KETIKA ISLAM DIANGGAP LEBIH BAHAYA DARI KOMUNISME

KETIKA ISLAM DIANGGAP LEBIH BAHAYA DARI KOMUNISME

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

dewandakwahjatim.com – Di Indonesia mucul berbagai kasus yang mengindikadikan bahwa komunisme dan pendukungnya tidak dianggap sebagai bahaya lagi. Tapi, Islam dianggap lebih bahaya, sehingga berbagai program “penjinakan Islam” dilakukan. Inilah politik global yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin Indonesia.

Dalam bukunya yang berjudul “Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004), Prof. Samuel Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”.

Ia menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. (This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War). Jadi, buku ini memang menggunakan istilah ‘perang’ (war) antara AS dengan Islam militan. Jika saat berperang dengan Uni Soviet yang memiliki persenjataan seimbang dengan AS, masih digunakan istilah “Perang Dingin” maka sekarang istilah “dingin” sudah dibuang.

Pada tahun 2002, doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) secara resmi diumumkan. Melalui doktrin ofensifnya yang baru ini, AS telah mengubah secara radikal pola “peperangan” melawan “musuh”. Sebelumnya, di masa Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola containtment (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini menghadapi musuh baru – yang diberi nama Islam militan – AS menggunakan pola preemptive strike dan defensive intervention.

Dari kasus doktrin ‘preemptive strike’ ini tampak bagaimana pola pikir ‘bahaya Islam’ atau ‘ancaman Islam’ dianggap lebih berbahaya dari ‘komunis’. Strategi untuk menempatkan Islam sebagai ancaman yang lebih bahaya dari komunis, memang dirancang oleh kelompok Neo-konservatif di AS. John Vinocur, dalam artikelnya berjudul “Trying to put Islam on Europe’s agenda”, (International Herald Tribune, 21 September 2004), mencatat, “But Huntington insists Europe’s situation vis-à-vis Islam is more acute.”

Skenario inilah yang dirancang kelompok “Neo-konservatif” di AS, yang beranggotakan Yahudi-Zionis, Kristen fundamentalis, dan ilmuwan konfrontasionis. (Lihat buku The High Priests of War ” (Washington DC: American Free Press, 2004), karya Michel Colin Piper).

Usaha untuk menempatkan Islam sebagai ancaman bagi Barat dilakukan juga dengan menggunakan pendekatan sejarah. Islam dianggap satu-satunya peradaban yang paling berpotensi mengalahkan peradaban Barat. Itulah yang ditulis oleh Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilizations: “Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice.”


Kaum Muslimin perlu memahami dan berhati-hati dalam menghadapi skenario kelompok tertentu yang berusaha menampilkan Islam sebagai ancaman utama bagi Barat. Jangan sampai umat Islam terjebak ke dalam scenario seperti ini, dengan mengikuti kelompok-kelompok ekstrim yang justru merugikan umat Islam sendiri.

Semangat beragama yang kuat perlu didasari dengan ilmu dan adab yang memadai sehingga tidak berlebihan (tatharruf) dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Kasus bergabungnya ribuan orang Muslim Indonesia ke kelompok tertentu di luar negeri dan kasus pengeboman terhadap sejumlah rumah ibadah agama lain, bisa dijadikan sebagai penguat pandangan bahwa Islam memang patut dianggap sebagai potensi ancaman negara.

Dalam kondisi semacam ini, sekali lagi, umat Islam perlu memiliki pemahaman keagamaan yang adil. Yakni, pemahaman dan pengamalan agama yang tidak ekstrim; tidak mengkafirkan sesama muslim dan banyak menekankan aspek ibadah dan akhlak mulia dalam sehari-hari. Sebab, Rasulullah saw sendiri mengabarkan, bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Meskipun secara global, ideologi komunisme sudah “tidak laku” lagi, tetapi sejumlah indikasi menunjukkan, ada sebagian kalangan yang ingin membuang jejak hitam sejarah kekejaman komunis di Indonesia. Usaha seperti ini juga perlu dicegah. Sebab, bukti-bukti kekejaman komunis di Indonesia sangatlah jelas dan menorehkan luka yang pedih dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia.

Upaya untuk menyatukan agama dengan komunisme sudah jelas gagal dan menjadi pengalaman pahit yang tidak perlu diulang lagi. Karena itu, pelarangan penyebaran paham komunisme sudah menjadi konsensus bagi bangsa Indonesia.

Bangsa ini sudah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila utama Pancasila. Jadi, kita harus belajar dari sejarah dan menggunakan akal sehat dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 25 April 2021).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *