Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketum DDII Pusat
dewandakwahjatim.com – Hingga Hari Selasa (15/6/2021), situs www.aipi.or.id, masih memuat tulisan Prof. Dr Satrio Soemantri Brodjonegoro, yang berjudul: “Marginalisasi Perguruan Tinggi”. Ini artikel tahun 2013. Tapi, isinya masih penting untuk menjadi bahan renungan semua insan akademis di tingkat Pendidikan Tinggi.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia itu menulis dalam artikelnya: “Sampai detik ini, pemahaman publik tentang fungsi perguruan tinggi ternyata belum utuh dan masih salah kaprah. Kesalahan fatal ialah penempatan perguruan tinggi negeri sebagai unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara perlakuan terhadap perguruan tinggi swasta sebagai unit usaha dari yayasan atau badan wakaf.
Dengan kedudukan seperti itu, perguruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari sebuah kantor jawatan, sementara perguruan tinggi swasta (PTS) tidak lebih dari sebuah unit usaha. Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pembangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan manusia.”
Memang, tulis Prof. Satrio, PTN dan PTS terkesan menyelenggarakan pendidikan tinggi, tetapi sejujurnya mereka belum melakukan pendidikan tinggi secara utuh dan hakiki. Apa yang dilakukan oleh PTN hanyalah formalitas persekolahan tingkat tinggi (maksudnya setelah SMA/SMK), sedangkan yang dilakukan PTS saat ini adalah persekolahan tingkat tinggi dengan memperlakukan mahasiswa sebagai komoditas. Akibatnya, mutu pendidikan tinggi di Indonesia sangat rendah karena jauh sekali dari hakikatnya.
Dengan kondisi perguruan tinggi seperti sekarang, maka perguruan tinggi semakin jauh dari tujuan pendidikan nasional. “Sebab, tujuan pendidikan nasional yang hakiki, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa bernegara, belum tersentuh oleh kebijakan kementerian.
Kementerian hanya membuat target capaian fisik yang pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk proyek fisik. Padahal, esensi pendidikan yang sebenarnya adalah pembentukan kapasitas, kompetensi, etika, sosio-kultural, kematangan, daya nalar, kerangka berpikir, dan pengambilan keputusan, yang harus dimiliki peserta didik,” tegas Prof. Satrio yang pernah menjabat sebagai Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan.
Peringatan Prof. Satryo itu sangat penting kita cermati, khususnya bagi para orang tua dan calon mahasiswa yang sedang mengejar impian mereka untuk memasuki bangku Peguruan Tinggi yang mereka anggap ideal. Tapi, apa sebenarnya yang dimaksud sebagai Perguruan Tinggi ideal dalam konsepsi Islam?
Tentang universitas yang ideal dalam pandangan Islam, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan: “Sebuah universitas Islam memiliki struktur yang berbeda dari universitas Barat, konsep ilmu yang berbeda dari apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, dan tujuan dan aspirasi yang berbeda dari konsepsi Barat. Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah membentuk ‘manusia sempurna’ atau ‘manusia universal’ …
Seorang ulama muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, melainkan seorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.” (Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2006).
Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menguraikan gagasan Prof. al-Attas tersebut sebagai berikut: “Sebuah universitas seharusnya merupakan gambaran dari manusia universal atau ‘insan kamil’… Secara sederhana, insan kamil adalah seorang yang sanggup menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam perilakunya dan betul-betul menghayati kesatuan esensialnya dengan wujud Ilahiah tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai seorang hamba dan makhluk-Nya. Golongan insan kamil ini dipimpin oleh Nabi Muhammad saw, diikuti semua nabi dan para hamba pilihan-Nya, yaitu para aulia dan ulama yang ilmu dan pemahaman spritualnya sangat mendalam.” (Ibid)
Karena tujuannya untuk membentuk manusia sempurna atau insan kamil, maka menurut Prof. Wan Mohd Nor, pendidikan (ta’dib) dalam Islam, berlangsung seumur hidup, yang tidak terbatas pada sekolah. Sejak awal, pendidikan dalam Islam, dipahami sebagai kewajiban keagamaan seumur hidup yang tidak dibatasi oleh tempat atau umur murid yang bersangkutan.
Terkait dengan proses pembentukan manusia sempurna (al-insan al-kulliy, insan kamil), Prof. Wan Mohd Nor, mengkritik model pendidikan yang terlalu mengarah pada spesialisasi sempit. Konsep “spesialisasi sempit” yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain, khususnya yang terkait dengan ide-ide besar dan benar dalam sejarah kehidupan manusia, menurut Jose Ortega Y Gasset, filosof Spanyol yang berpengaruh besar selepas Nietszche, telah melahirkan “manusia biadab baru” (a new barbarian).
Bahkan, Jacques Maritain, pemikir Katolik asal Perancis menyatakan, bahwa pendidikan yang terlalu cenderung ke arah spesialisasi sebenarnya melatih manusia untuk menjadi binatang, sebab binatang memang mempunyai kemahiran sangat khusus dalam suatu bidang tertentu. Menurut Wan Mohd Nor, tradisi keilmuan dalam Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti itu.
Jadi, itulah makna universitas yang hakiki. Sesuai dengan asal katanya dalam Bahasa Arab “kulliyyah”, universitas adalah tempat untuk membentuk seseorang mahasiswa menjadi manusia yang utuh, manusia sejati, sebagai hamba Allah dan khalifatullah fil ardh.
Perguruan Tinggi Ideal adalah tempat mahasiswa menuntut ilmu untuk menjadi orang baik.
Dalam konsep Pendidikan Islam, sebuah universitas ideal adalah yang mendahulukan penanaman adab atau akhlak mulia, mengutamakan ilmu-ilmu fardhu ain, dan mengajarkan ilmu-ilmu fardhu kifayah yang diperlukan oleh masyarakat.
Semoga generasi muda muslim saat ini dapat memahami konsep universitas ideal, sehingga mampu menempa dirinya dengan adab dan ilmu, melalui berbagai proses pendidikan yang dijalaninya. Jangan sampai mereka terjebak dengan formalisme sempit dalam pendidikan yang mengarahkan pada tujuan materialis dan kesuksesan semu. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 15 Juni 2021).
Editor: Sudono Syueb