Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dewandakwahjatim – Hari-hari ini kita diserbu dengan berbagai informasi melalui media sosial. Berbagai isu yang menarik perhatian masyarakat disampaikan kepada kita. Suka atau tidak suka. Setuju atau tidak setuju. Kita sering terpaksa atau tertarik untuk membaca. Ada berita tentang Pandemi Covid-19, tentang Tes Wawasan Kebangsaaan (TWK) karyawan KPK, tentang pembatalan haji Indonesia tahun ini. Dan banyak berita lainnya.
Bagaimana menyikapi kondisi semacam ini. Patut tetap kita ingat, bahwa semua berita yang kita terima harus senantiasa dilakukan cek dan ricek; dilakukan tabayyun. (QS al-Hujurat: 6). Berita itu harus dipastikan kebenarannya. Bahkan, andaikan berita itu mengutip kata-kata seorang tokoh atau ustadz terkenal, pun harus tetap diusahakan untuk diklarifikasi, sebelum diterima sebagai kebenaran, atau sebelum disebarkan.
Sebagai contoh, adalah berita tentang 75 karyawan KPK yang dinyatakan TIDAK LULUS TWK. Maka, opini yang terbentuk adalah bahwa ke-75 karyawan KPK itu tidak memiliki wawasan kebangsaan yang memadai. Kesimpulan itu sungguh serius. Berarti, pembelajaran tentang PKN atau Pendidikan Pancasila di berbagai jenjang pendidikan perlu dievaluasi.
Itulah opini yang berkembang pada sebagian masyarakat tentang 75 karyawan KPK tersebut. Padahal, yang menjadi perhatian masyarakat adalah “Daftar Pertanyaan” yang diajukan kepada mereka dan bagaimana sistem penilaiannya. Bisa dipahami, jika para karyawan KPK tersebut kemudian menempuh berbagai jalan untuk memperjuangkan nasib mereka.
Bukan hanya untuk lolos menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tetapi, perjuangan mereka itu juga demi menjaga nama baik dan martabat mereka. Sejumlah karyawan yang diwawancara media menyatakan keprihatinannya jika mereka harus dicap tidak berwawasan kebangsaan, dicap radikal, atau dicap tidak Pancasilais.
Berbagai pihak, termasuk puluhan guru besar juga menyampaikan keberatan atas TWK yang dilakukan terhadap karyawan KPK, yang akhirnya digunakan sebagai instrumen untuk memberi label tertentu kepada para karyawan yang dinyatakan tidak lolos TWK. Kita masih menunggu ujung dari perjuangan para karyawan KPK tersebut.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika model-model tes tertentu digunakan untuk menyingkirkan warga negara yang berkompeten, cinta NKRI, dan berakhlak mulia, dengan tuduhan atau cap intoleran, radikal, taliban, dan sebagainya. Yang akan merugi adalah negara kita sendiri. Apalagi, jika kemudian posisi mereka digantikan oleh orang-orang yang kualitas SDM-nya jauh di bawah orang-orang yang disingkirkan.
Berikut ini adalah contoh survei yang “tendensius” dan membuat opini buruk terhadap masyarakat muslim Jabodetabek. Disimpulkan dalam survei ini bahwa “Umat Islam di wilayah Jabodetabek tidak toleran!”
Survei dilakukan oleh sebuah lembaga yang mengusung jargon “Institute for Democracy and Peace”. Hasilnya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Wajah Para ‘Pembela’ Islam. Kesimpulannya adalah bahwa kelompok Islam fundamentalis atau Islam radikal sering mengganggu kebebasan beragama/berkeyakinan warga masyarakat lain.
Salah satu kriteria untuk mengukur kadar toleransi suatu masyarakat adalah kesediaan untuk menerima perpindahan agama dan penerimaan terhadap pernikahan beda agama. Hasil survei kelompok ini di Jabotabek, menunjukkan ada 84,13 persen masyarakat tidak menyukai pernikahan beda agama.
Lalu dengan mudahnya disimpulkan: “Dari temuan survei ini terlihat bahwa untuk perbedaan identitas dalam lingkup relasi sosial yang lebih luas (berorganisasi, bertetangga, dan berteman) masyarakat Jabodetabek secara umum lebih memperlihatkan sikap toleran. Namun, dalam lingkup relasi yang lebih personal dan menyangkut keyakinan (anggota keluarga menikah dengan pemeluk agama lain atau pindah ke agama lain) sikap mereka cenderung kurang toleran.”
Survei itu juga menunjukkan data, bahwa orang yang beragama Islam menunjukkan penolakan yang lebih tinggi (82,6 persen) terhadap anggota keluarganya yang berpindah agama. Sementara, di kalangan pemeluk agama selain Islam ada 45,4 persen yang menyatakan dapat menerima anggota keluarganya berpindah agama, karena soal agama adalah urusan pribadi. Terhadap orang yang tidak beragama, hanya 25,2 persen responden yang menyatakan dapat menerima, karena menganggap agama hanyalah urusan pribadi.
Terhadap fenomena ini, disimpulkan: “Singkatnya, secara umum tidak ada toleransi atas orang-orang yang tidak beragama. Tidak beragama masih dianggap sebagai sebuah tabu yang tidak dapat ditoleransi di mata kaum urban Jabodetabek.”
Sikap responden terhadap aliran Ahmadiyah, hanya 28,7 persen yang berpendapat Ahmadiyah memiliki hak untuk menganut keyakinan mereka. Sedangkan 40,3 persen menganggap Ahmadiyah sesat, dan 45,4 persen menyatakan, sebaiknya Ahmadiyah dibubarkan oleh pemerintah.
Terhadap data tersebut, disimpulkan: “Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan sikap keagamaan yang intoleran pada masyarakat Jabodetabek. Agar tidak mengakibatkan kerancuan pemahaman, maka perlu digarisbawahi bahwa kecenderungan toleran untuk beberapa hal, namun intoleran untuk sejumlah hal lain sebagaimana ditunjukkan oleh temuan survei ini, tetap harus dinyatakan sebagai ekspresi sikap intoleran. Hal ini didasarkan atas pengertian toleransi sebagai kemampuan dan kerelaan untuk menerima segala bentuk perbedaan identitas pihak lain secara penuh. Atas dasar itu, kegagalan untuk dapat menerima perbedaan identitas secara utuh sama maknanya dengan sikap intoleran.”
Orang yang dikategorikan tidak toleran, lalu diberi cap radikal, yang direkomendasikan untuk dilakukan proses “deradikalisasi” terhadap mereka. . “Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukan oleh negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan.
Menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi serta melakukan deradikalisasi pandangan, perilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi adalah rekomendasi utama penelitian ini.”
Dengan melihat contoh survei tersebut, kita dapat memahami, bahwa survei-survei atau Tes Wawasan Kebangsaan, sangat bergantung kepada jenis pertanyaan yang diajukan dan tujuan yang ingin dicapai dari survei atau tes tersebut. Jika cara pandang sekuler-liberal yang dijadikan standar atau acuan kebenaran, maka disusunlah pertanyaan-pertanyaan yang menjebak orang muslim yang baik. Akibatnya, orang muslim yang tidak setuju untuk pindah agama, akan dicap sebagai orang yang intoleran.
Pada ujungnya, cara-cara seperti ini akan memberikan opini negatif kepada orang yang baik. Padahal, itu tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Akhirnya, yang rugi adalah bangsa kita sendiri. Sebab, yang terjadi justru intoleransi dalam bentuk lain. Kebhinekaan tidak dihormati. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 7 Juni 2021).
Editor: Sudono Syueb