tujuan  jalannya perahu, dan menenangkan arus air yang membawa perahu tersebut serta menjaganya di tengah-tengah hembusan gelombang.(Ibn Jauzi, Al-Thibb Al-Ruhi, tahqiq Abdul Aziz Izzuddin Al-Sairawani,  Damaskus : Dar Al-Anwar, 1993,hlm. 35-36; Hasan Ibrahim Abdul Ali, Al-Fikr Al-Tarbawi I’nda Imam Abi Faraj Ibn Jauzi, hal. 104: Laila Abdurrasyid Al-Athar, Ara’ Ibn Jauzi Al-Tarbawiyyah, hal. 109).

Realitas yang mendasari  dan prinsip yang menyatukan sosok — yang kemudian dikenal sebagai manusia — bukanlah perubahan jasadnya, melainkan keruhaniannya. Sebab, manusia pada hakikatnya adalah makhluk ruhani. Esensinya  bukanlah fisiknya dan bukan pula fungsi fisiknya. Tapi, esensi manusia adalah fungsi jiwa (nafs)-nya. Menurut Ibn Jauzi, jiwa adalah identitas esensial manusia  yang bersifat tetap. (Ibn Jauzi, Al-Thib Al-Ruhani, Kairo : Maktabah Al-Tsaqafah, 1986 , hlm.15).

Nabi Muhammad SAW menegaskankan: “Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad kalian, dan tidak pula bentuk kalian, akan  tetapi Allah melihat hati kalian dan amal kalian. (HR.Muslim).

Lebih lanjut Ibn Jauzi melihat bahwa jiwa sebagai esensi manusia terbagi dalam tiga unsur penting yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur tersebut adalah unsur akal (juz aqli), unsur amarah (juz ghadhabi), dan unsur hawa nafsu (juz syahwani).

Pandangan Ibn Jauzi tentang pembagian “nafs” yang terdiri atas tiga unsur tersebut semisal dengan pendapat Al-Ghazali. Hanya saja Al-Ghazali menambahkan al-i’tidal sebagai penyeimbang dari ketiga unsur tersebut. Dengan demikian, I’tidal sebagai standar untuk membedakan antara jiwa yang sehat dan jiwa yang sakit. Lebih lanjut ia berkata : “Seimbang dalam berperilaku merupakan tanda berjiwa sehat, sementara menyimpang dari keseimbangan dalam berperilaku berarti suatu ganngguan dan penyakit dalam jiwa. Sebagaimana keseimbangan dalam tubuh  berfungsi  sebagai faktor yang menyehatkan. Sebaliknya , kondisi tubuh yang menyimpan dari keseimbangan adalah mendatangkan sakit”.

Al-hikamah menurut Al-Ghazali adalah keseimbangan yang  berada diantara al-khabb yang merupakan pengetahuan yang digunakan untuk menipu atau membinasakan yang berada disudut ifradh (berlebihan) dan  al-jahl (kebodohan) yang berada di sudut tafridh (kekurangan). Al-Syaja’ah (keberanian)  merupakan keseimbangan antara dua keburukan al-ghadhab, yaitu al-tahawur (gegabah) dan al-jubn (pengecut). Demikian juga al-iffah , yang merupakan keseimbangan antara dua keburukan al-syahwat, yaitu al-syarah yang berati keserakahan dan al-khamud yakni keadaan lemah keinginan. (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din, Beirut : Maktabah Al-Ashriyah, 2003, vol.III, hlm. 79, lihat juga Al-Ghazali, Ma’arij Al-quds, hlm.92)

Sementara, menurut Ibn Jauzi, unsur akal memiliki dua sisi, yaitu sisi keutamaan yang berupa  ilmu, dan sisi keburukan yang berupa kebodohan. Sementara unsur amarah juga memiliki dua sisi keutamaan dan keburukan, keutamaannya adalah ketegasan, dan keburukannya adalah kepengecutan. Sedangkan unsur hawa nafsu juga memiliki dua sisi keutamaan  dan keburukan, keutamaannya adalah menjaga diri dari sesuatu yang tidak baik, sedangkan sisi keburukannya adalah tidak terkendalinya dari syahwat. (Ibn Jauzi, Al-Thibb Al-Ruhi, tahqiq Abdul Aziz Izzuddin Al-Sairawani, Damaskus : Dar Al-Anwar, 1993,hlm. 35-36).

Lebih jelasnya Ibn Jauzi berkata: “Ketahuilah bahwa jiwa diantaranya ada unsur akal, keutamaanya adalah hikmah, dan keburukannya adalah kebodohan, dan unsur amarah, keutamaannya adalah pemberani, keburukannya adalah penakut, dan unsur syahwat, keutamaannya adalah iffah, keburukannya adalah menuruti hawa nafsu. (Ibid).

Ketiga komponen jiwa tersebut  bukanlah dipandang sebagai unsur-unsur yang berdiri sendiri dalam pembentukan kepribadian. Tetapi semua itu, merupakan satu kesatuan yang utuh.  Interaksi ketiga sistem jiwa itu berjalan menurut alternatif teori yang mengatakan bahwa  interaksi daya-daya jiwa (akal/nathiqah, ghadhab, syahwat) berjalan menurut  hukum harmonisasi (tanasuq) antara berbagai sistem yang berpusat pada fakultas fikir (nafs nathiqah). Artinya, masing-masing daya jiwa memiliki potensi yang baik. Jika interaksi terjadi secara harmonis, maka masing-masing daya itu melahirkan keutamaan. Keutamaan fakultas fikir adalah kearifan; keutamaan fakultas ghadab adalah berani;  dan keutamaan fakultas syahwat adalah iffah. Dengan demikian, ghadab dan syahwat bukanlah potensi yang buruk. Baik buruknya tergantung interaksi yang harmonis dengan fakultas fikir. (Ibn Jauzi, Al-Thibb Al-Ruhi, tahqiq Abdul Aziz Izzuddin Al-Sairawani, Damaskus: Dar Al-Anwar, 1993,hlm. 35-36)

Apabila dikaitkan dengan tiga daya jiwa di atas (kalbu, akal, dan hawa nafsu), maka teori ini  menunjukkan bahwa daya kalbu bukan berarti daya yang terbaik, dan daya akal serta daya hawa nafsu bukan berarti daya yang terburuk. Baik buruknya sangat tergantung dengan harmonisasi interaksinya yang berpusat pada kalbu. Keutamaan daya kalbu akan melahirkan kearifan; keutamaan daya hawa nafsu ghadhabi akan melahirkan keberanian; dan keutamaan daya nafsu syahwati akan melahirkan iffah. (Ibid).

Lebih jelasnya,  tiga daya tersebut bisa diilustrasikan dengan gula, garam, dan bumbu penyedap dalam suatu masakan. Ketiga unsur  bumbu masak ini tidak ada yang disebut bumbu yang lezat atau tidak, ketiga-tiganya memiliki peluang yang sarna tentang lezat dan tidaknya. Lezat tidaknya masakan tergantung pada keharmonisan racikannya, yang mana antara yang satu dengan yang lainnya saling mendukung, dan masing-masing sesuai dengan takaran dan fungsinya.

Tabel Jiwa dan Potensi-Potensinya Menurut Ibn Jauzi

NoDiri ManusiaDaya Baik  (fadha’il)Daya buruk (Radza’il)
1AkalIlmu dan hikmahKebodohan
2GhadhabSyaja’ah yaitu Keberanian dan ketegasanTakut dan pengecut
3SyahwatAl-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiatmenuruti hawa nafsu

Editor: Dudy S.Takdir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *